Malari, Investasi dan Undang-Undang Cilaka
Terjebak utang dan kesulitan moneter menyusul Krisis 1998, pemerintahan pasca-reformasi tak bisa lain kecuali makin tunduk pada kreditor dan investor. Program memikat investasi berlanjut pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan kemudian diteruskan lebih agresif pada masa Joko Widodo, lewat antara lain penerbitan Omnibus Law belum lama ini.
Oleh : Farid Gaban*
JERNIH– Hari ini 50 tahun lalu Jakarta membara. Mahasiswa berdemontrasi turun ke jalan. Demo itu berakhir menjadi kerusuhan, yang belakangan dikenal dengan julukan Malari, atau Malapetaka 15 Januari.
(Mahasiswa menuduh, aparat Orde Baru-lah yang menyulut kerusuhan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa).
Mahasiswa turun ke jalan untuk menolak investasi asing Jepang kala itu. Kini, setengah abad kemudian, kita bisa melihat ke belakang lebih jernih untuk menilai apakah protes mahasiswa kala itu sahih dan beralasan.
Pelajaran yang dipetik dari renungan itu akan bisa dipakai pula untuk menilai apakah kita layak mendukung atau menolak obsesi investasi ala Omnibus Law (UU Cipta Kerja) di era Jokowi sekarang ini.
Setelah protes mahasiswa sukses diredam, Orde Baru melanjutkan program perluasan ekonomi, dengan cara menarik investasi (asing maupun domestik) besar-besaran sampai rezim itu runtuh menyusul Krisis 1998.
Krisis 1998 menunjukkan bahwa investasi asing, yang dibuka lebar lewat deregulasi ekonomi dan keuangan sejak dasawarsa 1980, hanya menyembunyikan keroposnya fondasi ekonomi kita. Ekonomi kita rapuh meski ada pertumbuhan yang tinggi.
Di sisi lain, memicu ketimpangan yang makin besar. Deregulasi investasi menciptakan konglomerat baru, para kroni Soeharto dan kerabatnya, sumber korupsi kolosal. Dan ketika Orde Baru baik secara politik maupun ekonomi, rakyat harus berkorban menanggung bail-out dunia perbankan (pada dasarnya membantu para konglomerat).
Yang miskin mensubsidi yang kaya. Negara terus menyunat subsidi sosial, terutama pendidikan dan kesehatan, untuk bisa menyisihkan cicilan utang akibat bail-out, bahkan sampai sekarang, 20 tahun kemudian.
Terjebak utang dan kesulitan moneter menyusul Krisis 1998, pemerintahan pasca-reformasi tak bisa lain kecuali makin tunduk pada kreditor dan investor. Program memikat investasi berlanjut pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan kemudian diteruskan lebih agresif pada masa Joko Widodo, lewat antara lain penerbitan Omnibus Law belum lama ini.
Investasi asing (khususnya Jepang) pada masa Orde Baru memang telah berjasa menumbuhkan ekonomi secara spektakular. Bank Dunia dan IMF sempat menjuluki Indonesia sebagai Macan Asia. Tapi, itu bukan tanpa biaya.
Pertumbuhan ekonomi cemerlang membuat Orde Baru makin percaya diri untuk menindas aspirasi politik, khususnya aspirasi para korban “pembangunanisme”, yakni petani, buruh dan nelayan yang tersisih.
Jepang adalah proxy Amerika. Secara politik, besarnya investasi Jepang ikut membawa Indonesia makin akrab ke Blok Barat (kapitalis). Ini dibarengi dengan penindasan dan perburuan terhadap para aktivis kiri (sosialis). Protes para petani dan buruh yang tergusur diredam dengan tuduhan komunis.
Di situ kita melihat bagaimana investasi asing ikut membiayai kebrutalan rezim Orde Baru.
Di samping ketimpangan dan pelanggaran HAM, investasi asing pada era Orde Baru justru memicu ketergantungan. Investasi tidak membuat ekonomi kita jadi mandiri. Sementara pertanian rusak, kita tak beranjak jauh dalam bidang manufaktur. Janji bahwa investasi asing akan menularkan kemampuan teknologi dan manajemen cuma fatamorgana belaka.
Ketergantungan kita pada impor terus berlanjut hingga kini, bahkan dalam soal kebutuhan dasar seperti pangan, obat, dan vaksin.
Investasi asing mungkin bukan sama sekali tak ada gunanya. Tapi, sebuah studi, lihat catatan di bawah, mengungkapkan bahwa investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya, terutama bagi negeri seperti kita yang kurang prasyarat untuk bisa memanfaatkan investasi demi tujuan positif.
Di samping kekayaan sumber daya alam, banyak investor asing mengincar kita hanya sebagai pasar, mengingat jumlah penduduknya yang besar. Sumberdaya manusia kita sangat lemah, bahkan kalah dari Vietnam. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita bahkan masih kalah jauh dari Srilanka.
Merenungkan hal itu, kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa malapetaka tidak hanya terjadi ketika Jakarta terbakar pada 1974.
Malapetaka ekonomi, sosial dan politik masih menghantui kita sampai sekarang. [ ]
*Wartawan. Pernah berkiprah di Majalah Tempo, Editor, Berita Buana (baru), Republika, Ummat, dan saat ini Geotimes.
Rujukan
1. The FDI mantra is based on an economic myth https://www.politico.eu/…/the-fdi-mantra-is-based-on…/
2. Dierk Herzer, Stephan Klasen, Felicitas Nowak-Lehmann; In search of FDI-led growth in developing countries; 2006. https://www.sciencedirect.com/…/abs/pii/S0264999307001356