
Masalahnya, lantas apakah kita memang membutuhkan sebuah budaya politik baru? Agaknya, ya. Budaya politik selama Jokowi jadi presiden sudah menunjukkan kelemahannya. Sistem kekuasaan yang dibangunnya sudah merusak demokrasi. Ia sudah “aus”. Ia menutup diri terhadap nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi. Sebaliknya, ia membuka kesempatan yang luas untuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Salah satu berita yang memperoleh respons masyarakat adalah pertemuan empat mata Presiden Prabowo dan Jokowi di Jalan Kartanegara, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025). Dalam pertemuan itu, kata Menseneg Prasetyo Hadi, banyak hal yang dibicarakan. “Banyak. Yang pertama memang silaturahmi di antara dua pemimpin, Presiden ke-7 dan Presiden ke-8,” kata Prasetyo kepada media.
Bagi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Syahrial Nasution, pertemuan Presiden Prabowo dan Jokowi itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. “Bagus-bagus saja ada pertemuan para pemimpin negara. Menciptakan suasana yang teduh bagi masyarakat,” kata Syahrial kepada awak media.
Selanjutnya, Syahrial menyebut Presiden Prabowo beberapa kali bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Presiden ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga beberapa kali bertemu berdua dengan Presiden Prabowo. Saling berkomunikasi dan bertukar informasi. Tentu sebuah kondisi yang bagus, meski tidak sampai diberitakan atau tidak harus diketahui publik,” ujarnya.
Lalu, bagaimana respons kita? Kita tentu mengerti, pertemuan presiden baru dan lama menunjukkan hubungan mereka baik-baik saja. Mereka bisa bertukar informasi tentang kebutuhan dan harapan masing-masing. Di atas itu, presiden baru bisa menghargai pengalaman dan kebijakan presiden yang lama.
Namun, presiden lama mesti tahu diri. Zaman dia menjadi presiden berbeda dengan zaman presiden yang sekarang pejabat. Tantangannya juga berbeda. Style dan gaya untuk menghadapi tantangan juga berbeda.
Bagaimana kalau presiden lama menitipkan sebuah agenda kepada presiden baru? Tentu saja sah. Namun, presiden lama tidak boleh memaksakan kehendaknya. Presiden baru tidak boleh punya beban emosi untuk meresponsnya. Dia bebas menolak atau menerima agenda itu.
Kalau presiden lama merasa dia belum berhasil menerapkan satu kebijakan ketika menjabat dulu, itu kelemahan dia. Dia tidak boleh memproyeksikan cita-citanya pada presiden baru. Kalau dia nekad, sesungguhnya dia sudah melanggar hak asasi manusia (HAM) presiden yang baru. Dia bisa diadukan ke polisi.
Apakah pertemuan presiden baru dan lama di atas bisa menjadi sebuah budaya politik baru? Secara umum budaya politik merupakan seluruh kebiasaan dalam bersikap, bergaul dan berkomunikasi tentang politik. Ia mencakup antara lain bagaimana mengelola konflik antara partai politik mendukung kedua presiden.
Selama ini konflik antara partai politik yang mendukung presiden baru dan pesiden lama tidak selalu terselesaikan secara dewasa dan beradab. Tidak jarang bahkan partai politik yang mendukung presiden lama tidak respek pada partai politik asal presiden baru.
Maka budaya politik kita selama ini belum dikembangkan ke arah penyelesaian konflik yang bermanfaat untuk kepentingan negara. Kalau kini kita membayangkan pertemuan presiden baru dan lama menjadi sebuah budaya politik baru, hendaknya ia bisa menyelesaikan konflik partai pendukung presiden baru dan presiden lama secara beradab. Komunikasi antara presiden baru dan lama jadi lancar. Tidak ada lagi pihak yang merasa terabaikan. Konsentrasi bisa diarahkan pada pencapaian empat tujuan negara seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Masalahnya, lantas apakah kita memang membutuhkan sebuah budaya politik baru? Agaknya, ya. Budaya politik selama Jokowi jadi presiden sudah menunjukkan kelemahannya. Sistem kekuasaan yang dibangunnya sudah merusak demokrasi. Ia sudah “aus”. Ia menutup diri terhadap nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi. Sebaliknya, ia membuka kesempatan yang luas untuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Bila dilihat lebih jauh, ia juga menabukan kritik. Siapa yang mengkritik tentu di-bully habis-habisan. Presiden bahkan tidak boleh kena kritik. Kalau ada yang mencoba-coba mengkritik bisa berhadapan dengan polisi dan dikriminalisasi. Wajar bila ada orang yang menilai budaya politik kita di zaman Jokowi tidak lagi segar. [ ]
*Guru Besar Jurnalisme UGM