Solilokui

Membangun Jembatan

Untuk bicara pun tak disertai keterbukaan pikiran, dengan mengaktifkan kapasitas akal dan intelek untuk melihat realitas dunia sekeliling; memperhatikan tanda dan fenomena semesta; membaca fakta, data dan realita; menghindari kecenderungan mudah menghakimi.

Oleh   :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, saat dunia dilanda banyak kecemasan, penderitaan, kesenjangan dan pertikaian, nurani kemanusiaan mengajak kita bergandeng tangan menguatkan tali persaudaraan. Celakanya, alih-alih membangun jembatan,  kebanyakan kita berlomba meninggikan dinding pembatas.

Yudi Latif

Para pemimpin politik bukan menjadi simpul persatuan, malah jadi pengobar pembelahan sosial.

Kampanye Pancasila tidak meluaskan titik temu, malah melebarkan jurang pemisah.

Seruan moderasi agama bukan merangkul melenturkan yang keras, malah memukul memojokannya ke sudut ekstrem.

Semua orang tahu ada banyak masalah dalam kehidupan bangsa, namun cara yang kita tempuh untuk mengatasinya malah menambah masalah. Semua itu terjadi karena kebanyakan kita hanya mau bicara, tanpa siap mendengar.

Untuk bicara pun tak disertai keterbukaan pikiran, dengan mengaktifkan kapasitas akal dan intelek untuk melihat realitas dunia sekeliling; memperhatikan tanda dan fenomena semesta; membaca fakta, data dan realita; menghindari kecenderungan mudah menghakimi.

Dengan mendengar, yang kita cari bukan kesalahan pihak lain, melainkan siap membuka hati. Kita aktifkan kapasitas empati untuk terhubung secara langsung dengan orang atau sistem kehidupan lain. Dengan membuka hati dan kekuatan empati, kita mendengar sesuatu dari sudut pandang pihak lain. Aku menaruh diri dalam sepatu orang lain.

Jika hal itu terjadi, kita akan merasakan perubahan mendalam: kita bisa menunda kebiasaan dan prasangka kita sendiri dan mulai dapat melihat dunia terbentang melalui lensa penglihatan dan pendengaran orang lain.

Dengan begitu, yang asing jadi familiar, yang jauh jadi karib, prasangka berganti pengenalan. Rumah kewargaan jadi rumah ramah nan terbuka menerima kehadiran ragam tamu, sebagai wahana saling mengenal dan saling mengarifkan. Dengan saling mengenal dan mengarifkan tumbuhlah semangat saling mencintai. Itulah rumah sakinah pangkalan kebahagiaan hidup bersama.

Saat kehidupan negeri dilanda banjir persoalan, banyak orang terisolasi di bungker identitas dan kepentingan masing-masing, yang kita butuhkan bukan terus meninggikan dinding pemisah, melainkan bekerja sama membangun jembatan. [ ]

Back to top button