
Salah satu logika jurnalisme adalah mengutamakan kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat itu beragam. Namun, semuanya bermuara pada mempermudah kehidupan masyarakat. Namun, yang terjadi jauh panggang dari api. Bupati Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 250 persen. Polisi menjadi alat penguasa untuk menindak siapa saja yang mengkritik penguasa. Ada aliran dana untuk pejabat Kementerian Agama yang berasal dari jemaah. Ada pula aliran dana pajak rakyat ke anggota DPR, dari BI dan OJK.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Dalam waktu sepekan belakangan ini, media online melaporkan kejadian dan ide buruk dengan sigap. Di ranah masyarakat, ada kerusuhan di Pati yang memperlihatkan polisi tak berkutik menghadapi serangan massa. Massa di sana menyiksa polisi yang tertangkap tanpa ampun.
Di wilayah eksekutif, ada pernyataan bupati Pati yang menantang massa mengerahkan 50 ribu orang berdemo. Ada juga pernyataan Menteri ATR/BPN yang menyebutkan tanah bukan milik mbah-nya masyarakat. Ada pula pernyataan Kejaksaan Agung yang mengakui Silfester Matutina sudah divonis bersalah dan mendapat hukuman penjara selama 18 bulan pada 2019. Namun, sampai saat ini, dia belum dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan ada pernyataan juru bicara KPK yang mengatakan kerugian negara dalam kasus kuota haji era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mencapai Rp 1 triliun.
Di wilayah legislatif ada pernyataan juru bicara KPK yang menyebutkan semua anggota Komisi XI DPR memperoleh uang Corpotate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jumlah uang yang diterima setiap anggota mencapai Rp 25 miliar.
Salahkah media online itu? Tentu saja tidak. Realitas sosialnya memang buruk. Media online hanya melaporkannya, menggunakan logika jurnalisme.
Salah satu logika jurnalisme adalah mengutamakan kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat itu beragam. Namun, semuanya bermuara pada mempermudah kehidupan masyarakat. Bupati mempermudah kehidupan masyarakat di daerahnya. Polisi menjamin keamanan masyarakat berusaha di wilayahnya. Menteri agama memberikan kenyamanan masyarakat menunaikan ibadah haji dengan biaya yang pantas. Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. OJK menjamin aliran uang di sektor jasa keuangan berjalan lancar
Namun, yang terjadi jauh panggang dari api. Bupati Pati ingin menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di wilayahnya 250 persen. Polisi menjadi alat penguasa untuk menindak siapa saja yang mengkritik penguasa. Ada aliran dana untuk pejabat di Kementerian Agama yang berasal dari Jemaah. Ada pula aliran dana pajak rakyat ke anggota DPR dari BI dan OJK.
Ini tentu saja akan mempersulit kehidupan masyarakat. Padahal kehidupan mereka sudah sulit! Mereka susah mencari pekerjaan. Daya beli mereka menurun. Kesempatan mereka menambah penghasilan hampir tak ada.
Kita bisa saja menunjuk Bupati Pati, Polisi, Menteri Agama, Menteri ATR/BPN dan anggota DPR adalah manusia biasa. Mereka punya kekurangan. Namun, kekurangan itu bila dibandingkan dengan kesusahan akibat kekurangan itu, penderitaan masyarakat jauh lebih hebat.
Dalam keadaan begini, tanpa sadar ingatan kita menerawang masa lalu para tokoh itu. Kita mengerti, mereka pasti bersekolah sebelum menduduki jabatan sekarang. Awalnya mereka belajar di sekolah formal. Kemudian mereka juga belajar di lembaga pendidikan nonformal. Mereka juga mendapatkan pencerahan dari media. Dari pembelajaran dan pencerahan itu mereka diharapkan bisa memecahkan masalah riil yang dihadapi masyarakat.
Apakah ini berarti sekolah tidak selalu sukses menjadi pencerahan peradaban? Agaknya, ya. Jawaban ini melahirkan pertanyaan baru, apa yang harus dilakukan sekolah agar lulusannya bisa berkontribusi dalam mencarahkan peradaban? Jawabanya tegas: membangun kesadaran kritis siswanya. Ini perlu dikembangkan pada setiap jenjang pendidikan. Ini bahkan perlu disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Secara praktis, kesadaran kritis merupakan kemampuan manusia. Ia melingkupi kemampuan: (i) memahami informasi melampai harfiahnya, (ii) menganalisis kondisi secara mendalam, dan (iii) menempatkan diri sesuai dengan keyakinan. Semua kemampuan hanya bisa dibangun oleh manusia yang bebas, bukan tertindas.
Maka sekolah mesti menjadi arena bermain, belajar, menghafal dan memecahkan masalah secara bebas. Sekolah perlu memperlakukan siswanya sebagai orang yang becus untuk mempelajari realitas, menyampaikan argumen aneh dan tidak mengulang-ulang pikiran usang. Sekolah tidak melecehkan kecerdasan dan kawarasan siswa. Tegasnya, sekolah mesti menjadi lembaga pendidikan yang membebaskan. [ ]
*Guru besar jurnalisme Universitas Gadjah Mada