SolilokuiVeritas

Membela Pilkada Langsung

Jika menelusuri praktik Pilkada sejak zaman kerajaan sampai sekarang, tampak terjadi pergeseran sistem. Dari autokrasi (pemerintahan oleh seorang penguasa/raja/sultan), ke arah oligarki (pemerintahan oleh beberapa orang/golongan/kelompok), dan – akhirnya belakangan ini ke arah – demokrasi (pemerintahan oleh rakyat dengan perantara para wakilnya).

Oleh : Mi’raj Dodi Kurniawan

JERNIH– Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung disoal Presiden Prabowo Subianto. Model pilkada tersebut dianggap mahal (menelan banyak biaya). Menurutnya, Pilkada ala Orde Baru (Orba) lebih murah, karena dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jadi, akankah Pilkada kembali dilakukan oleh DPRD, sebagaimana era Orba? Akankah pesta rakyat dikorbankan oleh para elit politik?

Sejarah Pilkada

Proses pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia, pernah mengikuti berbagai cara. Retno Saraswati (2011) mengemukakan empat cara Pilkada di Indonesia, sebelum dengan cara pemilihan langsung.

Kesatu, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pemerintah pusat. Sistem ini dilaksanakan sejak era pemerintahan kolonial Belanda (bahkan jauh sebelum itu, pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara), penjajahan Jepang, dan tahun-tahun awal pasca Indonesia merdeka.

Kedua, sistem penunjukan. Sistem ini dilaksanakan pada era Orde Lama (Orla), ketika Presiden Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin.

Ketiga, sistem pemilihan perwakilan (tidak murni). Dilaksanakan awal Orba, Pilkada dilakukan oleh DPRD. Lalu, Presiden Suharto menentukan calon kepala daerah terpilih.

Keempat, sistem pemilihan perwakilan (murni). Dilaksanakan menjelang akhir Orba, kepala daerah dipilih secara murni oleh DPRD, tanpa intervensi pemerintah pusat.

Sejak 2005, Pilkada dilakukan secara langsung. Dari 2005 sampai 2008, partai politik (parpol) masih menjadi satu-satunya pihak yang bisa mengajukan pasangan calon (paslon) peserta Pilkada. Sejak 2008, perseorangan dibolehkan mencalonkan.

Menjelang akhir kepresidenannya yang kedua, SBY mengesahkan Undang-Undang (UU) yang mengembalikan pilkada kepada DPRD. Namun, UU itu ditolak rakyat. Maka, pada 2015, Presiden Jokowi menganulasi UU tadi, sehingga kepala daerah kembali dipilih langsung oleh rakyat. Bersamaan itu, dicanangkan pula Pilkada Serentak.

Pilkada Serentak 2020 (yang pertama kali), dihelat pada 9 Desember 2020. Ada 270 daerah, dengan rincian sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang melaksanakannya. Digelar pada 27 November 2024, total daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2024, sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.

Dengan demikian, jika menelusuri praktik Pilkada sejak zaman kerajaan sampai sekarang, tampak terjadi pergeseran sistem. Dari autokrasi (pemerintahan oleh seorang penguasa/raja/sultan), ke arah oligarki (pemerintahan oleh beberapa orang/golongan/kelompok), dan – akhirnya belakangan ini ke arah – demokrasi (pemerintahan oleh rakyat dengan perantara para wakilnya).

Plus Minus Dua Jenis Pilkada

Ada beberapa kelebihan Pilkada langsung. Kesatu, rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya, sesuai penilaian pribadi, sehingga hubungan rakyat dengan kepala daerahnya, akan relatif lebih dekat. Kedua, paslon yang bagaimana pun bisa terpilih, asalkan dipilih oleh mayoritas pemilih.

Ketiga, para pemilih tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Di daerah yang tingkat partisipasi politiknya tinggi, masyarakat mendukung keberlangsungan demokrasi yang baik. Bahkan, masyarakat yang berintegritas dan cerdas, lebih independen dalam memilih, dan jarang bisa dipengaruhi parpol, apalagi disuap.

Keempat, jika perekrutan para paslon kepala daerahnya massif, terbuka, ketat, dan bersih, maka Pilkada langsung akan mampu menghasilkan kepala daerah yang populer, berkapasitas, dan berkapabilitas tinggi.

Namun, Pilkada langsung juga memiliki beberapa kekurangan. Antara lain, kesatu, biayanya besar, terutama jika sudah diwarnai politik uang. Lantaran terlalu mengandalkan modal, paslon yang terpilih pun bukan yang kapabel, melainkan malah yang bermodal besar itu.

Kedua, karena permisif kepada modal, maka kedaulatan rakyat melemah. Kepala daerah yang berhutang kepada pemodal ebagian dan asing untuk membiayai pilkada, akan korupsi, membayarnya dengan tender atau kebijakan bagi pemodal dan pihak asing itu, namun merugikan negara dan daerah.

Ketiga, ketidakadilan dalam penyelenggaraan dan kekurangdewasaan dalam berpolitik, membuat pilkada langsung rentan konflik sosial. Keempat, tidak jarang, angka partisipasi politik dalam pilkada langsung, rendah.

Pilkada oleh DPRD juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihannya, antara lain, kesatu, ebagian lebih sangkil (lebih murah), apalagi jika ebagia politik uang. Kedua, pilkada oleh DPRD dipercaya – oleh ebagian pihak – lebih sesuai dengan demokrasi ala Indonesia, yaitu demokrasi perwakilan.

Beberapa kekurangan Pilkada oleh DPRD, di antaranya, kesatu, rakyat tak bisa memilih langsung kepala daerahnya, sehingga hak politik rakyat berkurang, kepala daerah bisa saja kurang dikenal, dan partisipasi politik rakyat semakin rendah. Kedua, dikhawatirkan, DPRD hanya mewakili kepentingan parpol, mempraktikkan oligarki, dan kurang mewakili dan kurang memihak kepentingan rakyat.

Ketiga, selama DPRD masih berkaca mata kuda dalam memunculkan para calon kepala daerah (hanya dari lingkaran parpol), maka selama itu pula, pilkada oleh DPRD sulit menghasilkan kepala daerah terbaik. Keempat, membuka peluang terjadinya politik transaksional, politik uang, dan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di DPRD dan pemerintah daerah. Sebab, pemilik suaranya DPRD.

Dimulai dari dan Kembali pada Tujuan

Sebagai cara pemilihan, maka baik Pilkada oleh DPRD maupun Pilkada langsung, fleksibel saja. Sebab, prinsip utamanya tercapainya tujuan. Bukannya tujuan mengikuti cara, melainkan caralah yang mengikuti tujuan. Cara yang ditempuh mestilah mangkus dan sangkil dalam meraih tujuan. Jadi, apa tujuan Pilkada?

Tujuan utama Pilkada adalah terpilihnya kepala daerah yang memiliki visi, komitmen, dan kapabilitas menciptakan masyarakat adil makmur. Sewaktu masih dipilih DPRD, tujuan tersebut dianggap belum tercapai. Sebab, DPRD dan kepala daerah malah mempraktikkan KKN. Sebagaimana kecurigaan Lord Acton, power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup). Selain itu, rakyat juga kurang dilibatkan.

Maka, digelarlah Pilkada langsung. Selain untuk mencapai tujuan tadi, juga untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat. Dengan banyaknya pihak (rakyat) yang terlibat dalam pilkada, diharapkan terjadi saling mengawasi, sehingga tujuan pilkada dapat diraih. Kepala daerah yang dipilih melalui pilkada langsung, diharapkan lebih aspiratif dan lebih memenuhi kebutuhan dan harapan rakyat daerah.

Pilkada langsung, penting untuk menjaga kedaulatan rakyat. Dengan memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka sendiri, pilkada langsung akan mendorong partisipasi politik rakyat dan menghindari konsentrasi kekuasaan di tangan oligarki atau autokrasi. Jadi, jika pilkada langsung dilaksanakan secara baik dan benar, maka kepala daerah yang baik akan muncul, dan kedaulatan rakyat terjaga.

Memperbaiki Pilkada Langsung

Sebenarnya, yang membuat Pilkada langsung menjadi mahal, para elit politik sendiri. Merekalah yang memborong parpol dengan mahar, melakukan politik uang, menyuap rakyat dengan sembilan bahan pokok (sembako), dengan asesoris, kalender, bantuan sosial (bansos), dan lain-lain. Bahkan, mereka juga membuat aturan dan anggaran selangit. Sementara rakyat, nyaris tak tahu apa-apa.

Jadi, jangan menyalahkan apalagi mengorbankan ‘pesta rakyat’. Daripada mundur (set back) dengan melaksanakan lagi Pilkada oleh DPRD, lebih baik perbaiki Pilkada langsung. Antara lain, kesatu, parpol dan perseorangan introspeksi diri. Selain berkomitmen tak melakukan hal-hal yang membuat pilkada langsung menjadi mahal, mereka juga harus ‘dipaksa’ memunculkan para calon kepala daerah yang bervisi, komitmen, dan kapabel guna menciptakan masyarakat yang adil makmur.

Kedua, posisikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga ad hoc. Selain harus kuat, karena ditopang peraturan dan pendanaan memadai, KPU dan Bawaslu juga harus diperkuat aparat yang berintegritas, kapabel, dan mencukupi. KPU dan Bawaslu harus memberangus politik uang, dan harus menihilkan penyelewengan Pilkada, baik yang dilakukan para politisi maupun rakyat.

Ketiga, rakyat harus dididik atau saling mendidik satu sama lain, bahwa politik uang bukan saja buruk bagi masa depan demokrasi kita, tetapi juga berdosa (menuai azab di dunia dan di akhirat). Rakyat harus saling nasehat-menasehati dan saling melindungi, bahwa menerima suap dan memilih kepala daerah yang tak bervisi, tak komitmen, dan tak kapabel, merugikan diri, bangsa, dan negara. Singkat kata, rakyat harus bertobat dari menerima suap, dan dari memilih kepala daerah secara sembrono.

Langkah perbaikan ini tentu butuh waktu (proses), terutama butuh kesungguhan. Dan kalau menengok lagi pada munculnya wacana kembali melaksanakan pilkada oleh DPRD, tanpa usaha serius memperbaiki mutu pilkada langsung, jangan-jangan itu dalih sebagian elit politik saja, untuk menganulir daulat rakyat, untuk menegakkan oligarki bahkan autokrasi sekaligus memberangus demokrasi, untuk menyemarakkan lagi KKN? []
*Esais, anggota Dewan Pakar ICMI Jawa Barat, dan penulis buku “Kekuatan Penggerak Sejarah” dan “Pembaharuan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire”

Back to top button