Solilokui

Memperkuat Kogabwilhan Melalui Restukturisasi Koter

Oleh : Beni Sukadis*

Selama 20 tahun terakhir ini TNI harus menghadapi tantangan dan peluang dalam lingkungan strategis yang tidak stabil yang diwarnai oleh persaingan dan kerjasama antara kekuatan besar (AS dan Cina) dan ancaman ancaman potensial lainnya.

Sebagai contoh, di Asia Pasifik persaing antara AS dan Cina di Laut Cina Selatan begitu jelas dan tidak ada yang dapat memprediksi akhir dari persaingan ini. Belum lagi penolakan Cina terhadap putusan pengadilan internasional 2016 mendukung klaim Filipina pada wilayah sengketa di sembilan garis putus (nine dash line), dan isu regional lain seperti ancaman terorisme dan penderitaan ras Rohingya di Asia Tenggara. Mempersiapkan kesiapsiagaan TNI sejalan dengan 2015 Buku Putih pertahanan yang menyatakan, “… lingkungan strategis makin kompleks ditandai dengan eskalasi persaingan antara Negara besar yang meningkat. ”  Oleh karena itu, TNI harus siap mengantisipasi potensi konflik yang mungkin muncul dan kita tentu tidak bisa puas dengan kemampuan militer kita saat ini. 

Isu terakhir dari pengembangan postur pertahanan yakni Indonesia telah mendirikan kembali komando gabungan wilayah pertahanan sebagai Komando utama operasi (Kotama Ops). Pada akhir September 2019, Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahyanto meresmikan komando baru yang disebut Komando Gabungan wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) atau sebagai bagian dari pengembangan postur pertahanan. Kogabwilhan terdiri dari tiga wilayah komando (Kogabwilhan I, II III) yang mengabungkan tiga angkatan, sehingga dapat menjalankan  interoperabilitas di antara tiga angkatan secara lebih efektif.

Namun, muncul pertanyaan ketika TNI AD masih mempertahankan struktur lama yakni komando teritorial (Koter) yang paralel dengan struktur administrasi sipil dari tingkat provinsi, Kabupaten hingga desa. Komando teritorial (Koter) adalah warisan perang kemerdekaan pada 1945 yang mengandalkan peperangan gerilya, karena keterbatasan kapasitas TNI untuk melawan invasi Belanda pada awal kemerdekaan. Jadi pertanyaan yang valid saat ini soal Koter, Bisakah Komando teritorial mendukung Komando Gabungan pada saat perang, karena Koter seperti Kodim dan Koramil ditujukan untuk mengelilingi musuh dengan perangan taktis yang dikenal sebagai perang gerilya. Itu berarti, fungsi Koter adalah bertentangan dengan komando bersama yang baru didirikan yang dipersipkan untuk peperangan konvensional menggunakan Alat Utama Sistem senjata (Alutsista) yang modern dan yang mengandalkan superioritas angkatan udara dan kekuatan angkatan laut daripada.

Karena itu komando teritorial bisa dianggap sudah kuno, terutama Kodim dan Koramil yang tertentu harus dibubarkan untuk memperkuat Joint Command. Tidak seperti Kodim dan Koramil, Komando Resor Militer (KOREM) justru dilengkapi untuk kemampuan perang dengan setidaknya 1 Batalyon dalam strukturnya dan mengawasi beberapa kabupaten atau provinsi. Secara struktural KOREM berada langsung di bawah komando KODAM, yang setara dengan tingkat provinsi di Pulau Jawa, namun berbeda dengan Kodam di luar Jawa yang  membawahi dua atau tiga propinsi kecuali di Aceh, Papua dan Papua Barat. Namun demikian, Kodim (komando distrik militer) yang mengawasi tingkat kabupaten atau kota dan Koramil (Komando Rayon Militer) mengawasi wilayah Kecamatan  tidak dilengkapi dengan fungsi pertahanan. Kodim dan Koramil tidak memiliki efek jera terhadapmusuh di luar Indonesia karena tidak memiliki kapasitas tempur dengan sekitar 30 personil masing-masing.

Peran utama komando wilayah adalah intelijen atau pengumpulan informasi (Lesperssi, 2006) untuk tujuan pertahanan. Ini naik pertanyaan apa jenis pengumpulan informasi untuk tujuan pertahanan di daerah perkotaan, misalnya Kodim di Bogor, yang pada dasarnya sebuah kota. Tidak jelas? Mungkin berguna jika pengumpulan informasi dilakukan baik di daerah perbatasan seperti Kalimantan, Sulawesi atau Papua, atau pulau terpencil/luar seperti Miangas, dll, yang akan mengantisipasi ancaman eksternal. Belum lagi upaya penggunaan teknologi maju di masa depan melalui drone atau satelit untuk aktivitas ISR/Intelligence, Surveillance dan Recoinassance (intelijen, Pemantauan, dan Rekoinasan)  menjadi lebih efisien dan dapat diandalkan dibandingkan intelijen manusia. Sehingga dengan kemajuan teknologi ini membuat Kodim dan Koramil menjadi warisan masa lalu.  

Sebenarnya ada alternatif untuk memperkuat Komando Gabungan Wilyah Pertahanan yaitu dengan melakukan transformasi atau restrukturisasi Kodim dan Koramil menjadi Batalyon baru, sehingga akan menyerap semua personil dari Kodim dan Koramil. Misalnya, jika setiap unit Koter (kodim dan koramil)  terdiri dari 30 personil dan Indonesia memiliki sekitar 300 kabupaten/kota (Kabupaten dan kota), sehingga dapat terbentuk antara 15-21 Batalyon baru di seluruh Indonesia dengan jumlah 15.000 personil. Dengan demikian, menciptakan lebih banyak pekerjaan bagi perwira menengah di Batalyon. Batalyon ini akan ditugaskan di bawah Komando Gabungan Wilayah Pertahanan, sehingga Batalyon baru akan memperkuat Kotama Ops yang baru. Mengapa ini harus diperhitungkan, karena struktur Koter di Kabupaten dan kota saat ini tidak berfungsi dengan optimal, artinya Koter sejatinya lebih berfungsi di wilayah perbatasan dan daerah terpencil seperti yang disebutkan sebelumnya. 

Restrukturisasi Koter harus direncanakan dengan cermat dimulai dari Jawa dan Sumatera, karena akan menambah beban negara tapi tentunya demi tujuan baik dan pemerintah Jokowi harus mendukungnya dengan bijak. Tanpa restrukturisasi maka Kogabwilhan akan tetap menjadi organisasi tanpa kerangka yang tidak memiliki detterent. Untuk itu restrukturisasi dapat dilakukan jika elit politik memiliki kemauan politik untuk memberikan jalan bagi modernisasi TNI melalui penguatan Kogabwilhan yang pada akhirnya melindungi kepentingan nasional kita. []

Beni Sukadis adalah pengamat keamanan nasional dari LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia), Jakarta.

Back to top button