SolilokuiVeritas

Mempertahankan Supremasi Sipil

Dalam menjalankan pemerintahannya selama ini, muncul kesan Presiden Prabowo Subianto tidak tampil sebagai pemecah masalah yang diwariskan Presiden Joko Widodo. Salah satu yang sangat kasat mata adalah kekuasaan dan anggaran Polri yang sangat besar.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Kita tentu berharap unjuk rasa yang berujung rusuh hanya terjadi minggu lalu. Namun, apakah harapan kita itu akan terwujud? Apakah kerinduan kita akan unjuk rasa yang damai akan terpuaskan? Entahlah!

Yang jelas kini tentara (TNI) sudah resmi turun gunung. Mereka siap mengawal unjuk rasa agak tidak rusuh. Mereka mendukung polisi menjaga ketertiban unjuk rasa. Menurut pengakuan Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, seperti diberitakan Detik.com, 1 September 2025, TNI hanya membantu Polri.

Katanya Jenderal Tandyo selanjutnya, “Jadi tidak ada kita mau ngambil alih, tidak ada, karena itu disampaikan bahwa yang di depan itu Polri dulu. Polri, baru setelah itu ada kondisi seperti ini, barulah kita jadi satu dengan Polri, tidak ada keinginan kita untuk mengambil (alih)”.

Tentu kita jadi adem mendengar pernyataan Jenderal Tandyo ini. Bayangan kita Indonesia akan menjadi darurat militer segera sirna. Imajinasi kita selanjutnya supremasi sipil bisa dipertahankan. Ya, kita selalu membayangkan Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip supremasi sipil.

Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan, mungkinkah sebuah negara yang menganut prinsip supremasi sipil bisa dipimpin oleh seorang mantan jenderal? Bisa saja. Sepanjang dia memiliki pengalaman dan kemampuan memimpin negara. Yang lebih penting, dia bisa memisahkan kekuasaan sipil dan militer.

Membayangkan apa yang terjadi pada Presiden Prabowo Subianto, kita yakin dia memenuhi syarat di atas. Dia bisa menjaga diri agar tidak terjerumus menggunakan kekuasaannya untuk mengabaikan kontrol sipil. Dia siap mempertahankan supremasi sipil.

Pertanyaan yang kemudian menghadang adalah, apa sebenarnya makna supremasi sipil? Secara praktis, supremasi sipil ditandai oleh: (i) kekuasaan sipil memiliki otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan, (ii) militer tunduk pada kontrol dan pengawasan sipil, dan (iii) keputusan politik ditentukan oleh pemerintah sipil.

Namun, Presiden Prabowo Subianto adalah seorang manusia. Seperti manusia lainnya, dia memiliki kesadaran diri. Kesadaran diri ini biasanya bertolak dari pemahaman tentang kualitas dirinya, esensi dirinya, dunia, dan hubungan antara dirinya dan rakyat. Makin mendalam kesadaran dirinya tentang hubungan antara dirinya dan rakyat, makin besar pula keinginannya untuk menciptakan rakyat yang aman dan sejahtera.

Dalam menjalankan pemerintahannya selama ini, muncul kesan Presiden Prabowo Subianto tidak tampil sebagai pemecah masalah yang diwariskan Presiden Joko Widodo. Salah satu yang sangat kasat mata adalah kekuasaan dan anggaran Polri yang sangat besar.

Idealnya, Presiden Prabowo mereformasi kepolisian. Selanjutnya, dia memberhentikan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri dan menggantinya dengan Jenderal Polisi yang baru. Namun, itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah: “Dia menciptakan penyeimbang dengan memuliakan tentara. Dua kelompok bersenjata ini pun berebut pengaruh. Di lapangan, keduanya menjadi beking pengusaha dengan memakai aparat hukum dan kekuasaan” (Tempo, 1-7 September 2025).

Inilah yang kemudian membuat kita khawatir, terutama dalam mengawal unjuk rasa. Kita khawatir tentara menganggap pengunjuk rasa sebagai pemberontak lantas menangkap mereka. Kalau ini yang terjadi, sesungguhnya Indonesia sudah tergolong darurat militer. Darurat militer, kalau tidak diwaspadai, bisa meluncur pada berakhirnya supremasi sipil. [ ]

*Guru besar jurnalistik UGM

Back to top button