OikosSolilokuiVeritas

Menabung dan Tekanan Hidup: Membaca Sinyal Ekonomi Rakyat

Penurunan intensitas menabung konsumen tidak boleh dianggap sepele. Ia adalah refleksi jujur dari denyut ekonomi rakyat. Di satu sisi, ia menandakan tekanan pengeluaran dan ketidakpastian ekonomi; di sisi lain, ia menunjukkan bahwa perilaku keuangan masyarakat sedang berevolusi. Tantangannya bukan sekadar menaikkan angka IMK, melainkan menumbuhkan kembali kepercayaan bahwa menabung adalah tindakan rasional, aman, dan bermakna sosial.

Oleh     :  Perdana Wahyu Santosa*

JERNIH– Kecenderungan masyarakat untuk menabung mencerminkan keseimbangan antara pendapatan, konsumsi, dan kepercayaan terhadap masa depan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, Indeks Menabung Konsumen (IMK) menjadi salah satu barometer penting untuk menilai daya tahan ekonomi rumah tangga.

Ketika IMK menurun, itu bukan sekadar statistik — melainkan sinyal bahwa masyarakat mulai mengorbankan akumulasi aset jangka panjang demi kebutuhan jangka pendek. Penurunan ini harus dibaca sebagai cermin dari tekanan ekonomi struktural yang makin menekan kesejahteraan riil masyarakat.

Laporan penurunan IMK pada September 2025 menjadi perhatian luas. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa IMK turun ke posisi 77,3, melemah 1,6 poin dari bulan sebelumnya. Lebih rinci lagi, komponen Intensitas Menabung (IIM) turun menjadi 67,1, sedangkan Indeks Waktu Menabung (IWM) justru sedikit naik ke 87,4. Artinya, masyarakat sebenarnya masih percaya bahwa menabung itu penting, tetapi kemampuan aktual mereka untuk melakukannya makin melemah.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah masyarakat benar-benar kehilangan daya beli, ataukah ada perubahan perilaku keuangan yang lebih dalam.

Dalam kajian ekonomi klasik dan modern, tabungan dipandang sebagai sisa dari pendapatan setelah konsumsi. Milton Friedman melalui Permanent Income Hypothesis menjelaskan bahwa keputusan menabung bergantung pada ekspektasi pendapatan jangka panjang, bukan sekadar pendapatan sesaat. Bila individu merasa masa depan tidak pasti, mereka cenderung menahan konsumsi dan memperkuat tabungan.

Namun, bila tekanan ekonomi membuat hampir seluruh pendapatan terserap untuk konsumsi primer, ruang menabung menjadi hilang. Dalam konteks ekonomi perilaku (behavioral economics), faktor psikologis seperti kepercayaan terhadap stabilitas keuangan, optimisme masa depan, dan persepsi risiko turut memengaruhi perilaku menabung. Maka, penurunan IMK bukan hanya akibat tekanan ekonomi objektif, tetapi juga refleksi dari perasaan subjektif bahwa masa depan belum tentu aman.

Pembahasan Masalah

Faktor pertama yang menjelaskan melemahnya intensitas menabung adalah meningkatnya beban pengeluaran rumah tangga. Biaya hidup naik secara konsisten, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan energi. Pada bulan-bulan tertentu seperti awal tahun ajaran baru, pengeluaran rumah tangga melonjak signifikan dan memotong ruang tabungan. LPS menilai, kenaikan biaya pendidikan menjadi penyebab utama menurunnya IMK pada September 2025. Bagi keluarga kelas menengah, situasi ini membuat tabungan bukan lagi prioritas, melainkan kemewahan.

Kedua, tekanan inflasi yang meskipun relatif terkendali secara statistik, tetap dirasakan berat di tingkat mikro. Masyarakat tidak menghitung inflasi sebagaimana BPS menghitungnya; mereka menghitung dengan dompet. Ketika harga bahan pokok naik lebih cepat daripada kenaikan gaji, maka nilai riil pendapatan tergerus. Akibatnya, tabungan menjadi korban pertama. Fenomena ini memperlihatkan paradoks klasik: ekonomi makro bisa tampak stabil di atas kertas, sementara ekonomi rumah tangga merasakan tekanan sebaliknya.

Faktor ketiga adalah ketidakpastian ekonomi. Dalam situasi global yang bergejolak — dengan suku bunga tinggi, ekspor melambat, dan ancaman PHK di beberapa sektor — masyarakat cenderung menahan diri dari keputusan keuangan jangka panjang. Tapi menariknya, alih-alih memperbesar tabungan untuk berjaga-jaga, sebagian memilih menyimpan uang tunai di rumah atau membeli aset non-keuangan seperti emas. Ini menunjukkan bahwa penurunan IMK tidak selalu berarti penurunan saving intention, melainkan perubahan bentuk simpanan dari sektor formal ke informal. Masalahnya, pergeseran ini mengurangi sirkulasi dana di sektor keuangan nasional dan menekan sumber pembiayaan investasi.

Faktor keempat adalah rendahnya imbal hasil produk tabungan. Ketika suku bunga tabungan dan deposito lebih rendah daripada tingkat inflasi, menabung menjadi tidak menarik. Konsumen rasional akan mencari alternatif lain — baik konsumsi langsung maupun investasi yang lebih berisiko. Kenaikan minat terhadap saham, reksa dana, bahkan aset digital mencerminkan keinginan masyarakat untuk mencari return yang lebih tinggi. Namun, peralihan ini membuat data IMK formal tampak turun, padahal sebagian dana beralih ke instrumen non-tabungan.

Faktor kelima adalah masalah kepercayaan terhadap lembaga keuangan. Sebagian masyarakat kelas menengah bawah masih menyimpan pengalaman buruk: saldo tergerus biaya administrasi, pelayanan yang kaku, atau kasus penipuan fintech ilegal. Akibatnya, menabung di bank tidak selalu dipersepsikan aman atau menguntungkan. Ini menjadi tantangan besar bagi sistem keuangan: bagaimana membangun kembali kepercayaan dan menjadikan menabung sebagai perilaku ekonomi yang rasional sekaligus emosional.

Faktor keenam berkaitan dengan distribusi pendapatan. Data menunjukkan penurunan IMK lebih besar terjadi di kelompok menengah atas. Mungkin tampak paradoks, tetapi sebenarnya rasional. Kelompok ini lebih sensitif terhadap pergerakan pasar dan nilai tukar, serta memiliki fleksibilitas mengalihkan dana ke investasi jangka pendek. Sementara itu, kelompok berpendapatan rendah justru mencatat sedikit kenaikan intensitas menabung karena program bantuan sosial atau penyaluran tunai digital. Ini menunjukkan bahwa perilaku menabung bersifat asimetris antar segmen pendapatan.

Rekomendasi

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat literasi dan edukasi keuangan secara menyeluruh. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa menabung bukan semata “menyimpan sisa uang”, melainkan strategi pengelolaan risiko jangka panjang.

Edukasi publik harus melibatkan sekolah, tempat kerja, dan komunitas digital agar perilaku menabung menjadi kebiasaan yang ditanamkan sejak dini. Literasi keuangan juga harus menyoroti pentingnya diversifikasi: membagi dana antara kebutuhan likuid, tabungan formal, dan investasi aman.

Langkah kedua adalah terus meningkatkan daya tarik produk tabungan termasuk melalui inovasi dan memperluas akses keuangan digital dan Fintech yang aman. Pihak perbankan dan lembaga keuangan perlu menawarkan instrumen yang lebih fleksibel: tabungan dengan bunga progresif, bonus loyalitas, atau sistem autodebet dengan batas minimum. Fitur yang memudahkan penarikan sebagian dana tanpa penalti akan mengurangi resistensi psikologis terhadap menabung. Pemerintah dapat pula memberikan insentif pajak bagi individu yang konsisten menabung dalam jangka tertentu, atau memperkenalkan skema matching fund di mana negara menambah sejumlah kecil dana bagi tabungan rumah tangga berpendapatan rendah.

Langkah ketiga adalah menjaga stabilitas ekonomi makro dan sosial-politik. Pengendalian inflasi, jaminan lapangan kerja, dan kepastian harga barang pokok akan meningkatkan rasa aman ekonomi masyarakat. Ketika ekspektasi masa depan membaik, perilaku menabung akan pulih secara alami. Karena itu, kebijakan fiskal dan moneter harus diarahkan bukan hanya pada angka pertumbuhan, tetapi juga pada persepsi publik tentang keamanan ekonomi jangka panjang. Kepercayaan adalah fondasi psikologis dari tabungan nasional.

Penutup

Penurunan intensitas menabung konsumen tidak boleh dianggap sepele. Ia adalah refleksi jujur dari denyut ekonomi rakyat. Di satu sisi, ia menandakan tekanan pengeluaran dan ketidakpastian ekonomi; di sisi lain, ia menunjukkan bahwa perilaku keuangan masyarakat sedang berevolusi. Tantangannya bukan sekadar menaikkan angka IMK, melainkan menumbuhkan kembali kepercayaan bahwa menabung adalah tindakan rasional, aman, dan bermakna sosial.

Sebagai akar ekonomi nasional, tabungan masyarakat merupakan darah yang mengalirkan likuiditas ke sistem perbankan, investasi, dan pembangunan. Bila aliran ini melemah, pertumbuhan ekonomi akan kehilangan jantungnya. Maka, upaya memperkuat budaya menabung tidak boleh ditunda — karena di situlah ketahanan ekonomi bangsa bertumbuh, bukan dari kebijakan makro yang megah, tetapi dari keputusan sederhana jutaan keluarga untuk menyisihkan sebagian kecil pendapatannya demi masa depan. [ ]

* Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute

Back to top button