
Dalam rapat bersama DPR pada Desember 2025 Menteri Kehutanan melaporkan, deforestasi nasional per September 2025 turun hingga 166 ribu hektare. Namun di dalam paparan yang sama terdapat peringatan serius tentang meningkatnya perubahan tutupan lahan dari hutan ke non hutan di 31 DAS yang mengalami banjir di Sumatra. Penurunan netto ini terlalu sering diperlakukan sebagai keberhasilan padahal ia menutupi kenyataan bahwa kualitas ekologis hutan terus menurun dan fungsi hidrologis DAS mengalami kerusakan struktural.
Oleh : Saleh Hidayat Alias Dayat*

JERNIH– Dalam dua dekade terakhir Indonesia menghadapi kenyataan yang tidak lagi dapat ditolak bahwa proyek pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam telah mencapai batas ekologis sosial dan etisnya.
Deretan data terbaru tentang deforestasi hutan primer dan sekunder tekanan terhadap Daerah Aliran Sungai serta krisis ekologis Papua menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan tidak sekadar fenomena teknis yang dapat dihitung dalam hektare tetapi merupakan gejala dari model ekonomi politik yang gagal. Model itu adalah ekstraktivisme yaitu orientasi pembangunan yang menempatkan alam sebagai komoditas mentah tanpa batas untuk memenuhi target pertumbuhan jangka pendek.
Angka yang dipublikasikan lembaga independen seperti Auriga Nusantara menyebut bahwa deforestasi 2024 mencapai lebih dari dua ratus enam puluh ribu hektare diikuti konversi masif pada hutan sekunder terutama di area konsesi perkebunan dan tambang. Kementerian Kehutanan menyampaikan angka deforestasi netto sekitar seratus tujuh puluh lima ribu hektare pada tahun yang sama setelah memperhitungkan reforestasi. Dalam rapat bersama DPR pada Desember 2025 Menteri Kehutanan melaporkan bahwa deforestasi nasional per September 2025 turun hingga seratus enam puluh enam ribu hektare.
Namun di dalam paparan yang sama terdapat peringatan serius tentang meningkatnya perubahan tutupan lahan dari hutan ke non hutan di tiga puluh satu DAS yang mengalami banjir di Sumatra. Penurunan netto ini terlalu sering diperlakukan sebagai keberhasilan padahal ia menutupi kenyataan bahwa kualitas ekologis hutan terus menurun dan fungsi hidrologis DAS mengalami kerusakan struktural.
Perdebatan publik sering kali terjebak pada hitungan kuantitatif padahal inti kerusakan ekologis terletak pada runtuhnya sistem penyangga alam. Gunung yang gundul kehilangan kemampuan menyimpan air dan menstabilkan tanah. Hutan primer yang hilang tidak dapat disubstitusi oleh reforestasi artifisial yang hanya memulihkan tegakan tanpa memulihkan dinamika biotik abiotik dan genetik. DAS yang dikonversi menjadi kebun monokultur kehilangan fungsinya sebagai penyaring air dan penahan banjir. Bencana bukan lagi fenomena alam melainkan hasil dari struktur kebijakan yang menurunkan kualitas bumi secara terprogram.
Dalam kerangka pemikiran global dua asas yaitu asas absolut dan asas relatif menemukan fondasi teoretis yang kuat dalam filsafat lingkungan abad kedua puluh dan dua puluh satu. Asas absolut menolak paradigma komodifikasi total atas alam. Pandangan ini selaras dengan Land Ethic – Aldo Leopold. Leopold melihat tanah air flora fauna dan manusia sebagai satu komunitas biotik yang memiliki nilai moral intrinsik. Dalam pandangannya sesuatu dianggap benar apabila tindakan tersebut menjaga integritas stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Prinsip ini menolak pandangan instrumental yang mereduksi alam menjadi sejenis mesin ekstraksi yang dapat dieksploitasi hingga batas mekanis tertentu. Dengan demikian kawasan seperti hutan primer gunung dan rawa gambut memiliki status moral yang tak dapat dinegosiasikan.
Asas absolut juga memperoleh penguatan dari Deep Ecology–Arne Naess yang mengusulkan bahwa nilai alam tidak bersumber dari manfaatnya bagi manusia melainkan dari keberadaannya sebagai bagian dari jaringan kehidupan. Naess menentang hierarki antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan mengajak pada perluasan lingkar moral hingga mencakup semua makhluk hidup. Dalam pandangan ini eksploitasi atas ekosistem yang tidak dapat dipulihkan merupakan bentuk kekerasan struktural terhadap jaringan kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain asas absolut bukan sekadar prinsip teknokratis tetapi posisi etis yang mengakui otonomi alam.
Asas relatif berhubungan erat dengan konsep ekonomi ekologi yang diperkenalkan Herman Daly. Daly menentang ambisi ekonomi modern yang mengejar pertumbuhan tanpa batas. Jumlah total sumber daya alam (energi, bahan mentah, biomassa, air, dll.) yang diambil dari lingkungan, diproses dalam sistem ekonomi, lalu akhirnya dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah atau polusi.
Dalam pembatasan: throughput menjadi ukuran seberapa besar “beban” aktivitas manusia terhadap kapasitas ekologis bumi. Menurut Daly ekonomi harus tunduk pada prinsip throughput minimal dan harus beroperasi dalam batas biokapasitas bumi. Asas relatif mengadopsi prinsip tersebut dengan melihat bahwa pemanfaatan ruang boleh berlangsung namun harus diatur secara ketat berdasarkan regenerasi ekologis dan kebutuhan dasar manusia. Prinsip ini tidak bersifat melarang total tetapi menetapkan batasan untuk memastikan bahwa aktivitas ekonomi tidak melampaui kapasitas alam.
Di sini pemikiran Elinor Ostrom menawarkan dimensi institusional yang penting. Ostrom membongkar asumsi lama bahwa sumber daya bersama pasti mengalami tragedi bila tidak dikontrol oleh negara atau pasar. Penelitiannya menunjukkan bahwa komunitas lokal dapat membangun aturan yang efektif untuk mengelola hutan perikanan dan padang rumput dengan syarat mereka memiliki kewenangan untuk menetapkan batas eksploitasi memantau penggunaan dan menghukum pelanggaran. Ostrom memperkenalkan gagasan bahwa aturan yang hidup dan dipatuhi muncul dari interaksi sosial bukan dari perintah sentralistik. Dalam konteks asas relatif pelajaran Ostrom memperlihatkan bahwa institusi yang adaptif partisipatif dan berakar pada tanggung jawab sosial lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan daripada model komando atau pasar tunggal.
Dengan demikian kedua asas tersebut membentuk fondasi filosofis yang menempatkan pembangunan dalam bingkai etika ekologis bukan hanya kalkulasi ekonomi. Ekstraktivisme runtuh dalam logika ini karena ia menolak batas moral dan ekologis yang telah ditetapkan oleh Leopold Naess Daly dan Ostrom.
Kegagalan terbesar dari rejim pembangunan ekstraktif adalah anggapan bahwa sumber daya alam dapat menjadi mesin ekonomi permanen. Hasilnya negara tidak membangun diversifikasi ekonomi dan menggantungkan kesejahteraan pada ekspansi lahan dan eksploitasi energi. Relasi antara negara dan rakyat berubah menjadi relasi komersialisasi ruang. Regulasi tidak jauh berbeda dengan penawaran “paket bisnis atau investasi” dari pemerintah kepada rakyatnya. Pernyataan Menteri ATR bahwa enam puluh keluarga menguasai hampir setengah lahan non hutan di Indonesia menunjukkan betapa struktur penguasaan ruang telah terkonsentrasi secara ekstrem. Ini bukan hanya ketimpangan ekonomi tetapi kegagalan sistem politik dan hukum dalam menempatkan tanah sebagai ruang hidup bersama.
Namun di tengah kenyataan ini terdapat model keberhasilan internasional dan domestik yang menunjukkan bahwa pemulihan ekologis memerlukan partisipasi masyarakat sebagai dasar bagi terbentuknya institusi resiprokal terhadap daya dukung ekosistem. Di Nepal konsep community forest user groups berhasil memulihkan tutupan hutan setelah periode deforestasi parah. Devolusi kewenangan kepada komunitas lokal membuat mereka dapat menetapkan batas eksploitasi memulihkan vegetasi memetakan akses dan mendistribusikan manfaat ekonomi secara berkala. Model ini sejalan dengan pola Ostrom yang menunjukkan bahwa pengelolaan kolektif bukan hanya mungkin tetapi lebih efektif.
Di Meghalaya India, sacred groves yang dikelola masyarakat adat Khasi menunjukkan bagaimana norma budaya memberikan perlindungan absolut terhadap kawasan tertentu sehingga fungsi ekologis tetap lestari. Larangan eksploitasi total di zona inti dan pemanfaatan terbatas di zona penyangga menunjukkan interaksi alami antara asas absolut dan asas relatif. Prinsip ini hidup dalam praktik bukan dalam dokumen kebijakan.
Di Indonesia keberhasilan serupa terlihat pada pengelolaan wilayah adat Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan. Kawasan inti Borong Karama dilindungi melalui aturan adat yang melarang segala bentuk eksploitasi sementara zona penyangga dikelola secara agroforestri dengan batas ketat. Pemulihan mata air dan stabilitas tanah menjadi bukti bahwa institusi berbasis nilai lokal mampu menjaga ekosistem.
Contoh lain adalah program perhutanan sosial yang benar benar memfungsikan masyarakat sebagai pengelola. Di beberapa kawasan Jawa Sumatra dan Bali pendekatan agroforestri menjalankan fungsi ekologis lebih baik daripada skema industri kehutanan yang seragam.
Semua contoh tersebut memperlihatkan satu prinsip bahwa keberlanjutan tidak muncul dari sistem yang memaksa tetapi dari sistem yang memupuk tanggung jawab sosial. Institusi yang lahir dari masyarakat dan bekerja secara resiprokal dengan ekosistem akan menghasilkan pengelolaan yang lebih stabil daripada institusi yang dibentuk melalui pendekatan birokratis atau korporatis.
Dinamika masyarakat kapitalistik pastinya bisa dibendung melalui mekanisme demokrasi yang menumbuhkan kepedulian sosial. Masyarakat yang peduli pada sesama terbentuk lewat kognisi, afeksi, dan empati, sehingga etika berbasis masyarakat dapat hidup. Dalam antropologi budaya, istilah “guilt society” atau “guilt culture” pertama kali diperkenalkan oleh Ruth Benedict pada pertengahan abad ke-20. Membedakan masyarakat berdasarkan cara mereka mengatur perilaku: ada yang berbasis rasa bersalah (guilt), rasa malu (shame), atau rasa takut (fear).
Mashab etika yang melandasi konsep ini adalah etika normatif berbasis komunitas, yang menekankan bahwa kebebasan individu tidak absolut, melainkan diatur oleh institusi sosial untuk melindungi kebebasan orang lain. Prinsip ini sejalan dengan gagasan demokrasi sosial: kebebasan tidak boleh berubah menjadi “paham sekehendak” ala libertarian, karena tanpa proteksi institusional, kebebasan bisa melahirkan bahaya bagi orang lain.
Etika masyarakat berbasis rasa bersalah (guilty society) berfungsi sebagai mekanisme moral yang menjaga solidaritas. Ia menumbuhkan kesadaran bahwa tindakan individu selalu berdampak pada komunitas. Demokrasi kemudian menjadi wadah untuk mengatur kebebasan, bukan mengekangnya, melainkan memastikan bahwa kebebasan setiap orang tetap terlindungi dari ekses kebebasan orang lain.
Karena itu agenda korektif tidak dapat lagi bersifat kosmetik. Indonesia membutuhkan perubahan paradigma yang menyentuh akar persoalan. Pembangunan berbasis ekstraktivisme harus dihentikan. Tata kelola ruang harus diarahkan pada model partisipatif sehingga asas absolut dan asas relatif tidak hanya menjadi konsep normatif tetapi menjadi tata nilai operasional. Pembangunan yang menghormati batas alam bukan kemunduran melainkan fondasi bagi keberlangsungan kolektif. Dalam waktu dekat harus ada bukti tekad, salah satunya adalah keluarnya Moratorium pemanfaatan hutan dan pada lahan yang harusnya dikonservasi.
Indonesia hanya dapat keluar dari perangkap ekstraktivisme bila memiliki keberanian politik dan moral untuk menetapkan batas absolut atas kawasan yang tidak boleh dieksploitasi dan menerapkan asas relatif yang ketat pada kawasan yang dapat dikelola. Masa depan hanya dapat dibangun di atas institusi yang saling menjaga dengan bumi bukan institusi yang hidup dengan mengekstraksi bumi hingga tak tersisa. [ ]
*Anggota “Diskusi Reboan” yang difasilitasi Indonesian Democracy Monitoring—InDemo; Jakarta





