Mengatasi Sampah Secara Spiritual
Tiap hari, jika Bisyir Harits dan komunitasnya, berjalan mengelilingi Bagdad, sampah mendadak lenyap. Konon merasa malu menampakkan diri di hadapan Bisyir dkk. karena takut mengotori orang-orang yang sudah bersusah-payah menjadikan dirinya bersih lahir batin
Oleh : Usep Romli HM
Sampah sekarang sudah menjadi masalah utama. Karena sulit diatasi, malah menjadi masalah tersendiri, di luar masalah lain yang sama-sama sulit diatasi. Tiap hari muncul berita di media massa tentang sampah yang menggunung. Hingga akhirnya tak menjadi berita lagi.
Upaya memberantas sampah, selalu terbentur banyak hal. Ketiadaan sistem yang memadai, keterbatasan lahan pembuangan, serta biaya angkut yang mahal.
Memang ada yang mampu mengolah sampah menjadi hal-hal bermanfaat. Namun itu masih sangat terbatas pada orang perorang. Semacam “kalangenan” selingan saja. Belum menyebar massal, yang akan membuat sampah terserap habis sebagai bahan baku yang dibutuhkan dalam jumlah besar.
Sampah adalah material. Benda. Secara teori harus dapat dikalahkan secara material juga, seperti benda-benda lain. Tapi tampaknya sekarang sudah berubah. Sampah telah menjadi “mutan” atau “allien” yang mampu mempengaruhi benda lain untuk berpihak kepada dirinya. Semula sampah umumnya hanya daun atau kertas. Tapi sekarang apa saja menjadi sampah. Plastik, logam, kayu dan rongsokan aneka macam aneka jenis dan warna. Termasuk bangunan-bangunan di tengah kota, yang tidak atau belum selesai, sehingga menjadi “sampah pemandangan”.
Tapi pernah terjadi peristiwa konkret, rasional dan sahih, dalam melenyapkan sampah.
Seperti pernah terjadi di Bagdad, abad pertengahan, zaman Dinasti Abbasiyah (754- 1258). Setelah menjadi kota metropolitan termegah di muka bumi, terutama sejak masa Sultan Harun ar Rasyid (766-809), di balik gemerlap cahaya “seribu satu malam”, di balik gedung-gedung megah mentereng, dan kesibukan duniawi yang menggundang manusia bagai lalat dari seluruh penjuru bumi, di Bagdad sampah terus menggunung dari hari ke hari. Keharuman aroma parfum berseliweran dengan busuk sengak uap sampah.
Pada masa Sultan Al Ma’mun (833-842) muncullah komunitas “bersih diri” (tazkiyatun nafs) pimpinan Bisyr bin Harisy (767-841). Garapan pokoknya, membersihkan hati dari segala sifat rendah dan hina, seperti iri, dengki, khianat, dan sejenisya (attakhalli minarrajail), menghias hati dengan segala keutamaan terpuji (attajjali bil fadail) seperti baik sangka, tulus ikhlas, dll. serta memurnikan hati daripada apa saja selain Allah (attabbari amma siwalah), yaitu menegakkan sebenar-benarnya tauhid. Hanya makan minum dan berpakaian, yang halal-halal saja.
Hasilnya amat nyata. Tiap hari, jika Bisyir Harits dan komunitasnya, berjalan mengelilingi Bagdad, sampah mendadak lenyap. Konon merasa malu menampakkan diri di hadapan Bisyir dkk. karena takut mengotori orang-orang yang sudah bersusah-payah menjadikan dirinya bersih lahir batin.
Gagasan dan praktek hidup bersih Bisyir bin Harits, langsung diserap oleh Khalifah al Ma’mun. Tanpa harus mengundang Bisyir ka istana untuk makan-makan (karena Al Ma’mun tahu, Bisyir yang amat dihormati Imam Hambali-–pendiri mazhab fiqh Hambali, tak mungkin mau datang), segera menginstruksikan diri dan bawahannya, meniru pola hidup bersih ala Bisyir.
Dimulai dari makan, minum, berpakaian, yang halal dan bersih (halalan thayyiban). Baik halal “dzatiyah” yang sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya. Bebas dari yang diharamkanNya, seperti daging babi, darah, bangkai, binatang yang disembelih bukan atas nama Allah, sesajen untuk berhala, alkohol, dsb (Q.S.al Maidah : 90-93), binatang bertaring dan bercakar, pemakan hewan lain, yang menjijikkan, dsb (hadits).
Dan cara memperolehnya (af’aliyah), dengan bersih, ikhlas, jujur, semata-mata karena Allah. Bukan hasil korupsi, zina, judi, dan kejahatan lain, yang mengandung unsur tipu menipu, patgulipat, kongkalikong, dan seterusnya, yang didasari ambisi, keangkuhan, tanpa manfaat apa-apa bagi umat keseluruhan.
Mengikuti jejak Bisyir, Khalifah Al Ma’mun mendisiplinkan segenap aparat kerajaan, dari yang tertinggi dan terendah. Hasilnya, dalam beberapa bulan, kota Bagdad bersih dari sampah, baik sampah material, maupun sampah moral.
Cara yang ditempuh Al Ma’mun, mungkin sulit ditiru sekarang,ketika gaya hidup sulit membedakan halal-haram, bersih-kotor. Tatkala daya spiritualitas manusia tergerus keganasan materialisme dengan segala macam variasinya, seperti hedonisme (kesenangan lahiriah) dan kapitalisme (uang, kekuasaan, dsb)
Semua membuat sampah memperoleh tempat leluasa di tengah kehidupan manusia modern. [ ]