Solilokui

Mengenang Masa Lalu: “Sang Kiai dan Keyakinannya”

Bahkan mendengar kritik pun Kiai Ali selalu tersenyum: hormatilah pendapat yang berbeda dengan pendirianmu, begitu kata kitab-kitab kuno tentang tata cara berdebat (Adabul muzadzaraah).

Oleh  :   Abdurrahman Wahid

JERNIH– Kiai Ali murah senyum. Kiai yang menjadi anggota DPR mewakili sebuah daerah di luar Jawa ini jarang mengeluarkan suara, meskipun tentu tidak ada hubungannya dengan watak hidup lembaga perwakilan itu saat ini.

Gerak-geriknya halus, tegur sapanya ramah, suaranya tidak keras dan selalu lebih banyak mendengarkan ucapan orang daripada berucap sendiri. Tingkah-lakunya merendah, sesuai dengan akhlak yang dirumuskan dalam kitab-kitab kuno. Mungkin jarang makan di luar, jajan di restoran dan sebagainya, karena menurut kitab “Ta’limul Muta’allim” makanan seperti itu kurang berkahnya.

Abdurrahman Wahid

Tetapi tanda lahiriah yang berupa senyumnya yang khas yang paling nampak dalam pergaulan. Mendengar pujian orang lain ia hanya tersenyum, mungkin heran mengapa sampai begitu jauh pujian diberikan bagi tindakan atau sifat yang dianggapnya sendiri sebagai hal yang biasa.

Mendengarkan argumentasi bertele-tele dalam rapat fraksi maupun kelompok, ia juga tersenyum saja. Mungkin geli mendengarkan alasan tidak masuk akal yang sering diajukan, kalau tidak malahan alasan kekanak-kanakan.

Bahkan mendengar kritik pun Kiai Ali selalu tersenyum: hormatilah pendapat yang berbeda dengan pendirianmu, begitu kata kitab-kitab kuno tentang tata cara berdebat (Adabul muzadzaraah).

Begitu rendah hati dalam bersikap, begitu sederhana dalam penampilan, dan begitu lemah-lembut dalam berkomunikasi. Yang terjadi adalah kebalikan dari harapan para penulis kuno yang begitu getol menganjurkan sifat kekesatriaan dan kebijaksanaan seperti itu.

Bukannya penghormatan dan toleransi yang didapatnya dari orang lain, melainkan penghormatan di mulut dan sodokan di pinggang yang diperoleh.  Walhasil, profil dari tragisnya wibawa moral yang tidak dilayani orang lain.

Dianggap lemah dalam pendirian, karena terlalu banyak memberikan kesempatan pada pihak lain. Dikira tidak tegas, karena tidak mau memberikan keputusan cepat-cepat. Dituduh tidak memiliki kepemimpinan karena tidak ‘keras’ dan berani.

Walhasil, tidak memenuhi citra orang dinamis yang penuh inisiatif dan memiliki dorongan untuk berprestasi tinggi. Tidak mempunyai ‘kebutuhan mencapai sesuatu’ (need of achievement) dalam hidup ini. Pantas tidak berjiwa wiraswasta, maklum kiai!

Agama dan strategi pembangunan

Yang sering dilupakan adalah sebuah aspek penting dari kehadirannya, yaitu kemampuannya mengajukan penunjang dari pandangan keagamaan atas berbagai hal yang merupakan pemikiran atau gagasan rintisan.  Banyak hal yang tadinya diduga tidak diperkenankan oleh agama, ternyata memiliki dimensi kompleks yang berkaitan dengan pandangan positif agama.

Banyak persoalan yang tadinya dianggap tidak bersangkut-paut dengan pandangan agama, ternyata ada landasan keagamaannya juga. Banyak masalah yang tadinya dikira tidak patut dikemukakan kepada kalangan kiai, ternyata ditunjukkannya sudah dirembuk para ulama sejak berabad-abad yang lalu.

Penulis sendiri tercengang ketika kiai yang satu ini memaparkan hubungan agama dengan strategi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan pokok, itu basic need strategy yang sekarang menjadi benderanya kaum membangun dari orientasi politik berlain-lainan.

Di kitab “Fathul Mu’in” ada masalah itu, kata Kiai Ali. Coba lihat bagian jihad, yang pengertiannya bukan seperti disangka oleh semua orang selama ini. Jihad adalah perang suci secara militer menurut alasan keagamaan, itu kalau diserang. Tetapi jihad yang lain juga kewajiban fakultatif (fardu kifayah): menyebarkan ajaran agama, membuktikan kebenaran dan ke–Esa–an Allah, juga menyediakan kebutuhan pokok manusia, itu semua adalah jihad.

Bagaimana mungkin menyediakan kebutuhan pokok dianggap jihad, Kiai? Karena memang begitu perumusannya, jawab Kiai Ali.

Coba lihat rumusannya: menjaga dari kerusakan mereka yang dilindungi Islam. Bagaimana mungkin dijaga dari kerusakan, kalau tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya? Karena itu jangan heran kalau Syarah (komentar) “Fathul Mu’in”, judulnya “I’anah”, merumuskan kewajiban jihad yang satu ini sebagai berikut: menyediakan makanan utama (qut) sebanyak 0,6 kg beras sehari per orang untuk kawasan kita di sini, pakaian dua stel satu tahun, tempat tinggal yang aman dari gangguan, dan biaya pengobatan. Lalu apa namanya rumusan begini ini, kalau bukan kebutuhan pokok?

Ditanya tentang sterilisasi, aborsi dan masalah-masalah ‘gawat’ sebangsa itu, Kiai Ali tidak langsung menjawab boleh atau tidaknya. Harus ada kriterianya dahulu, yang dalam bahasa kitabnya dinamai syarat–masyrut-nya.

Dilihat kesesuaiannya dahulu antara tujuan dan metode yang digunakan untuk mencapainya, atau menurut kitab kuno, ghayah wal wasa’il-nya.  Harus dihadapkan dahulu kepada kenyataan situasional (waqiah)-nya, sehingga kita tahu tepat apa yang menjadi kehendak kita (gharad) dalam sesuatu persoalan. Tidak mudah, bukan?

Kiai Berpendirian teguh-setiawan

Kalau dilihat dari sudut pengamatan ini, jelas bahwa Kiai Ali bukanlah orang yang semudah diperkirakan seperti semula. Murahnya senyum yang menghiasi bibir tidak berarti ketololan untuk menyatakan pendapat tanpa mengkaji dahulu persoalannya secara mendalam.

Kecenderungan untuk berlama-lama mengambil keputusan bukanlah sesuatu yang tidak direncanakan, melainkan untuk menghadapkan persoalan secara situasional kepada pendapat ulama di masa lalu seperti yang tercantum di kitab-kitab kuno.

Keengganannya untuk memberikan ‘ketegasan’ dalam sesuatu persoalan adalah hasil dari pengetahuan mendalam tentang kekurangan yang ada pada berbagai alternatif yang dihadapkan satu kepada yang lain–sudah tentu dengan tujuan mencari pendapat akhir yang sanggup menutupi semua kekurangan tersebut.

Dengan demikian, apa yang secara lahiriah tampak sebagai sikap ragu, sebenarnya adalah ‘pengarahan’ orang lain untuk berpikir lengkap dan menyadari kompleksitas persoalan. Apa yang tampak  sebagai ‘kurangnya kepemimpinan’, sebenarnya adalah pertanggungjawaban keberanian untuk mengambil sikap akhir yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan kita, dan yang memiliki landasan keagamaan yang kuat dalam artian sebenar-benarnya.

Tidak heranlah kalau orang yang tampaknya lemah-lembut, mengalah saja kepada orang lain, dan tidak pernah memaksakan pendirian kepada orang lain ini, sebenarnya juga orang yang berpendirian teguh kalau sudah sampai pada kesimpulan. Tidak beranjak dari pendirian, tidak tergerak juga oleh gangguan, karena ia sampai pada kesimpulan melalui proses panjang dan sangat kompleks.

Apa yang diperoleh, dimiliki dan kemudian dipertahankannya mati-matian bukan lagi hanya sebuah kesimpulan tentang sesuatu persoalan, tetapi telah menjadi sebuah pendapat yang dianggap paling benar. Ia sampai kepada keyakinan. [  ]

Sumber  : Majalah TEMPO, 7 Februari 1981

Back to top button