Menggagas ‘Rice Center’ Sebagai Pusat Ketahanan Pangan Jawa Barat
![adil makmur,](https://jernih.co/wp-content/uploads/padi-konvensionaljernih.co_.jpg)
Kalau saja semua komponen mampu menyamakan semangat dan terkemas lewat gerakan, maka betapa indahnya rona Tatar Sunda dalam pembangunan cadangan pangan daerah.
Oleh : Entang Sastraatmadja*
JERNIH—Citra Tatar Sunda sebagai lumbung pangan alias gudang beras benar-benar merupakan penilaian obyektif yang harus kita terima sebagai enugerah kehidupan. Artinya, sungguh mengenaskan bila dewasa ini muncul masalah rawan pangan di beberapa sentra produksi padi. Atau lahir sebuah kecemasan soal menipisnya cadangan pangan (terutama beras), yang berdampak pada terganggunya ketahanan pangan atau beras daerah.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/Entang-Sastraatmajajernih.co_.jpg)
Masalah ini tentu harus di jawab, tidak dibiarkan tanpa ada jalan pemecahannya. Solusi yang ditawarkan adalah bagaimana kita berupaya secara serius untuk mewujudkan lumbung pangan atau lumbung beras di seluruh perdesaan dan kelurahan se-Jawa Barat. Kehadiran rice center sebagai sebuah semangat, sesungguhnya merupakan langkah nyata ke arah terbangunnya sebuah sistem pangan Jawa Barat, yang diharapkan mampu membawa pencerahan.
Rice center sebagai wahana “silaturahim” di antara berbagai stakeholders perberasan, termasuk di dalamnya birokrasi Pemerintahan, diharapkan mampu memberi solusi atas permasalahan yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi perjalanan dan perkembangan pembangunan pangan di Jawa Barat. Rice center sebagai bagian dari kapasitas kelembagaan di bidang pangan sebetulnya merupakan terobosan positif, tatkala Jawa Barat dihadapkan pada beragam persoalan dan tantangan di bidang pembangunan pangan.
Fenomena alih fungsi lahan sawah menjadi lahan-lahan industri atau pun perumahan-pemukiman; fakta tentang semakin menurunnya kesuburan lahan sawah sebagai akibat dari penggunaan pupuk kimia yang tidak terkendali; melemahnya minat generasi muda untuk berkiprah di bidang pertanian; semakin berkurangnya jumlah penyuluh pertanian; atau pun menurunnya produktivitas petani, pada hakekatnya merupakan segudang hambatan yang penting dituntaskan sesegera mungkin.
Rice center sudah barang tentu diminta peran nyata sekaligus solusi cerdasnya guna memberi pilihan dan kebijakan agar perjalanan dan perkembangan pembangunan pangan di Jawa Barat tetap berada dalam track yang sudah menjadi semangat dan komitmen kita bersama.
Dalam tataran yang lebih operasional, semangat yang demikian mesti dikemas lewat sebuah gerakan yang melibatkan stakeholders dan pengambil kebijakan di Jabar. Gubernur, bupati, wali kota, camat, kepala desa, lurah, sudah seharusnya tampil sebagai garda terdepan dalam mengkampanyekan gerakan ini. Begitu pun dengan para wakil rakyat di setiap jenjang, diharapkan mampu melahirkan produk-produk hukum yang mendukung semangat ini.
Dunia usaha, termasuk Perum Bulog sudah barang tentu mesti proaktif dan memberi aura baru bagi pengakselerasian gerakan ini. Perguruan tinggi, LSM, organisasi petani, pers, serta pemangku kepentingan lainnya di harap mampu berkiprah sesuai dengan tupoksi masing-masing. Kalau saja semua komponen mampu menyamakan semangat dan terkemas lewat gerakan, maka betapa indahnya rona Tatar Sunda dalam pembangunan cadangan pangan daerah.
Di Jawa Barat ada sekitar 6.000 desa dan kelurahan. Jika di setiap desa atau kelurahan kita memiliki sekitar 10 lumbung pangan, yang masing–masing lumbung mampu menyimpan gabah sekitar 20 ton, maka dapat dicatat kita akan memiliki cadangan gabah sebesar 6.000 x 10 x 20 ton gabah = 1.200.000 ton gabah.
Kalau saja angka ini dikonversi ke beras maka kita akan punya cadangan beras sekitar 720.000 ton beras. Bila hal itu dikalikan dua kali musim panen, setahun Jawa Barat akan memiliki cadangan beras sekitar 1,4 juta ton.
Dengan kata lain, gerakan lumbung pangan di perdesaan pada hakekatnya sebuah langkah nyata terpenuhinya cadangan pangan sekaligus ketahanan pangan daerah. Dan ini selaras dengan kata hati segenap warga Jawa Barat.
Last but not least : kata kuncinya sampai sejauh mana kita mampu melahirkan manajemen pangan yang mampu menyokong semangat di atas. Ya, sebuah manajemen yang mampu merajut manajemen pemerintahan dan manajemen stakeholders yang terkesan belum berada dalam frekuensi yang sama. [ ]
*Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat