
Saat api fitnah Haditsul Ifki berkobar, sayangnya Misthah termasuk yang ikut meniup-niupkan gunjingan keji itu karena termakan agitasi Abdullah bin Ubay bin Salul. Ini membuat Abu Bakar murka kepada Misthah dan menghentikan bantuan rutinnya. “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.”
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH– Salah satu badai fitnah terdahsyat dalam dunia Islam adalah peristiwa Haditsul Ifki (حادثة الإفك). Tak tanggung-tanggung, yang menjadi objek fitnah adalah istri Nabi Muhammad ﷺ yang suci, Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahuma, yang digunjingkan berselingkuh dengan seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal.
Begitu destruktifnya kabar yang terjadi pada tahun kelima Hijriyah (627 M) ini sehingga Nabi pun tak bisa langsung memberikan jawaban ketika ditanya umat yang menginginkan kepastian benar tidaknya tuduhan itu.

Rasulullah berdiam diri sekitar 45 hari sampai Allah menurunkan wahyu surat An Nuur ayat 11 dan sepuluh ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa itu adalah kabar dusta. Dalam bahasa Arab, kabar dusta disebut “haditsul ifki”. Kebenaran akhirnya terungkap. Haditsul Ifki direkayasa pemimpin kaum munafik Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ada sisi lain dari kisah Haditsul Ifki yang menyangkut sosok Abu Bakar, ayah Aisyah. Ini semacam subplot dari kisah utama, namun tetap memancarkan berlian hikmah yang tak kalah indah jika ditelaah.
2/. Abu Bakar adalah sahabat terdekat Nabi. Seorang pedagang sukses, kaya raya, dan luar biasa dalam berderma. Tak ada sahabat Nabi lain yang mampu melampaui kedermawanannya. Salah seorang yang selalu mendapat bantuan rutinnya adalah Misthah bin Utsatsah, sepupunya yang hidup pas-pasan. Ibu Misthah adalah bibi Abu Bakar.
Saat api fitnah Haditsul Ifki berkobar, sayangnya Misthah termasuk yang ikut meniup-niupkan gunjingan keji itu karena termakan agitasi Abdullah bin Ubay bin Salul. Ini membuat Abu Bakar murka kepada Misthah dan menghentikan bantuan rutinnya. “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.”
Apakah tindakan Abu Bakar benar? Dalam struktur logika dan nalar umum: tentu saja!
Misthah sebagai sepupu Abu Bakar sekaligus berarti sebagai paman Aisyah. Maka, bagaimana mungkin seorang paman ikut menyebarluaskan kabar dusta tentang kemenakannya sendiri? Tak ada orang waras yang akan melakukan itu.
Faktor lainnya, Misthah rutin menerima bantuan dari Abu Bakar. Mengapa dia justru ikut aktif memperbesar kobaran api fitnah kepada keluarga orang yang membantunya selama ini? Tak ada orang dengan pikiran normal yang mau bersikap begitu.
Akan tetapi persis di tahap inilah plot twist terjadi: Allah justru menegur sikap Abu Bakar.
Pada surat An Nuur ayat 22–masih dalam rangkaian ayat penjelas haditsul ifki—Allah berfirman,“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Begitu mendengar ayat ini dibacakan Nabi, hati Abu Bakar yang lembut dan peka tergetar mengetahui konteks ayat itu diturunkan.
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anul Azhim menjelaskan bahwa Abu Bakar kemudian berkata, “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami. Demi Allah, aku tidak akan mencabut bantuanku lagi (kepada Misthah bin Utsatsah) selama-lamanya.”
Maka Abu Bakar pun kembali melanjutkan derma rutinnya kepada Misthah dengan menaklukkan ego seorang ayah yang terluka hatinya tersebab putrinya menjadi sasaran fitnah.
Ini perbuatan agung yang tak akan bisa diterapkan kecuali oleh mereka dengan hati ikhlas seluas semesta seperti Abu Bakar. Bayangkan saja dua elemen yang berkelindan di dalamnya: memaafkan penyebar fitnah dan meneruskan derma kepadanya karena mengharapkan ridha Allah dan ampunan-Nya semata seperti tersurat dalam penggalan akhir Surat An Nuur ayat 22: “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
Dalam konteks membantu orang lain, ternyata Allah menghendaki manusia untuk melihat kondisi orang yang meminta bantuan. Bukan menakar dari kesalahan yang pernah mereka perbuat. Bahkan kalau pun mereka pernah bersalah, Allah memerintahkan untuk berlapang dada memaafkan kesalahan mereka.
3/. Kini, 14 abad setelah peristiwa Haditsul Ifki, tak sedikit aghniya (kalangan berada) yang memiliki kemampuan berderma, namun membatasi diri. Mereka memutuskan berhenti membantu orang lain jika merasa merasa sudah cukup mengulurkan tangan, meringankan beban, sampai pada tahap tertentu saja yang ukurannya ditetapkan sendiri bukan berdasarkan petunjuk kalam Ilahi.
Seyogyanya kisah turunnya ayat 22 Surat An Nuur menjadi pedoman utama bahwa untuk membantu orang lain ternyata tak pernah ada batasnya. Bahkan terhadap orang yang pernah menyakiti perasaan kita dan keluarga sekalipun seperti dilakukan Misthah bin Utsatsah kepada Abu Bakar dan Aisyah r.a., Allah tetap mengharuskan kedermawan tetap dilanjutkan.
Apalagi jika yang butuh bantuan adalah orang-orang yang tak pernah memfitnah, menggunjing, menyebarkan kabar dusta. Mereka mengharapkan uluran tangan semata-mata akibat beban hidup yang sedang mereka hadapi.
Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka menjelaskan Surat An Nuur ayat 22 ini sebagai “perintah yang jelas dari Allah untuk membantu atau menolong orang yang kesulitan tanpa adanya alasan atau penundaan yang tidak masuk akal, karena penolakan untuk membantu orang yang sedang kesulitan dapat menimbulkan konsekuensi baik di dunia maupun di akhirat.”
Ketua MUI pertama (1975-1981) itu juga menjelaskan, “Jika ada alasan yang diberikan untuk tidak membantu orang yang sedang kesulitan, maka alasan itu harus dipertanyakan. Alasan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dapat diterima. Namun alasan yang hanya menjadi pembenar untuk tidak menolong harus ditolak, karena bisa jadi itu merupakan bentuk godaan setan.” (Tafsir Al Azhar, juz 18).
Wallahu a’lam bi shawab. [ ]
*Penulis dwilogi roman biografi kehidupan Buya Hamka Setangkai Pena di Taman Pujangga dan Serangkai Makna di Mihrab Ulama (Republika Penerbit).