Menikah Saat Pendemi: Resepsi di Dalam Gedung
Para tamu undangan yang datang dapat dibilang hanya ‘setor muka’ pada kedua mempelai yang duduk di pelaminan. Tidak ada jabat tangan apalagi cipika cipiki. Undangan dan mempelai cukup melakukan namtase. Setelah itu berjalan keluar ambil hampers. Selesai.
JERNIH-Sejak Covid-19 masuk Indonesia pada awal Maret 2020, kita tak lagi melihat hajatan pernikahan yang digelar dengan tamu melimpah. Hajatan yang mengundang tamu ratusan hingga ribuan, kini sudah tak ada lagi.
Gedung-gedung megah yang dikenal sebagai tempat gelaran resepsi pernikahan kaum papan atas jadi sepi, demikian juga tempat parkir yang biasanya penuh, hingga sulit untuk memarkirkan kendaraan kini kosong. Para tukang parkir yang biasa mengais rupiah pada Sabtu pagi hingga Minggu malam, kini nganggur karena tak ada lagi hajatan.
Ballroom hotel kini juga sudah jarang dimanfaatkan untuk resepsi pernikahan, masyarakat lebih memilih hajatan outdoor dengan alasan mencegah penularan Covid-19 di areal tertutup. Hotel kehilangan salah satu sumber pemasukan. Sebab pengguna Ballroom pasti akan memanfaatkan catering hotel.
Apa gunanya sewa tempat resepsi besar-besar kalo hanya boleh diisi 50% kapasitas. Bahkan pada saat PPKM level 2 hanya boleh 25% dari kapasitas. Untuk keluarga yang memiliki keluarga cukup banyak, maka kuota tersebut hanya cukup untuk keluarga saja.
Masyarakat kini lebih memilih tempat hajatan diluar gedung. Di samping lebih mudah mengawasi kerumunan, kekhawatiran terjadi penularan Covid-19 relatif kecil karena sirkulasi udara yang baik.
Bila hendak mendatangi pernikahan di gedung atau di hotel, kita harus siap dengan aplikasi PeduliLindungi, sebab petugas yang menjaga pintu masuk biasanya sangat tegas. Jika kita tidak dapat menunjukkan aplikasi PeduliLindungi jangan harap dapat menembus pintu masuk.
Karena ada batasan jumlah tamu yang boleh masuk pada ruang resepsi, beberapa gedung dan hotel menyediakan ruangan khusus untuk menunggu waktu mereka dapat masuk ruang resepsi. Para tamu baru akan dipersilahkan memasuki ruang resepsi setelah kuota tamu dalam ruang resepsi berkurang.
Pada awal diterapkan PPKM kedua orang tua mempelai dan mempelai tetap mengenakan masker saat duduk di pelaminan. Kemudian setelah ada face shield, mereka semua mengenakan face shield. Namun akhir-akhir ini, ketika posisi pelaminan ditinggikan dan tamu undangan cukup jalan di bawah. Mempelai sudah tidak mengenakan masker.
Para tamu undangan yang datang dapat dibilang hanya ‘setor muka’ pada kedua mempelai yang duduk di pelaminan. Tidak ada jabat tangan apalagi cipika cipiki. Undangan dan mempelai cukup melakukan namtase. Setelah itu berjalan keluar ambil hampers. Selesai.
Kadang kala ada tamu yang nyelonong naik pelaminan dan bersalam-salaman. Pihak Wedding Organizer (WO) biasanya langsung memberi semprotan disinfektan.
Sedangkan untuk sesi foto, biasanya ada sesi buka masker. Rasanya kurang afdol jika berfoto masih mengenakan masker. Rugi rasanya sudah capek-capek dan mahal-mahal dandan di salon tapi saat foto masih juga pakai masker.
Terkait kuota 50 persen dari kapasitas ruangan, sebetulnya yang dihitung adalah seluruh orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Namun biasanya WO mensiasati dengan menjadikan tamu dalam daftar panitia sehingga tidak dihitung sebagai kuota tamu.
Beruntunglah saat ini ada fasilitas tehnologi yang dapat mengatasi kendala yang rumit dan sulit ini, dengan mengadakan live streaming. (tvl)