Bagaimana bisa kita memakai mata bening anak di bawah 10 tahun untuk memirsa video episode Putin menyelesaikan persoalan perburuhan, yang kembali viral akhir-akhir ini, misalnya?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Pada Jumat, 25 Februari lalu Rusia mulai menggempur negara tetangga mereka, Ukraina, dengan kekuatan penuh. Pada hari itu juga, Menteri Kesehatan Ukraina, Viktor Lyashko, sebagaimana diberitakan Associated Press dan NBC News, menyatakan 57 warga Ukraina tewas dan 169 orang lainnya terluka di tengah pertempuran. Salah satu dari korban yang turut berpulang itu seorang bocah kecil, yang tentu belum lagi cukup menikmati hidup.
Yang menarik, di Tanah Air, apa yang dilakukan Putin—menyerang Ukraina dan membawa musibah kematian dan duka kepada jutaan warga negeri itu—disambut dengan tepuk tangan dan applause sebagian kalangan yang rela jadi pemandu sorak. Di media sosial, beberapa dengan hati dingin menyatakan siap menonton pertunjukan yang baru saja digelar Putin itu. Seolah lupa, bahwa ‘pertunjukan’ yang mereka siap tonton itu nyata terkait nasib manusia; nyata darah yang tumpah, dan nyata pula ratap kehilangan mereka.
Yang lebih menghentak jantung, semua itu kemudian dikaitkan dengan keberadaan pasukan khusus batalion Muslim Chechnya yang dikerahkan Presiden Republik Chechnya, Ramzan Kadyrov, untuk membantu Rusia melakukan agresinya atas Ukraina. Serangan darat pasukan Chechnya yang dimulai dengan shalat berjamaah dan pekik “Allahu Akbar!” itu, tampak dengan segera merebut simpati sebagian publik Tanah Air.
Sebenarnya, saya tidak terlalu mempersoalkan simpati yang muncul di publik Indonesia terhadap Putin. Hal yang telah berlangsung beberapa tahun itu saya pandang wajar, di tengah miskinnya keteladanan para pemimpin di Tanah Air. Persis sama dengan bagaimana publik kita begitu mengelu-elukan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, sehingga kadang membutakan mata mereka bahwa Erdogan pun memiliki sisi kelam yang tak elok kita sikapi dengan menutup mata.
Yang saya kadang tak habis pikir, bagaimana bisa, setelah sekian banyak pengalaman di politik internal soal pencitraan, publik kita masih begitu mudah terpedaya video-video yang jelas buatan demi citra elok pribadi, terutama akhir-akhir ini? Bagaimana bisa kita memakai mata bening anak di bawah 10 tahun untuk memirsa video episode Putin menyelesaikan persoalan perburuhan, yang kembali viral akhir-akhir ini, misalnya? Sementara video itu, dengan segera pun bisa kita sadari sebagai video buatan, bukan liputan langsung.
Bukan sekali dua dalam lima tahun ini kita memirsa atau membaca simpati Putin terhadap (umat) Islam di negerinya. Tentu saja, untuk semua itu kita sebagai Muslim harus berterima kasih. Tetapi barangkali semua itu tidak seharusnya lantas membuat kita terbutakan pada siapa Putin. Paling tidak, sebelum lima tahun terakhir tersebut.
Sepak terjang Putin terhadap umat Islam, terutama kaum Muslim Chechnya, bisa dirujuk pada tahun-tahun pertama Chechnya menyatakan kemerdekaan, membentuk Chechnya Republic of Ichkeria dengan pemimpin Dzokar Dudayev,seiring runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Dua tahun setelah Chechnya memerdekakan diri, Rusia yang tak rela akan berdaulatnya negara kecil dengan warga mayoritas Muslim itu, menyerang Chechnya pada Desember 1994.
“Grozny akan akan kami ambil-alih dalam hitungan jam,” kata Menteri Pertahanan Rusia (saat itu), Pavel Grachev. Gracev keliru, alih-alih merebut Grozny dengan mudah, pasukan Rusia justru memetik pengalaman buruk. Pasukan mereka dipukul para pejuang Chechnya di berbagai front. Saat itulah mencuat sebuah nama pejuang besar Chechnya, Shamil Basayev, dengan battalion pimpinannya yang legendaris, Abkhaz Battalion.
Tahun-tahun itu, di saat Putin memimpin badan intelijen Rusia, Federal Security Service of Russian Federation (FSB), warga Muslim Chechnya mengalami berbagai kekerasan fisik dan psikis, yang dilakukan para tentara dan polisi Rusia yang diterjunkan ke medan Chechnya.
Menurut studi tahun 2007 oleh organisasi hak asasi manusia, Memorial and Demos, polisi Rusia kehilangan kualifikasi dan keterampilan profesional mereka selama tugas-tugas mereka di Chechnya. Diketahui, puluhan ribu polisi dan pasukan keamanan yang telah ke Chechnya mempelajari pola kebrutalan dan impunitas, dan mereka bawa ke Rusia. Mereka pulang dengan masalah disiplin dan kejiwaan akut. Sebuah pernyataan yang dirilis pada tahun 2006, departemen urusan dalam negeri Kementerian Dalam Negeri Rusia mengatakan, jumlah kejahatan yang tercatat dilakukan para petugas polisi meningkat 46,8 persen pada tahun 2005. Dalam satu jajak pendapat nasional pada tahun 2005 , 71 persen responden Rusia mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai polisi sama sekali; dan 41 persen orang Rusia mengatakan mereka hidup dalam ketakutan akan kekerasan polisi.
Kuatnya tekanan dunia membuat Rusia sempat hengkang dari Chechnya pada 1996. Perang selama 1992-96 ini dikenal sebagai Perang Chechnya I, yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata, Khasav-Yurt Accord.
Namun tiga tahun kemudian, dimulai dengan sebuah ‘false flag’, Rusia kembali menyerang Grozny yang saat itu tengah morat-marit dalam perebutan kekuasaan di antara para pemimpin Chechnya sendiri. Di sinilah letak kepandaian Putin memainkan peran mengadu-domba para elit pejuang Muslim Chechnya, seperti Presiden Chechnya terpilih Ashlan Maskhadov, Shamil Basayev, dan Mufti Chechnya Akhmad Kadyrov.
Berbeda dengan Boris Yeltsin yang mengorbankan dana dan tentara Rusia di medan Cechnya, Putin memilih mengambil-alih Chechnya dengan mengadu domba para pemimpinnya. Pada 1999 itu, Akhmad Kadyrov dan pasukannya bahkan telah berada di samping tentara Rusia, menghajar kelompok-kelompok perlawanan Chechnya sendiri!
Geng Kadyrov sejatinya kelompok lemah dalam peta pertikaian internal Chechnya saat itu, baik dalam persenjataan maupun dana. Namun sebagai mufti yang didengar banyak Muslim Chechnya, Putin tahu, inilah kelompok yang bisa dijadikan boneka tanpa harus banyak mengirim tentara Rusia ke medan perang. Bersama kelompok Kadyrov, Putin kemudian melakukan serangan penuh dan menjatuhkan Chechnya Republic of Ichkeria, membangun Republic of Chechnya dan meletakkan Kadyrov sebagai boneka.
Bekas Presiden Maskhadov yang bergerilya kemudian dibunuh pada Maret 2005, kurang dari sebulan setelah ia mengumumkan gencatan senjata dalam operasi yang dipimpin FSB. Shamil Basayev pun dibunuh di pinggiran negeri, di mana FSB banyak dikatakan terlibat. Belakangan, Akhmad Kadyrov sendiri terbunuh dalam sebuah serangan bom di Grozny. Disebut-sebut pelaku di belakangnya adalah para musuhnya, sesama Muslim Chechnya. Putin kemudian mengangkat putra Akhmad, Ramzan Kadirov, sebagai pemimpin Chechnya, yang belakangan (2007) menjadi presiden republik tersebut.
Untuk sejahtera perlu keamanan
Dengan qiyas ulama yang mengatakan,”Enam puluh tahun dengan penguasa dzalim lebih baik dibanding satu malam tanpa pemimpin”, mungkin banyak di antara kita yang bisa memaklumi cara anak-beranak Kadyrov merangkul Moskow (Putin) untuk meraih kekuasaan dan menjadikan Chechnya relatif bisa menjalani hari-hari ‘normal’. Persoalannya, belakangan terlihat bahwa Ramzan tak punya niat sejernih itu.
Nawaitu Ramzan untuk berkuasa tampaknya tak punya kaitan dengan kehendak untuk kemaslahatan rakyat Chechnya.
Anna Nemtsova, jurnalis independen yang tulisannya banyak dimuat Newsweek, Daily Beast, Washington Post, Foreign Policy, nbcnews.com, Al Jazeera, dan the Guardian, memakai kata ‘menjijikkan’ untuk melukiskan Ramzan dalam tulisannya di Politico, “How Putin Created a Monster in Chechnya” (https://www.politico.com/magazine/story/2016/02/how-putin-created-a-monster-in-chechnya-213583). Nemtsova, yang pernah mewawancarai langsung Ramzan di istananya, mengatakan, untuk memerankan diri sebagai ‘anjing setia’ Putin, Putin membiarkan Kadyrov menjalani kehidupan pasha Ottoman, membangun perkebunan, membangun istana bak kerajaan, gym pribadi, milisi besar, dan mengumpulkan koleksi kendaraan mahal, kuda balap, dan hewan liar. “Selama Putin mendukung saya, saya bisa melakukan segalanya, Allahu Akbar!”kata Ramzan, sebagaimana ditulis Nemtsova. Tentu saja, kita tak pernah tahu adakah pekik “Allahu akbar!’ itu dalam wawancara sebenarnya, atau tidak.
Yang paling ditegaskan Nemtsova, belakangan Ramzan tak hanya mengiklankan dirinya sebagai anjing penyerang Putin di dalam negeri, bahkan di luar Chechnya, Rusia. Hal itu antara lain ditunjukkan antara lain pada dugaan keterlibatan Ramzan dalam pembunuhan politisi liberal populer Rusia, Boris Nemstov. Ramzan juga dipertanyakan manakala menerbitkan sebuah video Instagram yang menunjukkan saingan Putin, politisi oposisi Rusia Mikhail Kasyanov, dalam pandangan optik sebuah senapan, laiknya membidik untuk menembaknya mati.
Tentang pembunuhan politik, Ramzan memang banyak dikaitkan dengan terbunuhnya banyak kalangan kritis di Cechnya. Misalnya, ia dihubung-hubungkan dengan kematian Anna Politkovskaya, seorang jurnalis dan aktivis hak kemanusiaan yang dibunuh pada 7 Oktober 2006. Anna sering menulis dan mengkritik pemerintahan Putin dan keganasan perang Chechnya. Anna juga dikenal publik pernah menyebut Ramzan sebagai “Chechen Stalin of our day”. Anna ditemukan tewas di dalam lif, dengan tembakan di bahu, kepala dan dua tembakan di dada.
Pada 19 Desember 2015, polisi Chechnya menahan seorang profesor ekonomi di Universitas Grozny, Khizir Yezhiyev yang berusia 37 tahun, setelah menerbitkan unggahan kritis di jejaring sosial. Jenazah profesor itu ditemukan pada 1 Januari di hutan kawasan Urus Martan. Penyebab resmi kematian dalam dokumen polisi mengatakan: “Jatuh dari tebing.”
Ramzan juga dihubungkan dengan kematian Umar Israilov, bekas pengawalnya yang menjadi saksi banyak keganasan, penyiksaan dan pembunuhan kelompok Kadyrov; pembunuhan Stanislav Markelov, jurnalis Anastasia Baburova, aktivis HAM Natalya Estemirova, yang diculik dari rumahnya di Grozny pada 15 July 2009 dan delapan jam kemudian mayatnya ditemukan di tepi jalan; Ruslan Yamadayev, lawan politiknya; Sulim dan Dzabrail Yamadayev, kakak dan adik Ruslan Yamadayev yang dibunuh di Dubai pada 28 Maret 2009; serta Zelimkhan Yandarbiyev, mantan Presiden Ichkeria dengan bom.
Tentu saja, Chechnya yang jauh jaraknya membuat kita harus skeptis memirsa berita. Apalagi kebanyakan berita itu ditulis oleh “media Barat yang seringkali tendensius”—seperti rasionalisasi yang banyak kita jumpai di media social. Tetapi mengabaikan berita-berita yang bejibun itu, bukankah hanya latihan kita menumpulkan rasa kemanusiaan kita sendiri? [dsy]