
Mochtar Lubis mungkin keterlaluan dalam menggeneralisasi. Tapi banyak kenyataannya tak terbantahkan. Korupsi merajalela, tanggung jawab publik rendah, budaya malu menipis. Apakah ini karena “mental budak” sebagaimana disebut Megawati? Ataukah karena gagal ditanamkannya visi manusia Indonesia yang utuh? Bukankah pada 1945, para pendiri bangsa telah menawarkan kerangka lewat Pancasila dan Pembukaan UUD: manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Entah apa yang membimbing saya untuk menemukan kembali sebuah berita tua—tapi tak pernah betul-betul usang—berisi pernyataan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Di tengah mulai menghangatnya kembali pembicaraan publik tentang “manusia” dan “kebudayaan” Indonesia, terutama sejak Fadli Zon diangkat menjadi Menteri Kebudayaan, saya terbawa pada kalimat ganjil sang mantan presiden: “Manusia Indonesia ini betul-betul ada keturunan budak karena harus disuruh, dipecut dahulu baru bekerja.”
Mungkin Megawati tak sepenuhnya sadar, bahwa ia tengah menyuarakan ulang salah satu kritik paling getir yang pernah ditujukan pada bangsa ini: konstatasi Mochtar Lubis dalam pidatonya yang monumental di TIM tahun 1977. Di sana, sang jurnalis pejuang itu menggambarkan manusia Indonesia sebagai makhluk hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik tapi juga lemah, dan gampang menyerah. Citra buram itu telah lama menggantung di atas langit identitas nasional kita, tapi tak pernah sungguh-sungguh diselesaikan, apalagi ditumbuhkan.
Ironisnya, peradaban yang seharusnya melahirkan manusia unggul justru semakin tertindih beban sejarah dan politik. Dalam diskusi-diskusi kecil yang marak belakangan ini, tampak jelas bahwa strategi kebudayaan Indonesia belum juga menemukan arah. Sejak Polemik Kebudayaan 1933, perdebatan antara rasionalitas Barat dan spiritualitas Timur tak kunjung rampung. Tambahkan ke dalamnya intervensi ideologi yang politis seperti di era Manifes Kebudayaan dan dominasi Lekra, maka lengkaplah babakan-babakan ketersesatan arah itu.
Padahal, jika menilik data arkeologis, kebudayaan Indonesia tergolong sangat tua dan agung. Dari lukisan gua purba di Maros, Sulawesi yang diperkirakan berusia lebih dari 40.000 tahun, hingga situs megalitik Gunung Padang yang oleh banyak peneliti diperkirakan mendahului piramida Mesir, kita memiliki hujjah kuat bahwa manusia Indonesia adalah pewaris salah satu peradaban tertua dunia. Tambahkan juga tinggalan budaya Austronesia, sistem irigasi subak Bali yang diakui UNESCO, serta temuan arkeologis di Lembah Bada dan Nias—semuanya menunjukkan bahwa kita bukan bangsa kecil yang baru belajar berbudaya.
Namun, pertanyaannya tetap: mengapa di abad ke-21 kita masih terengah-engah dalam berbagai indikator kesejahteraan dan keunggulan? Mengapa bangsa setua ini justru masih melangkah tertatih-tatih? Apakah karena warisan kolonialisme yang belum tuntas dibongkar? Atau karena elite bangsa lebih sibuk menyiapkan narasi politik elektoral ketimbang membangun proyek kebudayaan yang serius dan berkelanjutan?
Kembali ke Mochtar Lubis. Ia mungkin keterlaluan dalam menggeneralisasi. Tapi banyak kenyataannya tak terbantahkan. Korupsi merajalela, tanggung jawab publik rendah, budaya malu menipis. Apakah ini karena “mental budak” sebagaimana disebut Megawati? Ataukah karena gagal ditanamkannya visi manusia Indonesia yang utuh? Bukankah pada 1945, para pendiri bangsa telah menawarkan kerangka lewat Pancasila dan Pembukaan UUD: manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur?
Sayangnya, pembangunan kita lebih banyak berorientasi ekonomi dan politik jangka pendek. Budaya disingkirkan ke pinggiran, dianggap sekadar dekorasi upacara atau legitimasi proyek. Padahal, sebagaimana sering diingatkan Goenawan Mohamad dan Ariel Heryanto—dua pemikir dan budayawan kita–, budaya bukan sekadar ekspresi artistik—melainkan daya hidup, daya berpikir, daya moral. Kegagalan membangun manusia adalah kegagalan membangun kebudayaan itu sendiri.
Yang menyedihkan, kehancuran kultural itu sering terjadi di bawah euforia pembangunan. Tengok bagaimana hutan-hutan di Kalimantan dibabat untuk sawit, tanpa menyisakan ruang hidup bagi masyarakat adat. Di Papua, transmigrasi dan tambang menggusur komunitas yang memiliki sistem nilai dan narasi spiritual tersendiri. Bahkan di Jawa, desa-desa kini tercerabut dari akar kulturalnya karena tekanan modernitas yang sering kali bersifat destruktif.
Dalam konteks ini, religiusitas pun seringkali hanya menjadi kosmetika. Survei berbagai lembaga—termasuk laporan Pew Research Center dan Transparency International– menunjukkan Indonesia termasuk negara paling religius. Tapi juga termasuk yang paling permisif terhadap korupsi, pelanggaran etika, dan kekerasan atas nama agama. Apakah ini bukan kemunafikan kolektif sebagaimana disebut Mochtar Lubis? Nabi Muhammad SAW bersabda, “Takutlah kamu kepada doa orang yang terzalimi, karena antara dia dan Allah tidak ada hijab.” Tapi berapa banyak di antara kita yang malah dengan enteng saja menzalimi sesama?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa dijawab dengan jargon atau seruan moral. Ia butuh strategi kebudayaan yang nyata, sebagaimana pernah dirumuskan Kuntowijoyo dengan konsep humanisme teosentris, atau Alija Izetbegović dengan dialektika Islam antara spiritualitas dan rasionalitas. Dalam konteks Islam Indonesia, strategi ini bisa bermula dari tiga akar: keimanan (tauhid), keadaban (akhlaq), dan kemaslahatan (amal).
Kita butuh keberanian untuk menengok sejarah dengan kepala tegak. Bahwa manusia Indonesia bukan hanya korban kolonialisme, tapi juga pelaut, pedagang, pemikir, penjelajah. Dari kerajaan Zabaj (banyak yang menafsirkannya sebagai “Sriwijaya”) yang dicatat Muawiyah, hingga armada Sriwijaya yang ditulis para ahli geografi Arab dan Tionghoa. Dari pelaut Austronesia yang menyinggahi pesisir Afrika Timur menurut Robert Dick-Read, hingga kemungkinan keterhubungan dengan dunia Polinesia dan Pasifik. Menbud Fadli Zon benar ketika menyebut manusia Indonesia sebagai subjek sejarah. Kita bukan sekadar bangsa yang dibentuk, tapi bangsa yang membentuk. Maka, jangan sampai lupa untuk membentuk diri.
Masa depan Indonesia bukanlah hasil dari proyeksi elektoral semata. Ia adalah buah dari proses kebudayaan yang dalam dan panjang. Kita tak bisa berharap pada sistem pendidikan yang hanya menghasilkan tenaga kerja, tapi tak melahirkan pemikir dan pencipta. Kita tak bisa hanya bangga pada pertumbuhan ekonomi, sementara jati diri bangsa tergerus oleh konsumerisme dan banalitas digital. Jika tidak segera dirumuskan arah kebudayaan yang berdaulat dan adil, Indonesia bisa jadi besar secara statistik, tapi kerdil dalam peradaban.
Izinkan saya meminjam kata-kata Buya Hamka: “Kebudayaan yang tinggi tak hanya tercermin dalam tarian dan nyanyian, tapi dalam jujur tidaknya dagangan di pasar dan adil tidaknya keputusan di pengadilan.”
Manusia Indonesia bukan soal DNA budak atau bukan. Ia soal bagaimana kebudayaan membentuk watak, dan bagaimana watak membentuk masa depan. Dan masa depan, bukan milik mereka yang paling kuat. Tapi milik mereka yang paling tahu ke mana akan menuju—dan mengapa harus sampai ke sana.
Sebagaimana disampaikan Sayyid Qutb dalam tafsir “Fi Zilal Al-Quran”: “Bangsa yang diberi misi tidak akan mencapai tujuannya tanpa karakter, kebersihan jiwa, dan kekuatan moral yang dibangun dari budaya yang luhur.” Maka, jika manusia Indonesia ingin kembali menjadi pusat peradaban, jalan itu bukanlah jalan pintas. Tapi jalan sunyi yang menuntut kesungguhan, kesadaran, dan keberanian untuk mengubah watak—bukan sekadar nasib. [ ]