SolilokuiVeritas

Menyayangi Diri Sendiri

Pernah terjadi di Desa Sombano, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Awalnya seorang mahasiswa UGM yang ber-KKN di sana merekam seorang petani yang sedang bertani di kebun bawangnya. Kemudian dia mewawancarai petani itu. Hasil rekamannya dia siarkan lewat akun TikTok-nya. Setelah tersiar, dia memperlihatkannya kepada sang petani. Petani itu senang.

Oleh     :   Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Media online dan media massa memberitakan perngunduran diri Joao Angelo de Sousa Mota sebagai Direktur PT Agrinas Nusantara (Persero). Masyarakat kaget. Namun, mereka tidak tahu persis penyebabnya. Yang bisa mereka tangkap adalah: Agrinas tidak dapat dukungan dana dari induk usahanya, Danantara.

Tentu muncul beberapa tafsir tentang keputusan Joao di atas. Pertama, nasib Agrinas di tangan Danantara. Kedua, Agrinas masih miskin sehingga tidak bisa membiayai kegiatannya sendiri. Yang terakhir ini tentu menjadi masalah. Soalnya, pemerintah memposisikan Agrinas sebagai perusahaan yang bisa berkontribusi mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.

Lalu pada siapa kita menaruh harapan untuk swasembada pangan? Salah satunya pada petani, baik petani konvensional maupun petani milenial. Khusus yang terakhir ini, pemerintah sudah membentuk brigade pangan yang bisa diikuti petani milenial. Konon satu kelompok ‘brigade’ ini bisa menampung 15  petani milenial dan mengelola 150-200 hektare lahan.

Kita tidak tahu persis sambutan kaum milenial terhadap program brigade pangan ini. Soalnya, kaum milenial dinilai ingin mendapat hasil yang cepat. Mereka tidak betah mengikuti proses panjang untuk memperoleh hasil.

Namun, ini membawa semangat baru dalam pertanian Indonesia. Pertanyaannya lantas, mampukah semangat baru ini menular ke petani konvensional? Kalau bisa, apakah petani konvensional bisa meningkatkan produktivitas lahannya?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa penelitian yang saksama. Yang jelas lahan pertanian semakin berkurang akibat alih fungsi lahan dan warisan. Akses petani terhadap teknologi terbatas. Harga pupuk cenderung meningkat. Konsekuensinya, produktivitas lahan pertanian petani konvensional cenderung stagnan, kalau tidak menurun.

Maka yang sekarang mendesak dilakukan adalah membantu petani konvensional menyayangi diri mereka sendiri. Secara praktis, menyayangi diri sendiri (self love) bermakna menerima keadaan diri sendiri dan menghargai kondisi yang eksis. Dengan begitu mereka tidak mudah menyerah. Mereka tidak stres berlebihan. Mereka tetap setia menjalani profesinya. Kalau semua benar-benar terjadi, kita yakin Allah akan membantu mereka meningkatkan kualitas hidupnya.

Untuk membantu petani konvensional menyayangi dirinya sendiri, agaknya kita perlu menghimbau para YouTuber, TikToker, dan pegiat media sosial untuk memberi ruang kepada petani konvensional buat bercerita tentang diri mereka. Di sana mereka bisa tampil dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Mereka bisa meningkatkan kepercayaan diri yang pada gilirannya berani menyampaikan asa inisiatifnya.

Secara praktis, di desa, kemunculan seorang petani konvensional di media sosial akan mendatangkan kebanggaan buat dirinya. Dia akan merasa dihargai oleh rekan petani yang lain di desa itu. Ini akan menambah semangatnya bertani.

Ini pernah terjadi di Desa Sombano, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Awalnya seorang mahasiswa UGM yang ber-KKN di sana merekam seorang petani yang sedang bertani di kebun bawangnya. Kemudian dia mewawancarai petani itu. Hasil rekamannya dia siarkan lewat akun TikTok-nya. Setelah tersiar, dia memperlihatkannya kepada sang petani. Petani itu senang.

Dengan cepat informasi itu menyebar ke seluruh desa. Petani itu jadi bahan pembicaraan masyarakat luas. Dia pun mendapat pujian.

Kita yakin, setelah menonton video petani bawang itu, petani lain, misalnya petani jagung, ingin videonya bertani diunggah di media sosial. Untuk itu, mereka akan bersemangat bertani. Optimisme mereka akan tumbuh. Mereka pun bisa diharapan menjadi anggota brigade swasembada pangan Indonesia. [  ]

*Profesor jurnalisme UGM

Back to top button