Mewarisi Sinar Toeti Heraty
Mbak Inda, putri Toeti Heraty membriefing saya soal salah satu kegiatan ibu Toeti. “Akan diputar film “Darah dan Doa”. Ini karya legendaris Usmar Ismail di tahun 1950. Hari pertama syuting film ini bahkan dijadikan Hari Film Nasional.”
Oleh : Denny JA
JERNIH– “Maaf, Ibu Toeti berhalangan hadir. Sedang sakit. Tapi Ia menyampaikan pesan, beliau mendukung dan ikut pembentukan lembaga ini. Silakan saja teman- teman mulai rapat.”
Kalimat itu disampaikan oleh Mbak Inda. Ia putri Ibu Toeti, yang juga ikut rapat, dan ikut bersama mendirikan lembaga.
Kami sengaja memilih rapat di Rooseno Plaza, gedung di daerah Kemang, tempat Ibu Toeti melakukan banyak aktivitas. Kami menyadari, dalam usia menjelang 88 tahun, tak banyak aktivistas fisik yang bisa dilakukan Ibu Toeti.
Bulan Maret 2021, di ruangan itu sudah hadir Chappy Hakim, Nasir Tamara, Nina Akbar Tanjung, Connie Bakrie, Inda Noerhadi, Eka Budianto, Aji Sulaeman, dan Yori Antar. Nasir Tamara selaku pemimpin rapat mempersilakan saya menyampaikan pokok pikiran mengapa sebuah lembaga lagi perlu didirikan. Apa yang strategis dilakukan melalui lembaga baru ini?
Saya pun berkisah tentang rakasasa yang lebih kuat dibanding negara manapun. Ia adalah revolusi industri keempat. Terutama datangnya era Internet of Things. Informasi mengalir deras sekali. Tapi justru membuat nilai ekonomi para kreator budaya menjadi semakin rendah. Buku, lagu, bahkan film yang terbaru sekali pun mudah sekali diedarkan pihak lain dan dapat diunduh gratis di internet.
Perlu ada satu lembaga, dengan orientasi kepentingan para kreator budaya, untuk merespons itu. Lembaga ini secara aktif harus ikut menciptakan ekosistem kreator budaya yang sehat di Indonesia.
Sekitar seminggu dua minggu setelah rapat itu, ketika saya pulang ke rumah, staf di rumah, menunjukkan berkas. “Ini kiriman dari notaris. Tapi dikirim ke sini oeh staf Ibu Toeti Heraty. Katanya tinggal Pak Denny yang belum tanda tangan.”
Saya buka amplop itu. Rupanya itu akte notaris pendirian lembaga. Paling atas ada nama Toeti Heraty. Segera saya tanda tangan.
Ketika mendengar wafatnya Ibu Toeti Heraty, saya teringat momen ini. Sangat mungkin ini lembaga terakhir yang almarhumah ikut mendirikannya.
***
Di Rooseno Plaza itu, saya menikmati poster film Indonesia kuno. “Ruang meeting kita ini bioskop mini. Kita menonton film Indonesia zaman dulu di sini. Silakan Mas Denny jika mau ikut gabung menonton, Jumat atau Minggu awal bulan depan.”
Mbak Inda, putri Toeti Heraty membriefing saya soal salah satu kegiatan Ibu Toeti. “Akan diputar film “Darah dan Doa”. Ini karya legendaris Usmar Ismail di tahun 1950. Hari pertama syuting film ini bahkan dijadikan Hari Film Nasional.”
Saya juga melihat poster kuno sekali. Ini film “Bintang Tjilik”, karya Wim Umboh, tahun 1963. Saya tersenyum melihat poster itu. Tahun ketika film ini dibuat saya baru lahir.
Saat itu semakin tinggi saya mengapresiasi Ibu Toeti Heraty. Segala daya Ia lakukan untuk merawat warisan budaya Indonesia.
Di tempat lain, Ibu Toeti juga mengembangkan Cemara Galeri. Ketika Galeri ini di tahun awal dibuka, sekitar tahun 1993, saya sempat pula mampir. Di tahun 1993, 28 tahun lalu, saya sudah ingin menjadi seperti Toeti Herati. Di Cemara Galeri itu, Ia sediakan ruangan untuk pameran lukisan. Ia juga memiliki koleksi lukisan ternama Old Master: Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, dan Hendra.
Di Cemara juga ada home stay bagi siapa pun yang ingin menginap, terutama kreator dari luar negeri yang karyanya sedang dipamerkan untuk menginap. Ada kafe pula tempat duduk santai, sambil berdiskusi soal seni, filsafat atau apa pun.
Di tahun 1993 itu, saya masih menjadi mahasiswa S2 yang kere. Ke sana ke mari saya mencari beasiswa sekolah. Saat itu saya sudah menghayal. “Asyiknya memiliki kekayaan yang cukup untuk ikut merawat budaya.”
Tapi Ibu Toeti juga seorang aktivis feminis. Ia generasi pertama tokoh feminis yang gerakannya konseptual. Ia meriset Simone de Beauvoir, pemikir utama dan peletak gerakan feminisme modern. Ibu Toeti menulis soal pemikir ini sebagai tugas akhirnya di universitas.
Tak hanya sebagai pemikir feminis, Ibu Toeti juga terlibat dalam pemberdayaan perempuan. Antara lain melalui “Gerakan Suara Ibu Peduli”.
Tapi Ibu Toeti juga penyair. Ia menulis banyak buku puisi. Bahkan Ibu Toeti dianggap satu dari sangat sedikit penyair utama perempuan di dunia lelaki.
Tapi Ibu Toeti juga pemikir. Ia menulis buku. Tapi ibu Toeti juga pengajar. Ia menjadi ketua jurusan Filsafat UI.
Tapi ibu Toeti juga pengusaha. Ia memiliki usaha yang mengurus hak paten dan copy rights.
Wow! Hanya satu kata itu yang terucap. Ibu Toeti Heraty adalah bintang terang budaya Indonesia. Sinarnya layak untuk diwarisi dan diteruskan.
Pagi ini, ketika mendengar berita wafatnya Ibu Toeti, sambil menetes air mata, saya kirimkan Al-Fatiha.
Selamat jalan Ibu Toeti Heraty. Selamat jalan Guruku. [ ]
Juni 2021