Solilokui

Monarki: yang Masih Layak, yang Sangat Tidak Layak

Orang Jepang pada abad ke-19 menerjemahkan konsep Barat “republik” sebagai kyowakoku, di mana kyowa adalah pengucapan bahasa Jepang dari kata gonghe dalam bahasa Cina dan koku adalah “negara”, untuk menunjukkan negara tanpa raja.

Oleh  : Wee Kek Koon

JERNIH—Aneka skandal dan kasus yang melibatkan kerajaan (monarki), hampir bisa dipastikan menjadi berita utama. Yang terbaru adalah manala Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima dari Belanda, mempersingkat liburan mereka di Yunani, menyusul merebaknya kritik karena bepergian di tengah pandemic.

Bagaimana pun sebenarnya insiden ini tidak ada artinya dibandingkan dengan skandal baru-baru ini yang menimpa keluarga kerajaan-kerajaan lainnya di dunia, termasuk Thailand.

Wee Kek Koon

Albert II, mantan raja Belgia, pada dasarnya didukung kuat Pengadilan Belgia untuk mengakui bahwa putrinya tidak sah, awal tahun ini. Sementara Raja Emeritus Juan Carlos I dari Spanyol, telah hidup dalam pengasingan sejak Agustus lalu, atas dugaan suap dari kontrak komersial di Timur Tengah. Tingkah laku keluarga kerajaan Inggris sepertinya menjadi sangat lucu jika tidak melibatkan barang-barang berharga mahal. Lebih dekat ke lingkungan kita sendiri, para pemimpin yang dinobatkan di beberapa negara Asia, telah lama benar-benar tidak meyakinkan dalam membawakan peran mereka sebagai penegak dan pembela apa pun yang seharusnya mereka junjung dan pertahankan.

Institusi kebangsawanan di abad ke-21 ini memang menghibur sekaligus membingungkan saya. Saya mengerti bahwa mereka adalah koneksi ke masa lalu. Tetapi apakah kelanjutan keberadaan mereka benar-benar diperlukan untuk harga diri dan identitas suatu bangsa? Selain itu, banyak masa lalu kerajaan yang masih berdiri saat ini, tidak terlalu layak untuk dimuliakan.

Keindahan republikanisme adalah bahwa, setidaknya dalam teori, kepala negara dapat disingkirkan dengan lebih mudah dan lebih sedikit tekanan. Juga, presiden republik, baik itu eksekutif atau seremonial, biasanya memasuki kantor mereka melalui pemilihan atau pengangkatan berdasarkan prestasi luar biasa di bidang mereka, baik itu akademisi, hukum, diplomasi, dan sebagainya. Sebaliknya, para penguasa turun-temurun mendapatkan posisi mereka hanya karena mereka telah ditanam di rahim yang tepat oleh orang yang tepat.

Gongheguo, kata Cina modern untuk republik, sebenarnya diciptakan oleh orang Jepang dan “dipinjam kembali” orang Cina. Setelah Raja Li dari dinasti Zhou diburu dan terusir dari ibukotanya oleh massa yang marah, Tiongkok memasuki periode Gonghe (841-828 SM), di mana negara diperintah tanpa seorang raja. Para ahli sejarah masih ragu-ragu apakah kata “gonghe” merujuk pada orang tertentu yang menjabat sebagai bupati atau hanya menggambarkan “harmoni bersama” pada periode itu.

Merujuk peristiwa ini, orang Jepang pada abad ke-19 menerjemahkan konsep Barat “republik” sebagai kyowakoku, di mana kyowa adalah pengucapan bahasa Jepang dari kata gonghe dalam bahasa Cina dan koku adalah “negara”, untuk menunjukkan negara tanpa raja. Orang Cina kemudian meminjam terjemahan bahasa Jepang, melafalkannya dalam bahasa Cina.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, orang Tionghoa juga memiliki kata alternatif untuk “republik”, seperti minguo (“negara rakyat”) dan minzhuguo (“negara yang diperintah oleh rakyat”), tetapi ini tidak lagi digunakan dan hanya ada di nama resmi “Republik Cina” (Zhonghua Minguo) dan “Republik Korea” (Daehan Minguk, minguk adalah pengucapan bahasa Korea dari minguo).

Apakah kepala negara adalah penguasa turun-temurun atau seseorang yang ditunjuk oleh rakyat bukanlah faktor penentu keberhasilan suatu negara? Beberapa monarki konstitusional membanggakan PDB tertinggi di dunia, sementara yang lain terperosok dalam korupsi dan misgovernment; ada republik dengan indeks pembangunan manusia yang sangat tinggi, tetapi banyak lainnya adalah negara-negara bermasalah yang warganya hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Tentu saja, kita juga memiliki “republik rakyat demokratis” yang sama sekali tidak demokratis.

Saat ini, ada cukup banyak orang yang terpikat pada dunia raja dan ratu, pangeran dan putri yang dijernihkan, untuk memberi makan kelangsungan hidup mereka. Dan kenapa tidak? Sementara beberapa dari mereka adalah spesimen yang mengerikan, kebanyakan dari mereka tidak berbahaya. Beberapa dari mereka benar-benar telah memberikan kontribusi lebih banyak untuk negara dan rakyat daripada yang mereka dapatkan dari rakyat. Pertahankan atau buang mereka, biarkan orang-orang mereka yang memutuskan. Hanya saja, jangan membuatku bertekuk lutut di depan mereka. [ South China Morning Post]

Back to top button