SolilokuiVeritas

Nostalgia Rumah Bahagia

Rumah, kata Shoshana Zuboff, adalah tempat kita mengenal dan dikenal, mencintai dan dicintai. Ia bukan sekadar dinding dan atap, melainkan ruang di mana percakapan menghangatkan, pergaulan merekatkan, dan ketentranan menjadi nafas yang menghidupkan. Rumah adalah perlindungan, adalah harapan, adalah cahaya yang tak pernah padam.

Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, setiap jiwa memikul rindu yang tak kunjung sembuh—sebuah panggilan pulang yang menggema dalam dada. Bukan sekadar kembali ke tempat asal, melainkan menemukan rumah sejati, tempat hati merasa utuh, tempat harapan bisa tumbuh tanpa takut layu. Itulah nostalgia, sebuah homesickness yang tak terobati kecuali dengan kehangatan rumah yang dirindukan.

Lihatlah, kura-kura dan burung, setelah ribuan mil pengembaraan, mereka kembali ke tempat lahirnya.

Yudi Latif

Mereka bertelur, mereka bercinta, merajut kehidupan dalam lingkaran yang sempurna. Namun manusia, dengan akal budi yang lebih luas, memahami pulang tidak sekadar kembali ke titik di peta, tetapi menuju rumah dalam makna terdalam—tempat fitrah dan kesejatian diri berlabuh.

Rumah, kata Shoshana Zuboff, adalah tempat kita mengenal dan dikenal, mencintai dan dicintai. Ia bukan sekadar dinding dan atap, melainkan ruang di mana percakapan menghangatkan, pergaulan merekatkan, dan ketentranan menjadi nafas yang menghidupkan. Rumah adalah perlindungan, adalah harapan, adalah cahaya yang tak pernah padam.

Namun kini, langit mendung. Kekecewaan dan kebencian menggantung di cakrawala, kepercayaan pudar, tenunan sosial tercabik oleh prasangka. Kesenjangan menganga, diperparah oleh keserakahan. Dalam keadaan seperti ini, tak ada rindu yang lebih menghujam selain keinginan untuk menemukan kembali rumah bahagia bersama—sebuah tempat di mana setiap insan bisa kembali dan merasa diterima, tempat di mana kasih sayang lebih nyata dari rasa takut.

Demi menyembuhkan rumah kita yang luka, kita harus berani melangkah keluar dari politik ketakutan menuju politik harapan. Bahwa ketulusan dan cinta dapat menyuburkan tanah yang gersang, bahwa mencintai adalah bentuk tertinggi dari kepedulian, bahwa menjaga rumah bersama adalah tanggung jawab yang tak bisa diabaikan.

Maka pulanglah. Pulang ke rumah yang bukan sekadar bangunan, tetapi tempat di mana jiwa merasa utuh. Pulang ke rumah yang membentangkan tangan, bukan tembok. Pulang ke rumah yang menerangi, bukan menghakimi. Pulang ke rumah yang tak hanya membentangkan atap, tetapi juga menyinari jiwa. Pulang ke rumah yang disebut bahagia. [ ]

Back to top button