
Dominasi oligarki digital di Indonesia adalah kenyataan yang kompleks: melibatkan ukuran pasar besar, teknologi canggih, jaringan pengguna masif, dan infrastruktur global. Untuk menjawabnya, Indonesia tidak cukup hanya “menyikapi” secara pasif; perlu strategi komprehensif—kebijakan, investasi, riset, dukungan lokal—yang terintegrasi dan cepat.
JERNIH – Indonesia tengah berada di persimpangan sejarah digitalnya. Dalam satu dekade terakhir, negara ini menjadi salah satu pasar internet terbesar di dunia, dengan lebih dari 280 juta penduduk dan ratusan juta pengguna aktif internet. Transformasi digital merambah ke hampir setiap lini kehidupan: dari layanan publik, bisnis swasta, hingga aktivitas pribadi masyarakat.
Namun, di balik geliat inovasi dan kemudahan yang dihadirkan, tersembunyi satu kenyataan besar: dominasi segelintir raksasa teknologi global atas infrastruktur dan ekosistem digital Indonesia. Fenomena ini dikenal sebagai oligarki digital—konsentrasi kekuatan ekonomi, teknologi, dan data di tangan sedikit pemain besar yang mampu mengendalikan arah masa depan digital bangsa.
Bayang-bayang Raksasa Global
Dominasi platform digital global di Indonesia terlihat di hampir seluruh sektor — mulai dari layanan Over The Top (OTT), cloud computing, iklan digital, hingga kecerdasan buatan (AI).
Pasar OTT atau streaming, misalnya, menjadi gambaran jelas betapa besarnya pengaruh platform global. Laporan dari Allied Market Research mencatat nilai pasar OTT Indonesia mencapai 870 juta dolar AS pada 2020, dan diperkirakan akan melonjak drastis menjadi 16,4 miliar dolar AS pada 2031, dengan tingkat pertumbuhan tahunan mencapai 31,3 persen. Angka ini mencerminkan peningkatan konsumsi media digital yang luar biasa, didorong oleh penetrasi internet dan perubahan perilaku masyarakat.

Data dari MMA Global juga menunjukkan bahwa lebih dari 66 juta pengguna di Indonesia menonton platform OTT, dengan 70 persen di antaranya menonton lebih dari satu jam setiap hari. Artinya, hiburan masyarakat Indonesia kini sangat ditentukan oleh algoritma dan kebijakan konten dari segelintir perusahaan global seperti Netflix, Disney+, dan YouTube.
Kisah serupa terjadi di sektor cloud computing. Menurut laporan Mordor Intelligence, nilai pasar cloud Indonesia mencapai 2,46 miliar dolar AS pada 2025, dan akan tumbuh menjadi 4,87 miliar dolar AS pada 2030 dengan tingkat pertumbuhan sekitar 14,6 persen.
Sementara itu, pasar hyperscale data center — infrastruktur besar yang menopang layanan cloud dan AI — diperkirakan naik dari 3,49 miliar dolar AS pada 2025 menjadi 7,96 miliar dolar AS pada 2031. Pemain dominan di sektor ini bukan perusahaan lokal, melainkan raksasa global seperti Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, Google Cloud, dan Alibaba Cloud, yang menguasai lebih dari dua pertiga kapasitas layanan cloud di Indonesia.
Bahkan Microsoft telah mengumumkan investasi sebesar 1,7 miliar dolar AS untuk membangun infrastruktur cloud dan AI di Indonesia dalam empat tahun ke depan. Investasi ini tentu memperkuat posisi mereka, namun juga menandakan betapa besar ketergantungan Indonesia terhadap penyedia layanan global.
Ketergantungan di Setiap Lapisan
Dominasi ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal ketergantungan ekonomi dan strategis.
Pada sektor pemerintahan dan BUMN misalnya, banyak proyek digital seperti e-government, sistem keuangan, dan infrastruktur data publik yang berjalan di atas layanan cloud internasional. Pilihan ini seringkali diambil karena alasan efisiensi, keamanan, dan kecepatan. Namun, di sisi lain, hal ini berarti data dan proses vital negara beroperasi di luar kendali penuh pemerintah. Ketika data publik tersimpan di server asing, maka aspek kedaulatan digital menjadi rapuh.

Di sektor swasta, ketergantungan ini bahkan lebih nyata. Perusahaan besar di bidang perbankan, manufaktur, dan telekomunikasi bergantung pada cloud global untuk pengolahan data, kecerdasan buatan, hingga analitik pelanggan. Laporan industri menunjukkan sektor keuangan (BFSI) sendiri menyumbang sekitar 27,6 persen pangsa pasar cloud di Indonesia pada 2024. Dengan kata lain, sebagian besar transaksi dan layanan keuangan digital bergantung pada infrastruktur global yang berada di luar jangkauan regulasi nasional.
Sementara itu, UMKM dan perorangan menjadi pengguna paling rentan dalam rantai oligarki ini. Mereka bergantung pada ekosistem iklan dan distribusi dari Google, Meta, dan platform marketplace besar untuk memasarkan produk. Kapan pun algoritma berubah atau biaya promosi naik, keberlangsungan usaha kecil bisa terancam. Di sisi lain, konsumen juga kian terbiasa menggunakan platform global untuk hampir semua kebutuhan: menonton, bekerja, berbelanja, hingga belajar.
Di dunia pendidikan dan riset, para akademisi dan mahasiswa juga banyak menggunakan perangkat dan framework milik perusahaan global seperti TensorFlow (Google), PyTorch (Meta), dan layanan AI berbasis cloud. Hal ini menumbuhkan kemampuan teknis, tetapi sekaligus menegaskan bahwa inovasi lokal berkembang di atas fondasi asing.
Bagaimana Oligarki Ini Terbentuk?
Menurut teori platform capitalism yang dikemukakan oleh Nick Srnicek, model bisnis digital modern didasarkan pada penguasaan infrastruktur data dan efek jaringan (network effects). Artinya, semakin banyak pengguna yang menggunakan satu platform, semakin banyak pula data yang diperoleh perusahaan untuk meningkatkan produk dan layanannya. Siklus ini menciptakan efek bola salju — di mana pemain besar semakin dominan, sementara pemain baru sulit menyaingi mereka.
Sosiolog digital Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism menambahkan dimensi lain: data pribadi manusia telah menjadi “bahan bakar baru” kapitalisme. Platform mengubah perilaku pengguna menjadi data komersial, yang pada gilirannya memperkuat kekuasaan ekonomi mereka. Dengan akses ke miliaran titik data, mereka mampu mengendalikan tidak hanya pasar, tetapi juga preferensi dan keputusan pengguna.
Dalam konteks Indonesia, teori-teori ini menjelaskan mengapa oligarki digital begitu kuat: pemain global memiliki modal besar, ekosistem global, akses talenta terbaik, serta infrastruktur raksasa yang sulit ditandingi oleh perusahaan lokal. Biaya berpindah platform juga tinggi — baik karena kontrak, integrasi sistem, maupun kompetensi SDM — sehingga perusahaan dan pemerintah cenderung “terkunci” (vendor lock-in).
Apakah Indonesia Punya Alternatif Lokal?
Indonesia tidak sepenuhnya tanpa harapan. Sejumlah pemain lokal seperti Telkom Indonesia (melalui Neucentrix dan Telkomsigma), Biznet Gio, DCI Indonesia, dan Indosat Ooredoo Cloud mulai membangun fondasi kemandirian digital. Namun, tantangan yang dihadapi masih besar. Mereka belum memiliki skala investasi setara hyperscaler global, kapasitas riset AI masih terbatas, dan belum mampu menciptakan efek jaringan sebesar para raksasa global. Sahabat AI umpamanya yang digadang-gadang jadi AI LLM-nya Indonesia, namun belum sepenuhnya beroperasi selayaknya kompetitor lain dari AS dan China.
Di sisi lain, ekosistem startup lokal (seperti GoTo, Bukalapak, atau Traveloka) lebih fokus pada layanan konsumen ketimbang membangun infrastruktur. Akibatnya, Indonesia masih kekurangan “raksasa nasional” di bidang infrastruktur digital—padahal inilah yang menjadi tulang punggung kedaulatan teknologi.

Strategi dari Kacamata Great Institute
Ketimpangan tersebut akibat invasi oligarki digital selayaknya untuk dicermati. Lembaga pemikir macam Great Institute dapat bergerak cepat dan strategis untuk menghindari jebakan ketergantungan digital.
Ada beberapa kerangka dialektika yang dapat dimunculkan sebagai sebuah dasar berpikir menghadapi kolonialisme digital yang tak nampak ini.
1. Reformasi kebijakan dan regulasi digital
Negara perlu memperkuat kedaulatan data melalui kebijakan lokasi penyimpanan data (data localization) bagi sektor publik kritis, sekaligus menerapkan regulasi anti-monopoli di sektor digital. Regulasi yang menekankan interoperabilitas, transparansi biaya, dan pembatasan vendor lock-in harus segera diberlakukan.
Selain itu, lembaga seperti KPPU perlu diperkuat secara teknis agar mampu mengawasi praktik anti-kompetitif di sektor cloud, iklan digital, dan OTT.
2. Investasi pada infrastruktur nasional
Dibutuhkan Dana Infrastruktur Cloud Nasional yang melibatkan kolaborasi publik-swasta untuk membangun pusat data strategis di berbagai wilayah Indonesia, terutama di luar Jawa. Pusat data ini bisa menjadi tulang punggung bagi layanan publik dan bisnis tanpa harus bergantung pada server asing. Pemerintah juga dapat memberikan subsidi dan insentif pajak untuk perusahaan yang menggunakan penyedia cloud lokal.
3. Pengembangan platform publik dan data nasional
Pemerintah harus membangun platform digital publik seperti layanan identitas nasional, komunikasi kritikal, dan model bahasa AI untuk Bahasa Indonesia. Infrastruktur ini perlu bersifat open source dan non-komersial, agar tidak dikendalikan oleh satu entitas saja.
4. Pemberdayaan riset dan talenta
Pemerintah, universitas, dan industri perlu membentuk pusat riset AI nasional untuk mendorong inovasi berbasis lokal. Talenta digital juga perlu dilatih dalam teknologi terbuka agar tidak terikat pada satu vendor. Program pelatihan bisa dilakukan bersama hyperscaler global, tetapi harus ada transfer teknologi nyata kepada pihak lokal.
5. Dukungan bagi pemain lokal dan UMKM
UMKM bisa diberikan voucher cloud lokal agar beralih dari platform asing ke penyedia domestik. Sementara pengadaan publik bisa mensyaratkan porsi minimum penggunaan teknologi lokal agar perusahaan dalam negeri memiliki pasar yang cukup untuk berkembang.
6. Transparansi dan pengawasan publik
Audit tahunan terhadap ketergantungan digital, pangsa pasar, dan keamanan data harus menjadi agenda rutin negara. Laporan terbuka ini akan membantu publik memahami siapa yang menguasai ruang digital Indonesia — dan sejauh mana data nasional aman di tangan sendiri.
Transformasi digital memang membawa banyak kemudahan, tetapi juga menimbulkan paradoks baru: semakin modern kita menjadi, semakin besar pula ketergantungan terhadap pihak luar. Jika ketergantungan ini tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas nasional, maka Indonesia berisiko menjadi “penyewa abadi” teknologi asing di tanahnya sendiri.
Indonesia mesti berani melangkah ke arah kedaulatan digital — bukan dengan menutup diri dari globalisasi, melainkan dengan membangun kemampuan sendiri agar bisa bersaing secara adil.
Seperti dikatakan oleh ekonom Joseph Stiglitz, “Pasar bebas tanpa kebijakan yang bijak justru memperkuat yang kuat dan melemahkan yang lemah.” Maka, kebijakan digital yang cerdas adalah kunci untuk menciptakan pasar yang adil dan berdaulat.
Oligarki digital adalah tantangan besar, tetapi bukan tak terpecahkan. Dengan visi jangka panjang, koordinasi lintas sektor, dan keberanian politik, Indonesia bisa membalik ketergantungan menjadi peluang. Dari sekadar pengguna teknologi global, bangsa ini dapat naik kelas menjadi pembentuk ekosistem digitalnya sendiri — yang berdaya saing, mandiri, dan berpihak pada kepentingan nasional.(*)
BACA JUGA: Pemikiran GREAT Institute untuk Transformasi Digital Nasional