Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa
Maka, Soekarno dalam berbagai pidatonya, acap kali mengingatkan, tidaklah tepat menafsirkan atau bahkan mempraktikkan UUD 1945 dengan kaca-mata individualisme sebagaimana terjadi dalam praktek kenegaraan dekade 1950-an.
Oleh : Marlin Dinamikanto
JERNIH– “…dan oleh karena demokrasi ini adalah demokrasi impor, bukan demok-rasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita mengalami segenap ekses-ekses dari sekedar memakai barang impor. Mari kita kembali kepada jiwa kita sendiri.” (Soekarno, dalam Pidato berjudul Konsepsi Baru, 21 Februari 1957).
Begitulah pidato Soekarno, sebagaimana telah diungkapkan oleh (Alm) Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo,[1] ilmuwan hukum generasi pertama Republik Indonesia. Tampaknya pula, ekses pemakaian barang impor, termasuk “demokrasi suara terbanyak” yang dikritik Soekarno, secara nyata tampak mendekat dalam keseharian kita.
Kini, lebih satu dekade paska reformasi, kita dihadapkan fenomena bak kuda lepas dari kandang. Kebebasan mutlak individu, antara lain diwujudkan dalam bentuk demokrasi one man one vote, telah memberikan panggung kepada masing-masing individu untuk bertarung memenangkan “kontrak politik” sebagai sumber legitimasi kekuasaan dalam lima tahun ke depan.
Acap kali pula kita mendengar adagium vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Bila dicermati, kentara sekali adagium yang terkenal di lingkungan aktivis gerakan ini bersumber dari transformasi sosial di Eropa abad pertengahan, sejak era renaissance yang mengakhiri era kedaulatan Tuhan.
Sejak itu lahir gagasan-gagasan anthroposentrisme, kajian filosofis yang menem-patkan manusia sebagai pusat kekuasaan. Sejak itu pula lahir gagasan-gagasan tentang “modern state” dengan berbagai variannya, termasuk praktek kenegaraan yang menempatkan demokrasi, yang setidaknya secara simbolik, diadopsi oleh hampir semua Negara.
Tradisi berpikir Barat memang bermula sejak zaman Renaissance. Sebelum itu, ungkap Jacob Burckhardt dalam karyanya berjudul “Civilization of the Renaissan-ce in Italy” hingga Abad Pertengahan, “Man was conscious of himself only as a member of a race, people, party, family or corporation – only through some special category.”[2] Maksudnya, manusia hanya memiliki makna bila menjadi bagian ang-gota dari suatu pengelompokan atau komunitas tertentu.
Namun sejak Renaissance pandangan itu berubah. Burckhardt menyebut, man became spiritual individual and recognized himself as such. John Locke, ilmuwan segenerasinya juga menyebut, secara alamiah, manusia itu ada dalam keadaaan kebebasan sempurna untuk menentukan tindakan mereka.[3] Dengan kata lain, di era Renaissance muncul pandangan hidup, manusia menemukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali individualitasnya.
Karena manusia diciptakan sebagai makhluk otonom yang bebas, dan oleh karena itu pula , ungkap Jean Bodin, penemu Teori Kedaulatan, tiap-tiap individu manusia berkuasa penuh untuk menentukan jalan hidupnya. Konsekuensi dari teori ini, muncul istilah homo homini lupus, manusia menjadi serigala atas sesamanya.
Panggung kehidupan pun, karena masing-masing individu berdaulat atas dirinya, menjadi medan peperangan antara “semua melawan semua”. Karena itu, Thomas Hobbes, penulis buku “Leviathan”, menyerukan kepada individu-individu membangun kesepakatan bersama untuk menyerahkan kedaulatannya kepada sesuatu yang dipersonifikasikan sebagai negara.
Jelaslah, dalam filsafat individualism Barat ini, panggung kehidupan itu hakekatnya medan pertarungan antara semua melawan semua.[4] Supaya pertarungan berlangsung adil, maka masing-masing individu itu harus melepaskan kekuasaan yang dimiliki secara alamiah dan menyerahkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang diberi wewenang melakukan tindakan-tindakan pengaturan itu.
Seberapa banyak kekuasaan itu diberikan? Thomas Hobbes menjawab semuanya. Maka terbentuklah kekuasaan mutlak. Namun John Locke menjawab hanya sebagian, karena ada kekuasaan yang melekat pada diri setiap manusia yang bila dilepaskannya maka kemanusiaannya akan hilang. Bagian kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan itu lazim disebut hak azasi manusia (HAM).
Itulah filsafat individual yang dipelopori Rene Descartes dengan adagium terkenalnya cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, dan selanjutnya berkembang hingga Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jaques Rousseau, dan Montesquieu. Pemikiran yang mereka kembangkan lazim disebut Teori Kontrak Sosial yang selama 200-300 tahun terus menerus diolah, dimatangkan dan disempurnakan sehingga menghasilkan praktek demokrasi di sejumlah negara sebagaimana yang kita kenal belakangan ini.
Bahkan sosialisme itu sendiri, sebagai antithesis liberalisme, juga berangkat dari akar filsafat yang sama, yaitu individualisme. Bedanya bila liberalisme adalah kebebasan mutlak penggunaan kekuasaan (hak) individu, maka sosialisme adalah penyerahan mutlak penggunaan kekuasaan individu.
Di antara kebebasan mutlak liberalisme dan penyerahan mutlak sosialisme itu, Soekarno menawarkan “jalan tengah” yang disebutnya Pancasila. Sebagai penggali ideologi Pancasila, Soekarno menyebutnya bersumber dari mutiara yang terpendam selama ratusan tahun di bumi Nusantara.
Karenanya, Pancasila tidak bertitik-tolak filsafat individualisme Barat yang memandang manusia diciptakan sebagai individu bebas dan setara, melainkan berangkat dari pemikiran manusia diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya.
Maka, sebagaimana penulis kutip di atas, Soekarno dalam berbagai pidatonya, acap kali mengingatkan, tidaklah tepat menafsirkan atau bahkan mempraktikkan UUD 1945 dengan kaca-mata individualisme sebagaimana terjadi dalam praktek kenegaraan dekade 1950-an.
Toh demikian, dalam buku “Negara Paripurna” karya Yudi Latif, B Harry Priyono yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Dryakarya, mengulas secara tersirat Pancasila adalah ideologi terbuka, karena disimpulkan melalui bahasa nalar dan diproses melalui diskusi dan perdebatan publik.
Dalam nalar publik, suara mayoritas tidak identik dengan yang terbaik (hlm.429).[5] Bahkan ketololan publik sering muncul dari suara mayoritas. Dalam situasi itu, tepatnya 1 Juni 1945, pandangan Soekarno tentang Pancasila mampu memukau para tokoh pendiri Republik dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung antara 21 April hingga 1 Juni 1945.
Maka Soekarno pun menawarkan konsep demokrasi yang bersumber dari tradisi Musyawarah-Mufakat. Terlepas persoalan setuju atau tidak setuju dengan pandangan ini, konsep Soekarno tentang demokrasi perwakilan dengan mekanisme pengambilan keputusan atas dasar musyawarah-mufakat itu tampak lebih mewakili dinamika peradaban kepulauan Nusantara sejak ratusan tahun lalu ketimbang demokrasi one man one vote yang menyetarakan pendapat seorang ulama terkemuka, atau seorang rektor perguruan tinggi ternama di Indonesia dengan warga pedalaman Papua yang buta baca-tulis.
Konsekuensi dari pandangan ini, perwujudan kedaulatan rakyat dengan sendirinya pula bukan diserahkan kepada individu-individu sebagai sumber legitimasi, melainkan melalui perwakilan yang dalam versi UUD 1945 sebelum amandemen, diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan Presiden sendiri disebut-sebut sebagai pelaksana mandat (mandataris) MPR.
Kini masing-masing individu oleh konstitusi dianggap dilahirkan sebagai seorang manusia bebas dan setara. MPR bukan lagi perwujudan kedaulatan rakyat. Namun, tentu saja, perubahan cara pandang ini memiliki dialektikanya sendiri, antara lain sebagai antithesis praktik otoritarian Soeharto yang dalam pandangan berbagai kalangan diberi peluang oleh kelemahan UUD 1945,[6] dan oleh karena itu pula UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen.
Apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Sebagai jalan tengah, kendati sulit dipungkiri praktek demokrasi yang berlaku sekarang ini, demokrasi one man one vote, bersumber dialektika peradaban Eropa Barat, namun kita tentu saja tidak bisa dengan mudah sett-back ke masa lalu.
Apa lagi gerakan seruan “Kembali ke UUD 1945 yang asli!” sebagaimana telah diperjuangkan oleh sejumlah kalangan tidak bergaung secara luas di masyarakat, bahkan apapun gerakan tidak pernah bergaung secara luas di masyarakat, namun spirit para founding fathers untuk menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat (berkuasa penuh menentukan nasib sendiri) adil dan makmur, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, patut dijadikan acuan kembali dalam orientasi kehidupan bernegara sekarang ini. [ ]
[1] Soediman Kartohadiprodjo , Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Pustaka Gatra, Jakarta, 2007 : 68
[2] Jacob Burckhardt, Civilization of the Renaissance in Italy, Modern Library No. 32, terjemahan oleh S.G.C. Middlemore dari Die Kultur de Renaissance in Italien, hlm 225/26
[3] John Locke, Second Treatise on Civil Government, dalam Social Contract, ed. Oxford University Press, hlm. 5.
[4] Dirumuskan Thomas Hobbes sebagai “bellum omnium contra omnes” dalam “Leviathan”, Gateway Ed. Hlm 110-112; dalam The Making of Society; edited by V.C Galverton, Modern Library, hlm. 114/115.
[5] Ulasan B-Harry Priyono tentang Nagara Paripurna karya Yudilatif dalam artikelnya berjudul Pada Mulanya adalah Pancasila, Kompas, edisi Jum’at, 10 Juni 2011
[6] Dapat ditemukan dalam alur pemikiran Logemann, Ismail Suny, Marsillam Simanjuntak dan Yusril Ihza Mahendra tentang Negara Integralistik yang memberikan peluang bagi pemerintahan Orde Baru bertindak otoriter.