Para Pejuang Versus Para Pecundang
Setidaknya, mereka bukanlah pecundang. Karena, sejatinya, para koruptor, pengkhianat negara, dan para penguasa yang lupa tujuan pendirian negara, meski berlimpah harta, mereka adalah para pecundang. Mereka yang disebutkan terakhir ini, sesungguhnya orang-orang yang kalah dalam merawat nilai-nilai mulia, seringkali menghasut dan menipu.
Oleh : Mi’raj Dodi Kurniawan
JERNIH–Seorang kakek (veteran perang kemerdekaan RI), duduk di trotoar jalan raya. Berpakaian lengkap tentara veteran (serba hijau, peci jingga, dan sepatu kulit lusuh), dia khusyuk melahap nasi bungkusnya.
Kakek lainnya, juga seorang veteran perang kemerdekaan RI, memiliki ciri-ciri fisik dan melakukan tindakan serupa. Bedanya, kakek yang satu ini mengenakan peci tentara berwarna hitam. Dia juga khusyuk melahap nasi bungkusnya.
Demikianlah, kalimat-kalimat deskriptif tadi, berusaha menjelaskan–dengan kata-kata–dua foto unik, yang kerap muncul di media sosial, di sekitar perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI.
Entah kapan mereka dipotret, dan entah siapa yang memotret mereka. Barangkali, mereka mantan prajurit rendah. Tampaknya, mereka difoto setelah mengikuti upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Bukan tentang pentingnya bersyukur. Bukan mengenai mengisi masa tua dengan nyaman. Apalagi mengenai keberlimpahruahan dan kemewahan. Melainkan, jika menggunakan analisis isi (content analysis), maka dua gambar itu, dibuat terutama disebarkan, untuk menuai iba atau rasa kasihan publik atas nasib para veteran.
Sarkasnya, foto-foto itu ingin bercerita, bahwa para veteran sudah berjuang keras di masa lalu, mempertaruhkan harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa. Namun, setelah negara yang dibelanya meraih merdeka, nasibnya bersahaja belaka (untuk tak menyebut naas), bahkan ekstremnya, seperti gelandangan saja.
Perspektif
Soal itu, barangkali dapat diajukan dua perspektif. Pertama, patut saja negara yang besar dan negara yang bermartabat, memastikan cara untuk membahagiakan mereka. Sebab, bukankah negara besar adalah negara yang menghargai jasa para pahlawannya? Dan para veteran adalah para pahlawan ini.
Manakala nasib para veteran kurang baik, barangkali karena negara ini belum menjadi negara besar dan belum –pula–menjadi negara yang bermartabat. Artinya, bukan soal individual para veteran. Melainkan, nasib naas mereka adalah soal sistem (belum baik dalam menata negara).
Kedua, fenomena itu seakan berpesan kepada setiap individu: keharusan untuk berjuang terus-menerus dalam kehidupan. Bukan saja pada zaman perang, tetapi juga pasca perang. Secara menukik, bahkan pesannya adalah, perjuangkan terus perbaikan nasib, baik dimensi spiritual maupun material.
Kalau boleh berpikiran nakal, barangkali nasib naas para veteran secara finansial, akibat kurang menganggap penting harta (rampasan perang atau imbal jasa maupun hasil usaha biasa). Sebab, bukankah tidak sedikit veteran, yang segera menjadi pejabat atau melimpah harta, sesudah merdeka?
Karena, bisa jadi, bagi veteran yang terakhir disebutkan, perang kemerdekaan laksana jembatan perbaikan nasib: dari miskin jadi maknur, dari diperlakukan secara zalim jadi secara adil, dan—ringkasnya– estafeta perjuangan memperbaiki nasib.
Tapi, ah, selama tidak melakukan hal-hal buruk, seperti korupsi, berkhianat pada negara, dan lupa pada tujuan pendirian negara, maka mereka, para veteran yang taraf ekonominya bersahaja–sebagaimana yang tampak di foto itu, tetaplah pejuang, dari dahulu sampai sekarang.
Setidaknya, mereka bukanlah pecundang. Karena, sejatinya, para koruptor, pengkhianat negara, dan para penguasa yang lupa tujuan pendirian negara, meski berlimpah harta, mereka adalah para pecundang. Mereka yang disebutkan terakhir ini, sesungguhnya orang-orang yang kalah dalam merawat nilai-nilai mulia, seringkali menghasut dan menipu.
Selamat merayakan HUT Kemerdekaan RI kepada para pejuang! Tidak selamat merayakan HUT Kemerdekaan RI kepada para pecundang! [ ]
*Penulis buku “Kekuatan Penggerak Sejarah”