
Di tengah keriuhan linimasa digital dan gemuruh tren yang silih berganti, Generasi Z hadir sebagai kekuatan demografi yang tak terelakkan. Mereka adalah para digital native sejati, mahir menari di antara algoritma media sosial, dan lantang menyuarakan isu-isu global mulai dari krisis iklim hingga kesetaraan gender.
MATANYA terus menatap smartphone, sementara tangannya tak berhenti bergerak di atas layar. Sudah hampir satu jam, Afrizal memainkan game di smartphonenya, seakan tak mempedulikan lingkungan di kafe tempat ia nongkrong sore itu. Ia juga tak tertarik dengan tayangan televisi yang tengah menyiarkan siaran langsung unjuk rasa mahasiswa menuntut pembubaran DPR di Ibu kota yang berlangsung ramai dan berakhir rusuh.
Salah satu temannya yang duduk di depannya dan sempat menonton siaran televisi itu sempat berkomentar “gila bentrok, mereka dipukul polisi”, “ojol kena lindes mobil polisi”. Afrizal tampaknya keasyikannya merasa terganggu. “Berisik loe, ganggu gue aja,” katanya.
Afrizal, seperti tak peduli dengan kondisi politik di sekitarnya. Mungkin bukan gambaran yang sepenuhnya tepat, tetapi sikap acuh tak acuh terhadap politik seperti Afrizal juga dialami banyak anak-anak muda Gen Z yang lahir di era 1997 hingga 2012.
Seringkali terselip sebuah stigma yang cukup mengganggu bagi kalangan Gen Z ini yakni apatisme politik. Benarkah Gen Z tak peduli dengan nasib bangsanya? Ataukah mereka hanya mencari cara partisipasi yang berbeda?
Stigma ini, jika dibiarkan, bisa menjadi ancaman serius bagi fondasi demokrasi. Bayangkan sebuah masa depan di mana suara-suara muda yang kritis dan visioner memilih diam, menyerahkan nasib bangsa pada segelintir orang, atau bahkan membuka celah bagi manipulasi narasi politik. Inilah mengapa pendidikan politik, khususnya bagi Generasi Z, bukan lagi pilihan, melainkan sebuah urgensi.
Tentu saja ini menjadi pemikiran serius semua pihak termasuk lembaga pemikir seperti GREAT Institute. Sebagai sebuah inisiatif/organisasi/gerakan yang visioner, GREAT muncul sebagai jawaban atas tantangan apatisme ini, memikul misi ideologis untuk mengubah lanskap politik Generasi Z dari pasif menjadi partisipatif.
Bukan Apatis, Hanya Mencari Kanal yang Tepat
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami siapa sebenarnya Generasi Z dalam konteks politik. Mereka bukanlah generasi yang abai. Justru sebaliknya, Gen Z adalah generasi yang sangat peduli. Isu-isu seperti lingkungan, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi seringkali menjadi prioritas utama mereka. Namun, cara mengonsumsi informasi dan berpartisipasi politik sangat berbeda dari generasi sebelumnya.
Mereka adalah pemburu berita di TikTok, Instagram, atau YouTube, bukan koran pagi atau siaran berita televisi. Mereka skeptis terhadap otoritas, cenderung kritis, dan lebih memilih aksi langsung, petisi online, atau gerakan sosial daripada harus bergelut dengan birokrasi partai politik tradisional. Individualisme yang kuat berpadu dengan kolektivisme digital, menciptakan keinginan untuk bersuara dan menjadi bagian dari komunitas, namun seringkali belum menemukan kanal yang tepat dalam sistem politik formal.
Di sinilah letak kesenjangan krusialnya, antara minat yang tinggi terhadap isu sosial dan partisipasi yang rendah dalam politik formal. Menjembatani kesenjangan ini menjadi kunci agar kepedulian mereka dapat diterjemahkan menjadi dampak nyata bagi negara.
Pada Pemilu 2024, pemilih sudah didominasi dengan pemilih muda generasi Z berdasarkan data dari KPU ada sekitar 56,4 persen yang artinya sudah melebihi setengah total dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Akan tetapi inilah yang sangat ditakutkan pada pemilih generasi muda saat ini. Berdasarkan survei Centre For Strategic and International, responden yang memilih Golput mencapai 11,8 persen pada Pemilu 2024.
Tentu saja lembaga pemikir bisa menjadi jembatan antara semangat muda Gen Z dengan dinamika politik yang seringkali terasa rumit dan jauh. Dengan misi ideologis yang kuat—berlandaskan pada nilai-nilai inklusivitas, transparansi, keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi aktif, GREAT Institute berusaha mendekonstruksi citra politik yang kaku menjadi sesuatu yang relevan dan bisa dijangkau.
Tentu butuh strategi yang tepat untuk berkomunikasi dengan generasi yang terbiasa dengan kecepatan dan visual. Lembaga pemikir tentu harus terjun langsung ke medan pertempuran Gen Z yakni media sosial, menguasai bahkan menaklukan ranah digital.
Strateginya bisa dimulai dengan membanjiri TikTok lewat infografis politik yang catchy, Instagram dengan storytelling isu-isu kompleks yang disederhanakan, dan YouTube dengan serial webinar interaktif serta podcast yang membahas topik politik dari sudut pandang Gen Z. Konten yang dihasilkan jauh dari kesan ceramah, harus memiliki visual yang kuat, singkat, dan mudah dicerna.
Gen Z juga tidak peduli pada politik “besar” jika tidak dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Karenanya, harus jeli menghubungkan kebijakan pemerintah dengan harga kopi kekinian, dampak lingkungan dari pembangunan infrastruktur, atau bagaimana dana pendidikan memengaruhi beasiswa impian. Politik menjadi personal dan mendesak.
Bukan sekadar memberikan informasi, tetapi juga harus mampu mendorong interaksi. Diskusi online yang berani, workshop simulasi politik sederhana yang fun, hingga gaming edukasi yang melibatkan partisipan, semuanya harus dirancang untuk membuat Gen Z merasa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton. Kolaborasi dengan influencer atau aktivis muda yang sejiwa juga menjadi strategi ampuh untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Literasi politik lebih mendalam juga bisa dilakukan lewat program “Sekolah Politik Digital” atau “Kelas Pemilih Cerdas” yang mengajarkan cara menganalisis calon dan kebijakan, hingga “Gerakan Suara Muda” yang menjadi wadah advokasi isu-isu spesifik. Inovasi harus terus dilakukan untuk menangkap saluran yang tepat untuk ‘menangkap’ Gen-Z ini.
Terhalang Batu Besar
Tentu saja ‘meraup’ Gen Z agar peduli dengan politik tentu akan mengalami banyak tantangan. Ada dinding skeptisisme dan ketidakpercayaan Gen Z yang sudah terlanjur akut terhadap politisi dan institusi. Membangun kembali kepercayaan ini membutuhkan waktu, konsistensi, dan transparansi yang mutlak.
Lautan informasi di era digital juga membawa serta gelombang disinformasi dan hoaks. Lembaga pemikir seperti GREAT tentu saja dituntut menjadi garda terdepan dalam menyaring dan menyajikan informasi kredibel, sambil secara aktif mengajarkan literasi digital kepada Gen Z agar mereka tidak mudah termakan narasi menyesatkan.
Tantangan lain adalah menjaga perhatian generasi yang terbiasa dengan konsumsi konten yang cepat. Bagaimana menyajikan isu politik yang kompleks secara singkat namun tetap mendalam? Ini adalah seni yang terus diasah. Selain itu, menghubungkan isu-isu lokal yang kadang terasa jauh dengan isu global yang lebih dekat di hati Gen Z juga menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah.
Melihat ke depan, peran untuk meningkatkan partisipati politik bagi Gen Z akan semakin krusial. Setiap upaya harus terus beradaptasi dengan perubahan karakteristik Gen Z dan dinamika politik yang semakin cepat. Juga potensi kolaborasi lebih lanjut dengan pemerintah, sektor swasta, dan akademisi akan menjadi kunci untuk menjangkau lebih banyak anak muda.
Di tengah hiruk-pikuk era digital, lembaga pemikir seperti GREAT hadir bukan sekadar mengedukasi, melainkan menyalakan kembali bara semangat demokrasi dalam diri Generasi Z.
Generasi Z adalah lebih dari sekadar pemilih. Mereka adalah harapan dan arsitek masa depan, calon pembuat kebijakan, aktivis, serta inovator sosial. Dengan bimbingan ideologis yang tepat, apatisme tak lagi memiliki tempat di bilik suara, melainkan digantikan oleh partisipasi aktif yang visioner. Partisipasi mereka adalah indikator kesehatan demokrasi sebuah negara.