CrispyVeritas

GREAT Institute Ingatkan: Tanpa PLTN, Kedaulatan Energi Berada di Ujung Tanduk

Dalam forum muncul kritik tajam terhadap buruknya pengelolaan narasi energi nuklir yang membuat publik terjebak pada ketakutan yang tak pernah diluruskan. Akibatnya, Indonesia terlalu lama menunda, terlalu banyak ragu, dan terlalu sering membiarkan peluang strategis berlalu. “Kalau kita terus takut pada masa lalu,” ujar Syahganda, “kita akan kehilangan masa depan.”

JERNIH– Indonesia dinilai tak bisa lagi menunda pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) jika ingin lepas dari krisis energi, ketergantungan pada energi fosil, dan lemahnya kedaulatan nasional. Hal itu mengemuka para peserta Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik Energi: Menuju Swasembada Energi Melalui Teknologi Nuklir” yang digelar GREAT Institute, Rabu (30/4), di Jakarta.

FGD yang dipandu Kepala Desk Energi GREAT Institute, Turino Yulianto, itu dihadiri pakar nuklir, akademisi, pejabat kementerian, aktivis lingkungan, dan praktisi komunikasi. Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. H. Syahganda Nainggolan, menegaskan bahwa ketakutan publik terhadap nuklir lebih banyak dilestarikan daripada dijernihkan.

“Masalah PLTN di Indonesia terlalu lama dikurung oleh trauma dan ketakutan. Padahal yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian menatap masa depan,” kata Syahganda.

Irwanuddin Kulla, staf ahli Menteri ESDM, menekankan bahwa pemahaman publik terhadap insiden Chernobyl sering keliru. “Itu bukan PLTN modern, tapi reaktor riset generasi pertama. Indonesia punya Siwabessy, Triga Mark, dan RA Kartini yang diakui dunia, tapi RA Kartini kini justru ditutup,” katanya. Ia mengimbau Presiden agar mengaktifkan kembali reaktor tersebut.

Dari sisi waktu, Dr. Ing Kusnanto dari UGM mengingatkan bahwa tenggat waktu menuju 2032 tinggal tujuh tahun. “Kalau Jepang bisa membangun dalam empat setengah tahun karena semuanya siap, kita belum punya tapak, SDM, bahkan regulasi modular pun belum jelas,” ujar Kusnanto.

Prof. Sidik Permana dari ITB menyebut Indonesia bukan pemula. “Kita memulai sejak 1954, tapi terlalu lama gamang. Negara lain yang mulai bersamaan, seperti Jepang dan Korea, sudah jauh melampaui. Satgas percepatan PLTN tidak boleh sekadar wacana. Presiden harus punya kerangka waktu yang pasti,” kata dia.

GREAT Institute juga mengusulkan pembentukan Direktorat Jenderal Ketenaganukliran dan menyerahkan mandat pelaksanaan proyek PLTN kepada BUMN PT Industri Nuklir Indonesia (INUKI). “Jika ingin mewujudkan target 35 GW dari PLTN pada 2032, maka reaktor awal 250 MW harus dimulai segera,” ujar Turino.

Kritik tetap muncul. Dwi Sawung dari WALHI menilai belum ada jaminan keselamatan dan transparansi yang bisa membuat masyarakat percaya pada PLTN. “Selama itu belum jelas, penolakan akan tetap ada.”

Nada serupa disampaikan Deva Rachman. Ia menyebut bahwa hambatan utama justru terletak pada kepemimpinan dan integritas tata kelola. “Masalah kita bukan uang. Masalah kita adalah kemauan,” katanya.

Dalam forum yang semula berlangsung datar, suasana mulai bergeser ketika Darmawan Sepriyossa, wartawan yang ikut sebagai peserta, menyampaikan kritik tajam terhadap cara pemerintah mengelola narasi energi nuklir. Menurutnya, komunikasi yang buruk membuat publik terjebak pada ketakutan yang tak pernah diluruskan.

“Kita kalah bukan dalam hal teknologi, tapi dalam hal membangun kepercayaan publik. PLTN ini bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan—jika bangsa ini masih mau bicara soal kedaulatan energi dan masa depan yang layak,” ujarnya. Ia menyerukan perlunya revolusi komunikasi energi agar isu PLTN tak lagi ditinggalkan dalam kesunyian birokrasi.

Menutup diskusi, Ir. Rijalul Fikri menyampaikan tujuh dokumen strategi pengembangan PLTN yang telah disusun GREAT Institute, mencakup aspek kelembagaan, pendanaan, manajemen risiko, hingga kerja sama internasional. Ia menegaskan bahwa PLTN harus segera dimasukkan sebagai objek vital nasional dan dikawal lembaga yang tak mudah diintervensi politik.

FGD ini menegaskan satu hal: Indonesia terlalu lama menunda, terlalu banyak ragu, dan terlalu sering membiarkan peluang strategis berlalu. “Kalau kita terus takut pada masa lalu,” ujar Syahganda, “kita akan kehilangan masa depan.” [ ]

Back to top button