SolilokuiVeritas

Penduduk Asli Laweueung: Dari Jejak Purba ke Kampung Pesisir Aceh

Ada pula catatan lisan yang menyebutkan tentang keberadaan seorang raja dari Nagari Bihar, India yang wafat dan dimakamkan di sekitar kawasan ini. Jika benar, hal ini menunjukkan betapa kuat dan jauhnya jaringan hubungan Aceh dengan dunia Islam di Asia Selatan sejak masa-masa awal.

Oleh     : Iswadi*

JERNIH– Laweueung, sebuah kampung pesisir yang terletak di barat Kabupaten Pidie, Aceh, tampak seperti perkampungan nelayan biasa pada pandangan pertama. Namun di balik gelombang ombak dan semilir angin lautnya, tersimpan kisah panjang perjalanan manusia yang telah berlangsung selama berabad-abad, bahkan mungkin ribuan tahun.

Wilayah ini menjadi saksi bisu perpaduan berbagai peradaban: dari masyarakat prasejarah, pengaruh Hindu Buddha, hingga datangnya Islam yang mengakar kuat di tanah Aceh.

Sejarah Laweueung tidak bisa dilepaskan dari kisah suku-suku purba yang pernah menghuni wilayah pedalaman dan pesisir Aceh. Dua kelompok yang sering disebut dalam tradisi lisan dan legenda rakyat adalah suku Mante dan suku Lhan. Keduanya diyakini sebagai penghuni pertama Tanah Rencong, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari luar.

Suku Mante dikenal sebagai kelompok yang misterius. Mereka digambarkan bertubuh kecil, lincah, dan hidup menyendiri jauh dari peradaban. Keberadaan mereka hingga kini masih menjadi teka-teki. Beberapa klaim penampakan dan temuan arkeologis belum cukup kuat untuk memastikan kesinambungan mereka dengan penduduk Aceh masa kini. Namun, dalam cerita rakyat Aceh, mereka disebut-sebut pernah mendiami kawasan hutan dan pesisir Laweueung, berburu dan meramu di tengah lebatnya rimba Muara Tiga.

Berbeda dengan Mante, suku Lhan disebut memiliki ciri fisik dan budaya yang mirip dengan kelompok Semang  dari Semenanjung Malaka, yaitu masyarakat pribumi yang tergolong dalam ras Australoid. Mereka merupakan peladang berpindah yang hidup dalam kelompok kecil, dan diyakini telah memiliki sistem sosial sederhana yang kemudian menjadi dasar terbentuknya komunitas komunitas awal di kawasan pesisir Aceh, termasuk Laweueung.

Memasuki abad ke-5 hingga ke 8 Masehi, wilayah pesisir barat Pidie mulai tersentuh gelombang budaya dari luar Nusantara. Dalam kurun waktu ini, berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha seperti Poli dan  Indrapuri, yang menjalin hubungan dagang dan budaya dengan India dan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya. Pesisir Aceh menjadi bagian penting dari jalur pelayaran internasional yang menghubungkan dunia timur dan barat.

Laweueung, yang berada di antara jalur pelayaran tersebut, menjadi tempat persinggahan kapal-kapal kecil dan pelabuhan-pelabuhan rakyat. Meski tidak menjadi pusat kerajaan, wilayah ini mulai bersentuhan dengan ide ide baru: tentang pemerintahan, sistem kasta, kepercayaan, dan bahasa. Pengaruh ini terlihat dari beberapa temuan struktur batu kuno dan cerita rakyat yang memiliki unsur-unsur Hindu Buddha.

Namun, perubahan besar datang pada abad ke 9 hingga ke 14 Masehi, ketika pedagang-pedagang Muslim dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok mulai singgah di pesisir Aceh. Mereka tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan damai dan budaya. Para ulama dan mubaligh yang datang ke Aceh mendekati masyarakat dengan akhlak dan ilmu, bukan dengan senjata.

Salah satu pusat penyebaran Islam di wilayah Pidie adalah Gigieng  sebuah daerah yang berjarak tidak jauh dari Laweueung. Di sinilah berkembang madrasah dan jaringan dakwah yang menghubungkan pesisir Aceh dengan dunia Islam yang lebih luas. Islam diterima secara bertahap oleh masyarakat, dan mulai menyatu dengan adat istiadat setempat. Bukti dari proses Islamisasi ini terlihat dari sejumlah makam kuno di sekitar Laweueung, termasuk makam para ulama besar dan tokoh yang diyakini ikut menyebarkan ajaran Islam.

Menariknya, ada pula catatan lisan yang menyebutkan tentang keberadaan seorang raja dari Nagari Bihar, India yang wafat dan dimakamkan di sekitar kawasan ini. Jika benar, hal ini menunjukkan betapa kuat dan jauhnya jaringan hubungan Aceh dengan dunia Islam di Asia Selatan sejak masa-masa awal.

Laweueung hari ini berkembang sebagai kampung pesisir yang khas. Para nelayan turun ke laut dengan perahu warna warni, berlayar mencari ikan dan hasil laut lainnya. Pasar ikan di dermaga Ujong Pie  menjadi denyut ekonomi lokal, tempat para ibu rumah tangga, pedagang, dan pembeli bertemu setiap pagi. Kuliner laut seperti eungkot paya, mie kepiting, mie ikan tongkol dan gulai asam sunti menjadi ciri khas cita rasa yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun lebih dari itu, Laweueung menyimpan memori kolektif tentang asal mula manusia di pesisir Aceh. Ia adalah perkampungan yang menyatu dengan laut, namun menyimpan jejak hutan purba. Ia menerima budaya luar, namun tidak kehilangan jati diri. Di tengah tantangan modernitas, Laweueung berdiri sebagai saksi perjalanan panjang manusia Aceh  dari peradaban purba, kerajaan tua, hingga kiblat Islam di ujung barat Nusantara. [ ]

* Dr. Iswadi, M.Pd, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta

Back to top button