Solilokui

Penerapan PLTU Batubara Dalam Perspektif Masyarakat Kalimantan

Masyarakat setempat tentu tak tinggal diam, sehingga mereka melayangkan protes dari salah satu warga Nyoman Derman asal Desa Kertabuana, Kabupaten Kutai Kertanegara. Nyoman berhasil mencegat alat berat namun malah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara tiga bulan dengan alasan mengganggu operasional perusahaan.

Oleh  : Aqilah Andanni

JERNIH–Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia. Sejak tahun 2005, telah banyak cadangan batubara kantong kecil di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Hal tersebut membuat Indonesia semakin memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang telah ada di tanah leluhur untuk menjadikan sumber energi batubara sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selain bahan dasarnya yang melimpah, PLTU berbasis batubara ini dinilai memiliki efisiensi yang lebih baik dari segi harga. Lebih murah dan lebih cepat dalam proses dibandingkan dengan sumber energi lainnya.

Aqilah Andanni

Di balik efisiensi batubara yang digunakan sebagai bahan bakar utama terdapat proses yang dinilai kurang efektif bagi warga sekitar dan lingkungan sekitarnya, karena di PLTU batubara dibakar untuk mengambil panas dan uap, sehingga dapat mengeluarkan sisa pembakaran di udara.

Batubara dibakar untuk mengambil panas dan uapnya melepaskan sisa pembakaran di udara. Sisa pembakaran ini akan menyebar ke tumbuhan air atau masuk ke paru-paru manusia.

Secara teori semua ini sudah tersaring agar asap yang keluar tidak berbahaya, namun kenyataannya bisa berbeda dengan fakta di lapangan.

Di dalam asap PLTU terdapat polutan yang mengandung senyawa berbahaya seperti merkuri dan senyawa lain seperti arsen, timbal, PM 10, sox dan PM 2.5. Partikel-partikel ini bertahan lama di udara dan dapat terbang ratusan kilometer. Jika manusia terpapar merkuri atau pm 2.5 secara terus menerus, maka akan timbul asma, infeksi saluran pernafasan, kanker paru-paru bahkan kerusakan pada otak, ginjal dan jantung.

Jelas terlihat bahwa lingkungan udara dan permukiman kurang baik bagi warga sekitar karena adanya bahaya kandungan senyawa yang akan mengancam kesehatan masyarakat sekitar, apalagi jarak PLTU dari permukiman warga bukanlah jarak yang aman.

Hal tersebut dibuktikan dengan kasus yang terjadi pada November 2018, Desa Sangah Sangah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, mengalami lima rumah hancur, 11 lainnya rusak dan jalan utama ambruk akibat aktivitas penambangan yang terlalu dekat dengan fasilitas umum dan permukiman.

Di Kalimantan, sebagian petani di pinggiran kota Samarinda Timur sudah 20 tahun hidup bertetangga sangat dekat dengan tambang batu bara di desa ini. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah Kutai Kartanegara jarak minimal antara kegiatan pertambangan dan permukiman adalah 500 M. Namun ternyata semua peraturan tersebut tidak diterapkan.

Keberadaan PLTU berbahan bakar batubara membuat air bersih hanya tinggal sejarah. Warga mengaku hanya mengandalkan air hujan dan air dari emblem yang membawa lumpur. Sebelumnya, sebelum ada tambang batu bara, sawah tidak rusak, lingkungan asri dan aman, namun keadaan berubah drastis sejak pembangkit listri batu bara datang. Tanaman warga seperti sawah dan sebagainya terkena lumpur sehingga menghasilkan tanaman yang kualitasnya tidak sama dengan sebelumnya.

Hal ini sangat disayangkan karena pada tahun 1991 desa ini ditetapkan sebagai desa lumbung padi dengan produksi gabah sebanyak 2600 ton setiap kali panen.

Kekecewaan dan keputusasaan mulai tampak di wajah warga desa yang merasakan permasalahan yang semakin mencekik warga setempat, tidak hanya polemik tentang lingkungan dan tumbuhan. Keberadaan perusahaan batubara dan PLTU juga telah merenggut nyawa beberapa warga desa akibat reklamasi tambang batubara.

Masyarakat setempat tentu tak tinggal diam, sehingga mereka melayangkan protes dari salah satu warga Nyoman Derman asal Desa Kertabuana, Kabupaten Kutai Kertanegara. Nyoman berhasil mencegat alat berat namun malah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara tiga bulan dengan alasan mengganggu operasional perusahaan.

Ketika masyarakat berperan aktif untuk mempertahankan dan melindungi semua aset milik pemerintah, pemerintah tidak melindungi. Sebaliknya, hal tersebut tidak sesuai dengan konstitusi negara kita yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.

Permasalahan tersebut tidak hanya berakhir pada permasalahan lingkungan tetapi juga pada saat yang bersamaan merenggut nyawa banyak warga sekitar. Penggalian lubang bekas tambang batu bara mengakibatkan banyak nyawa manusia yang hilang, antara lain pada tahun 2011-2018 di Kalimantan Timur akibat lubang galian tambang itu sendiri. Setidaknya, telah merenggut nyawa sebanyak 39 orang. Dalam kurun waktu 2014-2018 secara nasional, tercatat 115 orang meninggal akibat lubang tambang.

Hal ini tidak bisa dianggap remeh menjadi masalah biasa. Semakin lama, korban akan terus bertambah akibat 3.500 bekas lubang tambang yang belum diurus dengan baik. [moderndiplomacy.eu]

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Back to top button