Solilokui

“Percikan Agama Cinta”: Al-Ghazali, Teman Ngopi dan Merindu Maha Cinta

Menyalakan pikiranku kerap sadar. Membasuh hatiku tetap basah. Memantulkan pendar di setiap titik denyutku supaya berhenti membenci. Aku mencengkam goresan-goresannya dengan cita-rasa cinta. Menemaniku kemana pun beranjak: melawan ruang kegaduhan.

JERNIH– Saudaraku,

Izinkanlah. Aku ingin bercerita. Sesosok ‘alim. Pecinta ilmu. Pendaki jalan cinta. Selalu merindu bisa menemui-Nya tatkala meraih kebahagiaan hakiki. Menikmati mujahadah tanpa rungguhan batas-batas kuasa dan banda. Di setiap detik, kubayangkan sang pecinta menggemakan takbir. Mensucikan kebesaran nama-Mu di tengah kesunyian tanpa gegak.

Deden Ridwan

Ketahuilah. Walaupun sang pecinta hidup di kurun jauh, aku merasakan getarannya sangat dekat. Seolah berbincang denganku di setiap pagi, ditemani secangkir kopi. Menyalakan pikiranku kerap sadar. Membasuh hatiku tetap basah. Memantulkan pendar di setiap titik denyutku supaya berhenti membenci. Aku mencengkam goresan-goresannya dengan cita-rasa cinta. Menemaniku kemana pun beranjak: melawan ruang kegaduhan. Percayalah, pengembaraan cintamu sungguh asyik aku simak dan teladani. Cermin diri; bahkan sekarang pun!

Dialah al-Ghazali. Ulama masyhur, sangat akrab di telinga kita. Ia dikenal sebagai orang yang semula menyangsikan segalanya. Perasaan ini timbul dalam dirinya berdasar pelajaran ilmu kalam (teologi) yang ia peroleh dari al-Juwaini, gurunya.

Setelah melalui pengembaraan mencari kebenaran, akhirnya al-Ghazali memilih jalan cinta, tapak para sufi. Engkau pilih jalan itu. Karena aku tahu, engkau begitu merindu pada zat Mahacinta. Benar, jalan mereka adalah paduan ilmu dengan cinta. Berbuah akhlak mulia: kedamaian sejati. Di mata al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan itu, sebagai hadiah dari pengenalan terhadap diri sendiri dan Tuhan.

Sadarlah. Aku bangga. Melalui renungan sufistiknya, al-Ghazali telah membuka pintu menuju Tuhan bagi orang-orang awam demi merasakan getaran cinta-Nya. Tak hanya itu, engkau pun berhasil mengembalikan Islam pada sumber fundamental dan seja-rahnya. Memberi tempat bagi kehidupan emosional-keagamaan (esoterik) berba-siskan cinta. [Deden Ridwan]

Back to top button