Percikan Agama Cinta: Beduk Kiai Hasyim, Kentongan Kiai Faqih
Sejalan dengan itu, aku jadi teringat pesan Gus Dur. Ia berujar: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak lantas berarti hilangnya sikap mengindahkan pendirian orang lain.”
JERNIH–Saudaraku,
Alkisah. Ada dua santri. Satu berasal dari Gresik. Seorang lagi dari Jombang. Santri asal Jombang keukeuh pada pendapat Hadratusyaikh Hasyim ‘Asy’ari. Di matanya, sosok guru besar Pesantren Tebuireng tempat dirinya nyantri itu, melarang kentongan dipakai untuk memanggil umat Muslim shalat.
Sebaliknya santri Gresik pun begitu kukuh. Meyakini bahwa kentongan sama dengan bedug yang lazim dipakai masyarakat sekitaran Jombang. Keyakinannya ini didasari pendapat Kiai Faqih Maskumambang, kakek buyutnya yang juga bersahabat dengan Kiai Hasyim.
Dalam pencarian jawaban itulah, akhirnya mereka disadarkan oleh sebuah kejadian yang kisahnya hingga kini diingat secara kolektif oleh masyarakat Gresik. Ya, manakala Kiai Hasyim berkunjung ke sana, Kiai Faqih Maskumambang meminta seluruh masyarakatnya agar menurunkan kentongan. Demi menghormati kedatangan guru agung sekaligus sahabat tercintanya. Hal serupa pula terjadi ketika Kiai Faqih Maskumambang mengunjungi Jombang. Asyik, bukan?
Ketahuilah. Dua santri ini pun menginsyafi kekhilafan mereka. Lantas berjanji untuk terus-menerus menyemarakkan Islam santun-inklusif ke khalayak luas atas dasar: saling meyakini dan menghargai di tengah keragaman paham.
Selamilah. Kisah kedua santri tersebut sungguh mengandung sarat makna-nilai. Mengenalkan kepada publik betapa para alim ulama terdahulu sudah sedemikian serius memikirkan soal umat: berbekal segala kapasitas keilmuannya yang bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka di ruang publik. Pasti tidak asal jeplak. Ingat, mereka sangat menjunjung tinggi nilai perdaudaraan Islam, kendati berbeda dalam wawasan-keyakinan.
Sejalan dengan itu, aku jadi teringat pesan Gus Dur. Ia berujar: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak lantas berarti hilangnya sikap mengindahkan pendirian orang lain.” Pesan cucu pendiri NU tersebut terasa menggetarkan: melukiskan sebuah sikap tanda kematangan pribadi-jiwa seorang tokoh di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Saudaraku, begitulah fatsoen dan etika dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ditunjukkan secara arif oleh para guru-bangsa. Suatu sikap yang mesti kita teladani dan lestarikan. Menjadi guidance bagi kita dalam menyelami arus gelombang kehidupan secara beradab.
Sadarlah. Keteladanan kedua ulama khos tersebut tentu amat amazing dengan situasi-kondisi kehidupan berbangsa-bernegara kini. Cerminan mereka bukan hanya penting bagi NU, tapi juga seluruh umat Islam, terutama kaum elite.
Percayalah. Kisah teladan ini bisa menjadi inspirasi menarik bagi generasi millennial. Supaya mereka paham: teruslah berpendapat asal disertai sikap mengempu pikiran-perasaan orang lain. [ ]