“Percikan Agama Cinta”: Cerita Lama Tentang Pesantren dan Celana Dalam
Ya, tentang bagaimana pentingnya menutup aib saudara sesama Muslim dan manusia. Pun perihal kesantunan seorang kiyai yang tak henti menyirami santrinya dengan cinta, kasih, dan sayang.
JERNIH– Saudaraku,
Syahdan. Paman Gus Dur, K.H. Fattah Hasyim yang mengampu Ponpes Tambak Beras, Jombang, meminta keponakannya itu untuk membantu mengurusi pondok, dengan menjadi seksi keamanan. Sesuai dengan jabatan yang diemban, alhasil terjadilah sebuah kasus menggemparkan. Tak dinyana, sejumlah santriwati kehilangan celana dalam—terutama mereka yang berparas menawan.
Demi menjaga wibawa, putra K.H. Wahid Hasyim pun beraksi. Seluruh santri dikumpulkan di masjid besar. Kamar mereka digeledah. Lalu terciduklah siapa pelaku nyeleneh itu. Setelah melalui proses persidangan khas pondok, Gus Dur memvonis terdakwa dengan mengeluarkannya dari lingkungan pesantren. Tak diperkenankan kembali lagi.
Setelah amar putusan itu disampaikan Gus Dur kepada sang paman, cerita malah lain alurnya. Kiyai Fattah menyetujui keputusan itu. Tapi meminta santri tersebut dimasukkan ke dalam rumahnya. Menempati sebuah kamar kosong. Demi mendengar itu, Gus Dur hanya bisa menggaruk kepala.
“Lha kan sudah sesuai tho dengan rekomendasimu. Santri itu dikirim orang tuanya ke sini untuk sinau, belajar mendalami Islam. Mosok mau dipulangkan begitu saja,” seloroh Kiyai Fattah sambil tersenyum.
Seturut waktu berjalan, santri mbeling itu pun melakoni kebiasaan baru. Lantaran tinggal di rumah kiyai, ia harus bangun pagi lebih awal. Menyiapkan kitab untuk didaras di majelis. Mengurusi perlengkapan shalat. Menerima tamu. Hingga menata sandal Kiyai Fattah.
Sekian tahun berlalu. Santri yang ketiban berkah gurunya ini pun menjelma jadi kiyai dengan santri ribuan—di kampungnya. Takdir mempertemukan kembali ia dengan Gus Dur, yang telah menduduki kursi Ketum PBNU.
Dalam sebuah perhelatan akbar. Gus Dur membabar kisah tersebut di hadapan jamaah bejibun. Tanpa menyebutkan nama. Jadilah malam itu banjir tawa-meriah. Padahal sosok yang sedang diceritakan, sedang duduk di belakang Gus Dur, bersama para kiyai sepuh.
Usai menyampaikan tausiyah, Gus Dur berbisik pada sohibul hikayat, “Selain ngaji dengan tertib selayaknya orang nyantri, ternyata ada jalan lain untuk jadi kiyai…” Keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal.
Ketahuilah. Kisah ini menyuguhkan pelajaran berharga bagi kita. Ya, tentang bagaimana pentingnya menutup aib saudara sesama Muslim dan manusia. Pun perihal kesantunan seorang kiyai yang tak henti menyirami santrinya dengan cinta, kasih, dan sayang. Belajar agama di pesantren, ternyata tak melulu menyoal salah-benar, dosa-pahala, atau surga-neraka. Tapi bercermin pula tentang cara seorang santri tumbuh di bawah asuhan guru yang tahu betul harus memberi apa kepada para santrinya.
Di sinilah benang merah Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw: akhlak terpuji. Semoga kita bisa meneladani. [Deden Ridwan]