“Percikan Agama Cinta” : Delusi Rasa Persatuan
Kenapa kita jadi begitu mudah menyalahkan pihak lain, dan lupa mengoreksi kesalahan diri sendiri. Bukan tak mungkin. Kondisi kita yang sekarang ini terjadi. Lantaran kita terlalu bergantung pada sesuatu yang semu. Pada kepalsuan yang berkedok kebenaran. Pada harapan palsu yang digantang asap. Kita menyerahkan nasib diri sendiri, pada tangan-tangan yang tak bertanggungjawab. Tangan-tangan kotor dan busuk
JERNIH– Saudaraku,
Di suatu pagi. Sehabis shalat subuh. Tiba-tiba aku termenung sejenak. Teringat perjalanan bangsa sampai detik ini. Lamunanku diam-diam tertuju pada satu titik: apa yang memaksa Bung Hatta turun gelanggang berjuang bersama Bung Karno ketika mulai melawan kolonial di Bandung?
Padahal saat itu Bung Hatta sedang berada di Eropa, dan hidup serba berkecukupan sebagai anak rantau. Jawabanku: hati nurani beliau terpanggil oleh rasa senasib sepenanggungan. Rasa sebangsa tanah dan air yang sama. Rasa kemanusiaan dan keadilan yang bergelora di dada. Rasa rindu Indonesia yang menyatu dalam gerak. Ya, semua karena dorongan cinta yang sangat dahsyat. Tak terbendung.
Kini 75 tahun. Kita sudah merdeka. Ke mana spirit itu berlabuh? Kenapa kita jadi begitu mudah menyalahkan pihak lain, dan lupa mengoreksi kesalahan diri sendiri. Bukan tak mungkin. Kondisi kita yang sekarang ini terjadi. Lantaran kita terlalu bergantung pada sesuatu yang semu. Pada kepalsuan yang berkedok kebenaran. Pada harapan palsu yang digantang asap. Kita menyerahkan nasib diri sendiri, pada tangan-tangan yang tak bertanggungjawab. Tangan-tangan kotor dan busuk.
Ingatlah saudara, “Sungguh Allah takkan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah dirinya sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13] : 11).
Maka, mari kita membangun jalan menuju kebahagiaan itu. Demi mencapai kebangkitan negeri ini yang sekian lama masih tertidur pulas dalam lubang keterpurukan. Menengkar keangkuhan dan kebodohan diri-sendiri. Menongkah keyakinan nilai-nilai sendiri sebagai bangsa religius. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau mengurus dan mengembalikan kodrat negeri ini kembali ke jalan bijak? [Deden Ridwan]