“Percikan Agama Cinta”: Membangun Literasi Islam Cinta
Abah juga pernah menjadi “asisten intelektual” Pangersa Abah Anom, Suryalaya. Kitab Miftah al-Shudur, salah satu karya penting Abah Anom, ditulis dengan metode dikte: Abah Anom bicara, Abah Zainal menuliskannya. Kemudian setelah itu, terjadi diskusi intensif di antara mereka, sampai akhirnya kitab tersebut sepakat untuk dicetak dan disebarluaskan.
JERNIH–Saudaraku,
Sering muncul pertanyaan: mengapa aku begitu gencar, antusias, dan bergairah untuk terus mengkampanyekan kesadaran literasi, terutama terkait percikan agama cinta, di ruang publik? Pun kenapa aku terlibat total sebagai pegiat konten: dari seorang penulis, pekerja buku, hingga produser?
Aku merasa kiprahku di dunia literasi belum seberapa dibandingkan teman-teman lain. Aku hanya sepotong debu. Apa yang kulakukan itu, ibarat membuang garam ke lautan. Meskipun tak berpengaruh sama-sekali karena air laut sudah asin, aku ingin memaknai tindakan itu sebagai sebentuk partisipasi.
Jujur. Aku merasa gerah. Pikiranku berontak. Batinku bergejolak. Melihat ujaran-ujaran kebencian atasnama agama merajela di ranah media sosial. Cara saudara-saudaraku dalam bermedia-sosial di era kebohongan (post-truth) ini masih jauh dari keadaban: mudah memposting, me-like, dan men-share segala jenis pesan media sosial tanpa proses klarifikasi (tabayyun). Mereka melakukan sharing tanpa saring. Ya, peradaban Medsos kita masih rendah. Karena cara kita bermedsos tidak berangkat dari budaya literasi yang kokoh. Ini titik masalah serius.
Izinkanlah. Aku sedikit bercerita. Dengan niat sekadar berbagi. Tentang kepeduliannku pada dunia literasi. Bagiku, industri konten itu bukan semata peristiwa ekonomi, tapi juga peristiwa budaya. Sebagai pegiat konten, aku harus terus berusaha membaca tren zaman. Belanja ide atau gagasan. Mengembangkan antusiasme dan kemerdekaan pikiran. Hanya dengan cara inilah aktivitasku akan bertahan dan tumbuh berkembang. Aku meyakini bahwa, “kreativitas itu tak pernah mati ditelan waktu.”
Jika ditarik benang merah, kesadaran literasi dalam diriku sudah tumbuh sejak masih kecil. Karena sering kali menyaksikan abahku, Almagfurllah, Allahu yarhamhu, K.H. Ahmad Zainal Abidin, mendaras kitab kuning seorang diri (mutholaah) dengan suara keras. Baik itu di masjid, madrasah, rumah, semua yang dibincangkan adalah hikmah yang terkandung dalam kitab kuning: kebajikan-kebajian hidup, menyantuni perbedaan, menghargai kemanusiaan, mencintai ilmu. Sedari kisah-kisah kocak lagi konyol yang mengandung kebijaksaan, pun yang memeram keindahan ilmu sejati.
Abah Zainal juga punya kebiasaan menukil sebuah kitab, mensyarah (mengomentari), dan bahkan menerjemahkannya dalam bahasa Sunda, kemudian dicetak/diterbitkan dan dijual secara mandiri ke para santri dan masyarakat luas. Inilah benih DNA (Asam Deoksiribonukleat) yang terwaris dalam diriku terkait industri perbukuan dan segala turunannya.
Abah juga pernah menjadi “asisten intelektual” Pangersa Abah Anom, Suryalaya. Kitab Miftah al-Shudur, salah satu karya penting Abah Anom, ditulis dengan metode dikte: Abah Anom bicara, Abah Zainal menuliskannya. Kemudian setelah itu, terjadi diskusi intensif di antara mereka, sampai akhirnya kitab tersebut sepakat untuk dicetak dan disebarluaskan.
Riwayat tersebut pun selaras belaka dengan dinamika pekerjaanku yang lebih banyak menjadi konsultan atau mitra kreatif-intelektual banyak tokoh nasional dalam menghasilkan karya. Di ranah inilah orang acap mentahbisku sebagai Maecenas Gagasan. Walaupun aku merasa itu berlebihan.
Dengan cerita itu, aku hanya ingin menegaskan bahwa kesadaran literasi keagamaan tidak lahir secara tiba-tiba. Tapi, ia harus terus-menerus diperjuangkan tanpa henti dengan memanfaatkan pelbagai bentuk platform media lewat sebuah gerakan sosial-budaya. Publikasi karya-karya klasik maupun kontemporer, terjemahan atau lokal, terkait literatur Islam cinta harus terus digalakkan. Disebarluaskan secara massif. Dikemas secara chic dan popular hingga mudah dicerna publik. Ruang media sosial pun mesti dibanjiri dan dikepung sajian-sajian bergizi beraura cinta. [Deden Ridwan]