“Percikan Agama Cinta”: Merenung-ulang Politisasi Agama
Renungkanlah. Agama tetap diperlukan. Karena keyakinan dan dimensi spiritualitas sungguh melekat erat dengan kehadiran manusia. Agama mesti menjawab kebutuhan fundamental itu. Banyak terjadi di beberapa negara lain, agama yang tidak menjanjikan kecukupan pemenuhan dimensi spritualitas pemeluknya, membusuk digilas waktu.
JERNIH–Saudaraku,
Akhir-akhir ini, pemanfaatan agama untuk tujuan-tujuan politik praktis begitu menguat. Terjadi pada pelbagai level kehidupan secara massif.
Sejarah mencatat. Politisasi agama banyak meninggalkan jejak busuk. Mencederai nilai-nilai luhur agama sendiri: kemanusiaan-keadilan.
Penguasa serakah-licik. Memperalat agama demi mengamankan kekuasaan. Di bawah topeng agama, mereka bisa bertindak sewenang-sewenang atas nama kebenaran langit.
Masyarakat dunia kini menonton kebangkitan kaum konservatif. Sekadar contoh. Tengoklah di India. Bharatiya Janata berkuasa dengan menggunakan sentimen agama. Pun di dunia Arab, Eropa atau Amerika. Politisasi agama semakin menggila, termasuk di negeri kita.
Ketahuilah. Politisasi agama itu bisa mensubordinasi ilmu pengetahuan. Apalagi manipulasi agama terhadap ilmu pengetahuan modern konon sudah masuk dalam arena pendidikan formal. Melalui kurikulum. Disahkan penguasa. Keadaan ini, selama tidak menihilkan logika ilmu pengetahuan, tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Masalah baru muncul tatkala dominasi agama terhadap ilmu pengetahuan menghentikan daya pikir-nalar. Persyaratan cara kerja ilmu pengetahuan diabaikan. Celakanya, aku lihat. Akal-pikiran dikebiri secara telanjang di ruang publik. Menyedihkan.
Sadarlah. Ilmu pengetahuan menjadi penopang utama seluruh sendi kehidupan. Sebagai contoh mutakhir, ketika berlangsung pandemi Covid-19. Hampir seluruh belahan bumi manusia terjangkiti virus mematikan ini. Manusia berharap-harap cemas. Menunggu ditemukannya vaksin anti virus oleh para ahli ilmu pengetahuan sesuai bidangnya. Ya, inilah sandaran sekaligus harapan umat manusia kiwari.
Dengan begitu, aku yakin. Di masa depan, ketergantungan manusia terhadap ilmu pengetahuan pasti akan semakin besar. Ada keterbatasan ruang dan sumber-sumber kehidupan di planet bumi. Pun penambahan jumlah manusia. Keduanya, mengandaikan diperlukannya rekayasa-rekayasa tertentu dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Benar, rekayasa terhadap berbagai dimensi kehidupan itu membutuhkan ilmu pengetahuan.
Renungkanlah. Agama tetap diperlukan. Karena keyakinan dan dimensi spiritualitas sungguh melekat erat dengan kehadiran manusia. Agama mesti menjawab kebutuhan fundamental itu. Banyak terjadi di beberapa negara lain, agama yang tidak menjanjikan kecukupan pemenuhan dimensi spritualitas pemeluknya, membusuk digilas waktu.
Camkanlah. Dalam sejarah agama-agama besar yang pernah ada di muka bumi, hilangnya sebuah agama, akibat daya magis dari agama itu sendiri tidak menjanjikan penganutnya untuk tetap patuh dan taat.
Saudaraku, agama memang kerap punya seribu nyawa. Cuma, ingatlah. Agama yang hanya berisi janji-janji dan tidak mampu menghadirkan kekaguman imajinatif manusia akan kekuatan di luar dirinya, dan tidak sanggup memaknai dunia secara sejati, akan segera menjadi masa lalu. Maka, stop politisasi agama. Kembalikan agama pada jati dirinya sebagai kekuatan spiritual demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. [Deden Ridwan]