“Percikan Agama Cinta” : Selamilah Lautan Hikmah di Balik Bahasa Simbolis-Metaforis
Cuma, beragama bukan sekadar takut neraka, lalu berharap surga. Bukan. Terlalu sumir. Apalagi neraka-surga itu juga makhluk, sama-sama ciptaan Tuhan. Bayangkan, jika kita beribadah karena takut dan berharap makhluk, apa jadinya orientasi-hidup kita?
JERNIH– Saudaraku,
“Ah, itu salah paham”, jawabku singkat.
Mereka hanya melihat aspek permukaan dalam menilai ragam ekspresi keagamaan. Terlalu “fiqih-syariah minded”, kata orang kampus. Padahal nilai-nilai keagamaan itu banyak disampaikan dengan menggunakan bahasa simbolis-metaforis. Tak mungkin bisa ditangkap pesan-pesan itu kalau kita hanya bergerak di lapis rataan.
Ketahuilah. Neraka-surga pasti ada. Haqqul yakin. Tak perlu diperdebatkan. Cuma, beragama bukan sekadar takut neraka, lalu berharap surga. Bukan. Terlalu sumir. Apalagi neraka-surga itu juga makhluk, sama-sama ciptaan Tuhan. Bayangkan, jika kita beribadah karena takut dan berharap makhluk, apa jadinya orientasi-hidup kita? Benar, tak ada lorong ketakutan dalam perjalanan menuju Tuhan. Yang ada hanya satu: jalan cinta.
Demi melanjutkan penjelajahan. Jalan cinta mengisyaratkan: ada baiknya kita menyebrang (i’tibar). Merasakan derasnya arus sungai. Sesekali kita berenang. Menaklukan ganasnya ombak. Namun terpenting, kita mesti menyelam. Menusuk dasar samudra. Menerabas nilai-nilai terdalam, di balik simbolis-metaforis surga-neraka.
Percayalah! Ada lautan hikmah di balik ungkapan surga-neraka. Kalau sanggup menangkap nilai-nilai di balik linguistik kata-kata surga-neraka itu, kita semakin asyiik-masyuk nan syahdu sama Sang Mahacinta. Kerinduan akan cahaya-Nya berjebah. Mengalir deras. Setiap jejak pengembaraan menjadi lebih bermakna, meskipun belum sampai titik puncak: bertemu dengan-Nya. Cakrawala beragama pun meluas. Menerobos batas semesta. Keluar dari kesempitan dan keangkuhan. Klaim merasa paling berhak masuk surga-neraka pun tiba-tiba rontok ditelan cinta.
“Ah, jalan cinta memang asyik”, kataku di pagi hari sambil memberi makan ikan di kolam dalam rumah.
Maka, aku selalu berdoa. Tuhan lukislah hati kami dengan damai dan kasih-Mu agar tercipta surga di jiwa. Jika hati kita bersih, bersihlah pikiran kita. Jika pikiran kita suci, beninglah pula perkataan dan perbuatan kita.
Aku ingin meruntuhkan tembok. Karena tembok itu membuat pikiran dan tindakanku sempit; berlawanan dengan jalan cinta. Sebaliknya, aku ingin membangun jembatan. Menghubungkan dua entitas yang saling bertikai. Merayakan kedamaian hidup. Tak ada lagi permusuhan. Semua karena cinta-Mu. [Deden Ridwan]