“Percikan Agama Cinta”: Sesosok Inspiratif Bernama Komaruddin
Buku itu bukan sekadar bestseller abadi, tapi juga mengubah cara berpikir orang tentang kematian. Mengubah ketakutan menjadi kebahagiaan. Tersenyum. Kematian tak lagi angker. Tapi justru menyenangkan: pulang ke kampung ilahi menemui Sang Mahacinta
JERNIH–Saudaraku,
Aku pertama kali mengenal sosok flamboyan itu, waktu masih siswa Aliyah. Aku tinggal di Sanggar Ayu, Jl. Semanggi II, Ciputat, Tangerang Selatan. Menempati sebuah rumah petakan sempit, numpang kakak.
Di rumah petakan itu, hampir seluruh ruangannya disesaki buku. Pun majalah dan jurnal pavorit saat itu. Ya, Panjimas, Tempo, Ulumul Qur’an dan Prisma. Betebaran di setiap ruangan. Dari depan hingga dapur. Menempel di tembok. Berdiri di sudut. Menempati rak beralas kayu dan rotan. Bagai karnaval. Sungguh buku, majalah, dan jurnal itu tertata rapi, tertib, indah.
Tak ayal, rumah petakan itu kaya dengan bacaan bergizi. Memberikan kode, pustaka itu siap disantap kapan pun. Bebas. Demi menyehatkan ruhani. Maka, meski terasa sempit, ia terasa laksana surga. Benar, minat bacaku seketika tumbuh. Membuncah. Membentuk tradisi intelektualku. Bersentuhan dengan cakrawala pemikiran modern. Mengasyikkan.
Suatu ketika, aku membaca Panjimas. Lupa nomor edisinya. Tapi tahunnya masih ingat betul. Yakni: 1990. Di halaman jelang akhir, aku tergoda oleh sebuah rubrik bertajuk: Catatan dari Turki. Sepertinya itu rubrik tetap. Judul tulisan edisi itu: “Alienasi“. Penulis-nya Komaruddin Hidayat. Sebelum baca tulisannya, aku malah “tergoda” lihat fotonya: berambut belah dua. Berkacamata. Tebal. Khas zaman itu. Kesanku, cukup flamboyan.
Tatkala baca tulisannya, aku terpesona. Bahasanya mengalir deras, bak pendongeng. Renyah. Reflektif. Imajinatif. Diksinya terpilih. Asyik-masyuk. Mudah dicerna anak ingusan seusiaku. Meskipun tema tulisannya cukup berat. Menjelaskan tentang nestapa manusia modern. Katanya, manusia modern itu teralienasi dari tiga hal: diri, lingkungan, dan agama. Tiga faktor inilah yang menyebabkan malapetaka manusia modern. Cikal-bakal krisis epistemologis peradaban Barat. Maka, konsep manusia modern, harus ditafsirkan ulang. Keren.
Tulisan Panjimas itu sungguh membekas di pikiranku. Membuka lebar-lebar bumantaraku. Mendorongku menjelajah dunia modern. Minat bacaku jadi tambah menggebu-gebu. Aku jadi suka filsafat, tasawuf, sosiologi modern Barat, dan tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer. Tentu sebatas pemahamanku selaku anak Aliyah; anak kampung, alumnus pesantren tradisional.
Rasa ingin tahu siapa sosok penulis itu makin menguat. Beruntung, kakaku bisa menjawab dahaga itu. Setelah tahu sosok Komaruddin Hidayat itu, berkat diskusi dengan kakakku, aku makin kagum. Dia sosok santri. Tamatan Pesantren Pabelan. Aktivis HMI. Wartawan. Alumnus IAIN Ciputat, Fakultas Ushuluddin, Perbandingan Agama. Menempuh progam doktor filsafat di Turki. Segudang cerita itu membuatku merenung. Sosoknya membekas di hati. Menginspirasi hidupku. Ternyata, seorang santri bisa terbuka, berpikiran modern, dan sanggup “menaklukan” dunia. Dahsyat.
Jujur berkat tulisan Komaruddin Hidayat (kini aku memanggilnya Mas Komar) itu, aku jadi tertarik masuk IAIN. Aku bangga jadi muridnya. Bahkan, Mas Komar adalah pembimbing skripsiku. Ketika skripsiku memenangkan beasiswa riset dari Harian Umum Kompas pada 1995, setelah melewati seleksi ketat dan berlapis, Mas Komar adalah orang pertama yang mengucapkan selamat. Aku jadi terharu. Mungkin itu bisa menang karena berkat rekomendasi Mas Komar pula.
Ketika aku “terjerumus” di dunia industri buku, aku juga bangga bisa ikut terlibat mengarsiteki dan mengemas kelahiran buku-buku Mas Komar, terutama yang sangat fenomenal: “Psikologi Kematian”. Buku itu bukan sekadar bestseller abadi, tapi juga mengubah cara berpikir orang tentang kematian. Mengubah ketakutan menjadi kebahagiaan. Tersenyum. Kematian tak lagi angker. Tapi justru menyenangkan: pulang ke kampung ilahi menemui Sang Mahacinta.
Membaca seluruh karya-karya Mas Komar sungguh menyenangkan sekaligus mencerahkan, baik secara intelektual maupun spiritual. Aku juga makin trenyuh, tatkala tahu royalti hasil penjualan buku-bukunya itu disumbagkan untuk beasiswa sekolah anak-anak miskin. Mas Komar tak hanya mampu menaklukan dunia dengan berhasil singgah di 67 negara, tapi sanggup melayani dunia: memuliakan sesama manusia.
Terima kasih Mas Komar sudah menginspirasiku. Mungkin bukan hanya aku yang terinspirasi, tapi juga anak-anak santri di pelosok ufuk negeri. Selamat ulang tahun!
[Deden Ridwan]