Solilokui

“Percikan Agama Cinta”: Spirit Hijrah untuk Terus Bergerak Menuju Hakikat Kebenaran

Dalam suasana hidup serba susah lagi menyulitkan begitu, mereka senantiasa tabah, antusias, bergairah, dan optimistik. Ikhtiar dengan menggunakan potensi akal-hati. Tawakal menjalani ketentuan Allah dengan selalu bersyukur.

JERNIH–Saudaraku,

Aku melihat. Fenomena hijrah kini begitu membuncah. Dirayakan di mana-mana: masjid megah, rumah mewah, hotel  berbintang, mall besar. Bahkan, di sudut-sudut kota belahan negeri, pengajian-pengajian eksekutif mengupas hijrah ramai dipadati para pengunjung, baik kaum hawa maupun adam.

Deden Ridwan

Aku menyaksikan. Kedai-kedai busana muslim, resto-resto berlabel halal, dan hal-hal bernuansa “syariah”, kian menjamur. Dikunjungi perempuan-perempuan berhijab panjang. Laki-laki pakai koko, berjenggot, bercelana cingkrang, lengkap peci bulat di kepala. Sungguh, menjadi ladang bisnis-positif yang menjanjikan.

Ketahuilah. Aku sama sekali tak alergi dengan simbol-simbol keagamaan itu. Aku malah berpikir positif. Karena kerinduanmu pada nilai-nilai simbolik itu, aku maknai sebagai langkah awal menuju hidup lebih Islami sesuai petunjuk al-Quran dan sunnah. Di situ, ada ghiroh keislaman. Menyelimuti dirimu.

Cuma, ingatlah. Engkau mesti sadar. Perjalanan itu belum selesai, bahkan baru mulai. Karena semangat beragama itu tak cukup hanya berhenti di permukaan, di atas simbol-simbol. Dengan spirit hijrah, engkau terus dituntut untuk bergerak dan menyebrang, melampaui batas-batas simbolik keagamaan: menemukan hakikat kebenaran. Ya, engkau mesti memaknai hijrah sebagai sebuah perjalanan hidup menuju penghayatan Islam yang lebih substantif.

Percayalah. Jika merunut tradisi hijrah para Nabi-Rasul Allah, maka teranglah sebuah keniscayaan betapa selain menghijrahkan diri secara fisik, para manusia pilihan itu sejatinya  sedang bergelut dengan wilayah kejiwaan mereka. Perjalanan sebuah hijrah beranjak dari fisik ke hati; dari tataran simbolik ke substantif. Batini-ruhani, yang berhulu pada kedalaman dan kejernihan hati.

Renungkanlah. Hijrah hati adalah proses peralihan diri, tidak lagi sebatas fisik saja. Namun sudah berada pada tataran lebih tinggi demi mewujudkan risalah Islam: memuliakan sesama manusia.

Pada fase ini, engkau sudah masuk tahapan agar berusaha istiqamah memantapkan hati berada di jalan-Nya. Inilah inti sebenarnya proses berhijrah. Karena tidak sedikit orang yang telah berhijrah secara fisik, namun lupa menata hati demi terus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Mahacinta.

Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. at-Taubah [9]: 117)

Simaklah. Merujuk pada ayat tersebut, engkau bisa menelaah bagaimana Allah menilai manusia. Golongan Muhajirin terusir dari Makkah. Anshar menerima hijrah fisik Rasulullah di Madinah. Keduanya kerap kali menghadapi tekanan hebat dari kafir Quraisy dan sekelompok orang Yahudi fanatik. Dalam suasana hidup serba susah lagi menyulitkan begitu, mereka senantiasa tabah, antusias, bergairah, dan optimistik. Ikhtiar dengan menggunakan potensi akal-hati. Tawakal menjalani ketentuan Allah dengan selalu bersyukur.

Camkanlah. Generasi Muslim awal inilah teladan terbaik engkau dalam berhijrah. Mereka mengukir hatinya dengan kedamaian. Sebisa mungkin meniru akhlak mulia Rasulullah Saw. yang lemah lembut. Kehadiran baginda Nabi Saw. yang merupakan rahmat bagi semesta, terejawantah dengan saling memuliakan sesama manusia. Tak ada yang membedakan Muhajirin-Anshar, kecuali iman dan ketakwaan mereka kepada Allah.

Ya, “sebaik-baik manusia, adalah ia yang bermanfaat bagi diri dan orang lain,” begitu kira-kira pesan Rasulullah Saw dalam sebuah hadits. Puncak hijrahmu hadir ketika engkau mampu mencintai sesama manusia tanpa batas. [Deden Ridwan]

Back to top button