Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak dapat mendekati perwujudan “negara persatuan” (negara yang bisa mengatasi paham perseorangan dan golongan) serta “negara keadilan” yang dapat mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, persatuan tidak bisa dipertukarkan dengan keadilan. Kita tidak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan. Keduanya ibarat sepasang sayap yang harus bergerak serempak.
Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan.
Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu.
Setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintahan yang menjalankan kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan).
Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai-nilai keadilan.
Dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa perwujudan negara yang dikehendaki ialah negara–begitu bunyinya–yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak dapat mendekati perwujudan “negara persatuan” (negara yang bisa mengatasi paham perseorangan dan golongan) serta “negara keadilan” yang dapat mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Maka, setiap kali konflik sosial meruncing, setiap kali itu juga kita diingatkan untuk merestorasi retakan-retakan pada sepasang sayap keindonesiaan: persatuan dan keadilan. [ ]