Pilkada, Covid-19 dan Statistik Ala Stalinis
Kita semua di negeri yang sering mencitrakan diri penuh kemanusiaan dan ramah tamah ini, tak bisa dibilang peduli pada kematian sesama warga negara, para tetangga kita. Dia mengajukan bukti sederhana. Di tengah berkecamuknya wabah Covid-19 yang mematikan, kita seperti santai berencana meneruskan Pilkada.
Oleh : Atal S. Depari*
JERNIH– Jujur saja, saya merasa terdesak dan sukar mengelak ketika seorang teman melontarkan sebuah humor hitam di bawah ini. Menurut dia, di Indonesia saat ini, bekas pemimpin Sovyet Joseph Stalin masih sering diibaratkan monster sebagaimana komunisme yang dia pegang dan hidup-hidupi. “Tapi secara tak sadar, kita perlahan kian menjadi laiknya seorang Stalinis,” kata dia.
Lho, serem sekali? Stalin, teman saya itu mengingatkan, adalah orang yang terkenal dengan pernyataannya. “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang hanyalah statistik.”
Kita semua di negeri yang sering mencitrakan diri penuh kemanusiaan dan ramah tamah ini, tak bisa dibilang peduli pada kematian sesama warga negara, para tetangga kita. Dia mengajukan bukti sederhana. Di tengah berkecamuknya wabah Covid-19 yang mematikan, kita seperti santai berencana meneruskan Pilkada. Padahal, kata dia, kerumunan masih terjadi di mana-mana. Orang tak risau keluar rumah dan saling berkunjung tanpa masker.
Di Tegal, seorang kepala Sektor Kepolisian (Polsek) tidak mengambil tindakan apa pun pada para elit daerahnya yang menggelar joged dangdut ria di tengah maraknya pandemi. Syukurlah, polisi kurang bertanggung jawab itu akhirnya dicopot dari jabatannya sebelum lebih banyak lagi membiarkan ketidakpatutan merajalela. Dia bersalah tak melakukan apa-apa di kala dirinya mampu mencegah kerusakan. Dalam istilah hukum, dia guilty by omission.
Kita sadar dan kadang hanya mampu mengelus dada melihat rendahnya kedisiplinan masyarakat. Sekian banyak razia dilakukan di berbagai daerah, hanya untuk ‘memaksa’ masyarakat mengenakan masker yang tak lain demi melindungi jiwanya sendiri. Tetap saja dengan gampang dilihat, setelah lebih dari setengah tahun berjalan, memakai masker belum juga menjadi kebiasaan.
Orang seakan lebih memilih sanksi push-up di depan umum karena tak memakai masker dibanding menjadikannnya kebiasaan baik. Mungkin, seharusnya sanksi tak berupa push-up yang justru menyehatkan badan. Tapi, sanksi uang berbilang jutaan rupiah baru aturan tampaknya akan tegak berwibawa.
Dengan kondis seperti itu, wajar bila seiring dengan meningkatnya jumlah pemeriksaan dan tes Covid-19, yang kita temukan justru pemecahan rekor-rekor baru yang terinfeksi, dari hari ke hari. Lihatlah pada Sabtu,19 September 2012, Satgas Covid-19 merilis angka baru yang terinfeksi Covid-19. Dan, angka itu merupakan rekor baru dengan 4.168 orang terinfeksi.
Namun pada Senin, 21 September, hanya terpaut sehari, ada penambahan baru dengan total sebanyak 4.176 orang. Rekor itu pun ternyata hanya bertahan dua hari. Pada 23 September angka terinfeksi harian menjadi 4.465, rekor baru kasus harian Covid-19 di Indonesia. Astaghfirullah, pada 25 September yang membuat kita semua mengelus dada adalah kasus harian Covid-19 sudah tembus 4.823 orang alias nyaris 5.000 per hari.
Lalu di tengah masih semrawutnya penanganan, masih seenaknya para warga, belum disiplinnya orang-orang, dan angka-angka kematian maupun infeksi justru kian menjadi, tiba-tiba kita mendengar pengumuman seolah-olah Pilkada bisa menjadi solusi.
Kita semua pasti paham bagaimana selama Pilkada dijalankan. Kampanye yang riuh rendah dan berdesakan dalam kerumunan, juga joged ria yang lebih menarik minat publik pemilih dibanding pidato seteaterikal apa pun dari calon pemimpin, pawai keliling kota yang tak jarang meminta korban jiwa, dan silakan genapi daftarnya.
Beredarlah kemudian aneka meme, dari yang lucu hingga tajam dan nyinyir, termasuk yang menyoal langsung keputusan meneruskan pelaksanaan Pilkada itu dengan pencalonan putra dan menantu Presiden.
Sementara, cakupan Pilkada, Desember nanti, begitu luas. Kampanyenya yang dimulai 26 September akan berlangsung selama 71 hari hingga 5 Desember. Semua itu melibatkan 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di seluruh Tanah Air.
Maka, tak berlebihan bila ada sementara orang menggeleng-gelengkan kepala. Bagi kelompok ini, Pilkada dengan rangkaian kegiatan di dalamnya dan cakupannya yang luas itu nyaris sama dan sebangun dengan membiarkan paparan Covid-19 menyebar begitu rupa.
Mari kita cermati hujjah pemerintah dan mendengar mengapa pilihan mereka adalah berlanjutnya proses Pilkada bersama. Menurut pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD, Pilkada serentak itu, pertama, untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih.
Alasan kedua, kata dia, jika Pilkada ditunda misalnya sampai selesainya bencana Covis-19, maka itu tidak memberi kepastian karena tidak ada satu pun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan Covid-19 berakhir. Mahfud mencontohkan, negara-negara yang kasus coronanya–menurut dia–lebih buruk pun, Pemilu tidak ditunda. Misalnya di Amerika, Singapura, dan Malaysia.
Alasan ketiga, Jokowi tak ingin 270 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) dalam waktu yang bersamaan, sementara Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan yang strategis.
Alasan terakhir, kata Mahfud, Pilkada 2020 sebenarnya sudah ditunda dari September ke Desember. Oleh sebab itu, sebenarnya penundaan sudah pernah dilakukan untuk menjawab desakan masyarakat. Mahfud mengatakan, yang perlu dilakukan bukan lagi menunda tapi bagaimana mencegah penularan Corona-19.
Hal yang hampir sama dikatakan Mendagri Tito Karnavian. Tito mengingatkan, tidak boleh ada kerumunan, kampanye dalam bentuk konser, perlombaan, dan kegiatan apapun yang mengumpulkan massa.
Apa lacur? Di awal kampanye pun fakta di lapangan sudah membuat Satgas Penanganan Covid-19 cemas dan gemas. Mereka mengaku masih menemukan ada pasangan calon kepala daerah yang menggelar kampanye dan menimbulkan kerumunan.
Tak hanya itu, dari pemberitaan kita tahu sekian banyak anggota KPU dan KPUD positif terpapar Covid. Artinya, kita boleh-boleh saja menyusun rencana, aturan, dan tata cara, namun untuk kasus Indonesia, jangan terlalu berbesar hati akan bisa berjalan mulus sesuai cetak biru itu semua.
Barangkali, ada baiknya jika kita mengembalikan terma demokrasi tidak hanya pada arti, melainkan pada kesejatiannya. Demokrasi tentu saja bukan hanya urusan pelibatan sebanyak mungkin masyarakat untuk mengurus kepentingan mereka sendiri. Secara prinsip, Demokrasi juga meniscayakan akal sehat dan rasionalitas.
Maka, bicara demokrasi sejatinya bukan hanya urusan jumlah pemilih dan seterusnya, melainkan adakah hal itu dilakukan dengan pertimbangan rasional?
Benar kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, saat menilai bahwa Indonesia masih berada dalam masa darurat pandemi. “Setelah satu semester ditetapkan sebagai bencana nasional pun, jumlah mereka yang wafat, dirawat, dan isolasi masih sangat tinggi,” kata Abdul Mu’ti.
Atau kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) harus menjadi prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah.
Akal sehat mengatakan, hidup dan kehidupan manusia tentu jauh di atas acara Pilkada. Maka, rasa kemanusiaan kitalah akhirnya yang menjadikan kematian sesame sebagai bencana atau hanya sekadar angka statistik semata. [ ]
*Ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)