
Penggagas utama teori hedging dalam konteks ini, Cheng-Chwee Kuik dari Universitas Nasional Malaysia, menjelaskan bahwa “weaker states hedge by pursuing opposite measures vis-à-vis competing powers to have a fallback position,” yang memungkinkan fleksibilitas tanpa alienasi. Pendekatan ini, yang telah menjadi grand theory bagi ASEAN sejak era pasca-Perang Dingin, terbukti relevan dalam menghadapi seruan Xi Jinping pada 2025 untuk mitra Asia melawan tarif Trump, di mana ASEAN memilih sikap lunak dan diplomatis untuk memprioritaskan pragmatisme ekonomi dan stabilitas politik, menghindari jebakan rivalitas AS–RRC.
Oleh : Saleh Hidayat*
JERNIH– Dalam dinamika politik internasional kontemporer, rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRC) muncul sebagai salah satu pendorong utama ketidakpastian geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. AS berperan sebagai aktor dominan (the most powerful actor) yang memaksakan norma-norma liberal-demokratis melalui aliansi militer dan inisiatif ekonomi. Sementara RRC menantangnya dengan model otoriter-revisionis melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Rivalitas ini tidak hanya mencakup persaingan ekonomi seperti tarif proteksionis Donald Trump yang mencapai 10–40 persen terhadap ekspor ASEAN pada 2025 tetapi juga dimensi ideologis. AS mendorong norma demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), sementara RRC mempromosikan konsep “Tianxia” yang menekankan harmoni hierarkis dan non-intervensi. Bagi negara-negara Asia Tenggara, yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), tantangan ini memunculkan kebutuhan untuk strategi adaptif yang menghindari polarisasi, sebagaimana diilustrasikan oleh pendekatan hedging, sebuah konsep yang didefinisikan sebagai perilaku mencari asuransi di tengah ketidakpastian tinggi, di mana aktor lemah menjaga keseimbangan antara kekuatan saingan tanpa komitmen penuh.
Penggagas utama teori hedging dalam konteks ini, Cheng-Chwee Kuik dari Universitas Nasional Malaysia, menjelaskan bahwa “weaker states hedge by pursuing opposite measures vis-à-vis competing powers to have a fallback position,” yang memungkinkan fleksibilitas tanpa alienasi. Pendekatan ini, yang telah menjadi grand theory bagi ASEAN sejak era pasca-Perang Dingin, terbukti relevan dalam menghadapi seruan Xi Jinping pada 2025 untuk mitra Asia melawan tarif Trump, di mana ASEAN memilih sikap lunak dan diplomatis untuk memprioritaskan pragmatisme ekonomi dan stabilitas politik, menghindari jebakan rivalitas AS–RRC.
Strategi hedging ASEAN dapat diuji melalui hasil KTT ASEAN di Kuala Lumpur (Oktober 2025) dan KTT Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Gyeongju, Korea Selatan (Oktober–November 2025), yang menunjukkan pola hibrida: suara kolektif untuk kekhawatiran bersama terhadap proteksionisme, diikuti negosiasi bilateral untuk kepentingan nasional.
Di Kuala Lumpur, ASEAN mengadopsi pendekatan hedging eksplisit dengan menandatangani kesepakatan bilateral dengan Trump seperti pengecualian tarif 19 persen untuk produk tertentu dari Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Kamboja sambil mendukung Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dipimpin RRC, mencakup 30 persen PDB global sebagai, buffer terhadap tarif AS. Sementara Xi mendorong multilateralisme anti-proteksionis melalui upgrade ASEAN–RRC Free Trade Agreement (FTA) yang mencakup digital trade dan rantai pasok, ASEAN menghindari respons keras terhadap seruannya, memilih diversifikasi mitra seperti kesepakatan trilateral dengan Gulf Cooperation Council (GCC) untuk mengurangi ketergantungan.
Hal ini mencerminkan hedging Kuik: ASEAN memaksimalkan manfaat dari kedua kekuatan sambil meminimalkan komitmen yang memusuhi salah satunya, menghasilkan kerangka kesepakatan AS–RRC yang menunda tarif 100% pada impor RRC mulai 1 November 2025.
Pada KTT APEC di Gyeongju, pola serupa terlihat ketika Trump dan Xi mencapai gencatan senjata sementara AS memangkas tarif pada impor RRC, sementara RRC setuju membeli 12 juta ton kedelai AS pada akhir 2025 dan melonggarkan kontrol ekspor rare earth di tengah kekhawatiran ASEAN terhadap gangguan rantai pasok. Deklarasi Gyeongju menegaskan konsensus untuk perdagangan bebas dan kerja sama teknologi, tetapi ASEAN, melalui perwakilan seperti Vietnam, menekankan multilateralisme tanpa berpihak, menghindari eskalasi rivalitas yang dapat merusak ekspornya senilai $312 miliar ke AS pada 2024. Uji teori hedging ini mengonfirmasi bahwa ASEAN berhasil menjaga relevansi regional tanpa kehilangan akses ke kedua kekuatan besar, sebagaimana Kuik catat: “Hedging allows smaller states to navigate uncertainty by balancing deference and defiance.”
Namun, intensifikasi rivalitas seperti sanksi RRC terhadap galangan kapal Korea Selatan yang bekerja sama dengan AS meningkatkan risiko, mendorong ASEAN untuk memperkuat Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) sebagai Plan B.
Potensi kerja sama ekonomi di antara negara peserta RCEP dan CPTPP semakin memperkuat hedging ASEAN, dengan proyeksi pasar Pasifik hingga 2030 menjanjikan pertumbuhan signifikan. RCEP, yang mencakup 15 negara (termasuk 10 anggota ASEAN, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan RRC), diproyeksikan menambah $245 miliar pendapatan regional tahunan (0,6 persen PDB agregat) dan 2,8 juta lapangan kerja, dua kali lipat manfaat CPTPP ($157 miliar). Sementara CPTPP (11 negara, termasuk 5 anggota ASEAN seperti Vietnam yang diuntungkan dengan peningkatan PDB 1,1 persen) menekankan standar tinggi pada HAM buruh dan lingkungan, RCEP memfasilitasi akses pasar luas dengan mengurangi 90 persen tarif, mendorong diversifikasi perdagangan ASEAN di tengah perang dagang AS–RRC.
Proyeksi ini menunjukkan potensi lancar menuju norma politik-ekonomi bersama, khususnya dalam kerja sama melawan pemanasan global: ASEAN telah mengintegrasikan agenda iklim melalui ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint 2025–2030, yang selaras dengan Paris Agreement, memungkinkan transfer teknologi hijau dari CPTPP (misalnya, standar emisi rendah) dan investasi BRI RRC senilai $100 miliar untuk infrastruktur berkelanjutan. Proses insert norma-norma yang menolak otoritarianisme revisionis seperti klausul anti-korupsi dan transparansi di CPTPP dapat diperkuat melalui dialog Track 1.5, di mana aktor masyarakat sipil ASEAN mendorong demokratisasi, sebagaimana terlihat dalam ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) yang menyerukan institusionalisasi norma demokrasi dalam ASEAN Vision 2045.
Pada akhirnya, negara-negara ASEAN suka tidak suka akan terlibat secara alamiah dalam restrukturisasi berbasis democratic reform, didorong oleh tekanan internal dari generasi muda progresif dan eksternal dari norma-norma global.
Seperti yang diobservasi oleh para analis, peningkatan otoritarianisme di Myanmar dan Vietnam menghambat respons ASEAN terhadap krisis HAM, tetapi kerja sama iklim dan perdagangan dapat menjadi saluran untuk insert norma demokrasi, mencegah erosi institusi regional. Hedging, sebagai grand theory, memastikan ASEAN tetap relevan. Tetapi keberhasilannya bergantung pada keseimbangan antara pragmatisme ekonomi dan komitmen terhadap norma liberal, menghindari jebakan di mana rivalitas AS–RRC mempercepat backsliding demokrasi.
Uraian di atas selaras dengan beberapa kesimpulan yang kerap dalam bahasan pada forum diprakarsai oleh lembaga International Institute for Strategic Studies (IISS) dan RAND Corporation, menekankan bahwa tanpa reformasi demokratis, hedging ASEAN berisiko menjadi sekadar penundaan konflik, bukan solusi berkelanjutan. [ ]
*Anggota “Diskusi Reboan” yang difasilitasi Indonesia Democracy Monitoring-InDemo Jakarta






