
Jika prinsip ini tak dikoreksi, maka dalam pemerintahan Prabowo: Bila BUMN memberi preferensi kepada koperasi, itu bisa dianggap “merugikan negara”. Bila menteri mengalokasikan sumber daya langsung ke koperasi, tanpa ‘pembagian’ ke perusahaan plat merah, itu bisa disebut penyimpangan. Bila koperasi desa lebih efisien dari BUMN, itu bisa menjadi bumerang hukum bagi pejabat yang memberi dukungan.
Oleh : Radhar Tribaskoro*
JERNIH– Presiden Prabowo berulang kali menyebut kata itu: “koperasi.” Ia menyebutnya dalam pidato kampanye, dalam program 100 hari, dalam rencana besar untuk membangun ekonomi dari bawah. Bahkan ia menyebut angka yang terasa nyaris utopis: 80.000 desa akan memiliki koperasi yang aktif, produktif, dan terhubung ke pasar nasional.
Tapi seperti semua janji yang besar, jalan ke sana tidak hanya dihadang oleh keterbatasan logistik, tapi juga oleh struktur sistemik yang bergerak dalam diam. Bukan dalam bentuk oposisi yang menentang terang-terangan, tapi dalam bentuk subversi sistemik—yaitu ketika sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem politik tidak lagi bekerja secara otonom, melainkan saling mengganggu, saling menunggangi, bukan untuk kepentingan rakyat.
Subversi sistemik itu boleh jadi mengancam visi Prabowo tentang pembangunan koperasi. Kasus Tom Lembong adalah presedennya: koperasi dituduh korupsi karena menang bersaing melawan BUMN. Bahkan ketika semua keuntungan koperasi yang terlibat dalam impor gula itu pada akhir tahun lalu telah dikembalikan, sehingga secara akuntansi tidak ada lagi kerugian negara, Tom Lembong tetap dipidana. Tanpa mens rea (niat busuk), tanpa menerima uang, tanpa pelanggaran prosedur, Tom harus membuang waktunya yang berharga 4 tahun 6 bulan di balik jeruji besi (meski kemudian bebas dengan abolisi—red. Jernih).
Kasus Tom menunjukkan sistem bisa dan telah disubversi, bukan lagi untuk menegakkan keadilan tetapi untuk sesuatu yang lain. Konstruksi sistem (pemberantasan korupsi) telah diperlemah sedemikian rupa, sehingga seseorang dengan kuasa dapat menggunakannya sebagai alat untuk mempersekusi lawan-lawan politiknya.
Tom telah menjadi korban tetapi apa cuma dia saja? Kasus Tom mengandung implikasi lain: koperasi atau swasta dapat dituduh korupsi kalau mereka memperoleh sumberdaya negara, padahal BUMN juga menginginkannya.
Dan dalam kondisi seperti ini, pertanyaan paling berbahaya bukan datang dari luar, tetapi dari dalam: “Apakah kebijakan membangun koperasi—bila tidak menguntungkan BUMN atau kas negara—bisa dituduh sebagai tindak pidana korupsi?”
Korupsi: Dari Kejahatan Moral Menjadi Selisih Neraca
Kasus Tom Lembong telah memberi kita isyarat keras. Sebuah keputusan kebijakan yang mendistribusikan izin ke pelaku usaha non-BUMN—meski legal dan berdasar pertimbangan teknis—dapat disebut sebagai korupsi jika negara dianggap tidak mendapat bagian. Maka koperasi, meski sah, bisa dianggap “penerima keuntungan tidak sah”.
Jika prinsip ini tak dikoreksi, maka dalam pemerintahan Prabowo: Bila BUMN memberi preferensi kepada koperasi, itu bisa dianggap “merugikan negara”. Bila menteri mengalokasikan sumber daya langsung ke koperasi, tanpa ‘pembagian’ ke perusahaan plat merah, itu bisa disebut penyimpangan. Bila koperasi desa lebih efisien dari BUMN, itu bisa menjadi bumerang hukum bagi pejabat yang memberi dukungan.
Di sinilah sabotase sistemik mulai terjadi. Ia tidak menggunakan cara-cara frontal. Ia bekerja dengan instrumen yang sah: aturan, audit, prosedur, pasal. Ia akan menyusup lewat BPK, inspektorat, bahkan lembaga antikorupsi—semua atas nama “mencegah kerugian negara”. Tuduhan “kerugian negara” itu bisa berbunyi, “Mengapa bantu koperasi yang kecil untungnya, bukan BUMN yang besar untungnya?”
Dan kita tahu, banyak proyek rakyat yang secara fiskal memang lebih kecil kontribusinya dibanding BUMN. Tapi apakah ukuran itu adil? Jika koperasi diberi modal Rp2 miliar dan hanya menghasilkan nilai tambah Rp200 juta, lalu BUMN diberi Rp20 miliar dan menghasilkan Rp5 miliar—maka siapa yang lebih berhasil? Apakah ukuran keberhasilan hanya berdasar jumlah rupiah yang masuk ke kas negara?
Apa di sini yang disabotase? Sabotase sistemik tidak menghentikan kebijakan. Ia hanya menghentikan keberanian. Ia membuat pejabat takut menandatangani keputusan. Ia mendorong birokrat untuk tidak menyentuh koperasi karena “terlalu berisiko”. Ia membuat bank-bank milik negara enggan menyalurkan kredit ke koperasi karena tidak punya jaminan formal.
Akhirnya:
– Dana tidak mengalir ke desa
– Koperasi gagal tumbuh
– Petani tetap terjebak tengkulak
– Ekonomi rakyat kembali menjadi jargon, bukan jalan
Dari Sistem yang Otonom ke Sistem yang Tersandera
Luhmann menyebut ini sebagai de-diferensiasi sistemik—ketika sistem hukum, sistem politik, dan sistem ekonomi tidak lagi punya logika masing-masing, melainkan saling masuk dan saling menyandera.
-Hukum yang seharusnya berbicara tentang keadilan, kini memakai logika efisiensi ekonomi
-Politik yang semestinya mewakili aspirasi, kini takut mengambil keputusan yang tidak menguntungkan fiskal
-Ekonomi yang semestinya mendorong kreativitas warga, kini hanya mengakui entitas besar yang sudah mapan
-Dan dalam sistem seperti ini, program pro-rakyat bisa dianggap sebagai penyimpangan.
Prabowo mungkin punya kehendak untuk memperkuat ekonomi desa. Tapi jika ia tidak merombak cara berpikir institusi di bawahnya, maka program itu akan terjerat oleh jaring sistemik yang tak kelihatan.
Program koperasi bisa:
– Dikerdilkan oleh logika tender
– Ditolak karena tidak memberi margin cukup bagi BUMN
– Dibekukan karena tidak punya nilai aset formal
– Dikriminalisasi karena dianggap tidak “mendahulukan negara”
Padahal rakyat adalah negara. Dan negara yang tidak memihak rakyat telah kehilangan definisinya sendiri.
Jadi, Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus mendorong revisi undang-undang dan tafsir hukum agar kerugian negara tidak hanya dimaknai sebagai kerugian kas, tetapi juga kerugian sosial: hilangnya akses rakyat, hilangnya kepercayaan, hilangnya kesempatan tumbuh. Kedua, Kebijakan pro-rakyat harus mendapat perlindungan hukum. Diskresi pejabat yang mengambil risiko demi ekonomi kerakyatan harus dilindungi secara hukum, bukan dijadikan celah pemidanaan.
Ketiga, diferensiasi sistemik harus direstorasi. Kode ekonomi di mana segala sesuatu menggunakan alat tukar uang harus diakhiri. Sistem hukum tidak boleh menggunakan logika untung-rugi semata. Sistem politik harus memihak nilai, bukan laba. Sistem ekonomi harus menerima keragaman aktor, bukan hanya konglomerasi.
Last but not least, pemerintah wajib waspada bahwa musuh-musuhnya tidak hanya berada di luar namun juga di dalam pemerintahan. Mereka aktif memperkuat diri dan memperlemah lawan politiknya dengan mensubversi sistem. Dalam sistem hukum yang bolong di mana-mana dan aparat hukum yang kehilangan arah, sistem dengan mudah diperalat.
Penutup: Jika Negara Tak Mau Membagi
Jika koperasi dianggap pesaing negara, dan rakyat dianggap tidak sah menerima keuntungan ekonomi secara langsung, maka kita sedang hidup dalam negara yang tidak mau membagi. Negara seperti itu hanya akan menghasilkan demokrasi yang dangkal, pembangunan yang rapuh, dan masyarakat yang apatis. “Sabotase yang paling berbahaya adalah yang dibungkus dalam nama hukum, dijalankan oleh prosedur, dan dilindungi oleh diamnya publik.”
Jika pemerintahan Prabowo ingin sungguh-sungguh membangun ekonomi kerakyatan, maka ia harus menyadari: musuhnya bukan hanya oposisi, tapi juga sistem yang tak lagi membela rakyat. [ ]
* Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia