Solilokui

Puisi “The Hand That Signed The Paper” di Negara “I Don’t Read What I Sign”

Alih-alih kian mendekati idealisasi Polri yang Presisi, yakni figur polisi yang prediktif, responsibilitas, penuh transparansi dan berkeadilan sebagai polisi modern, banyak aksi aparat Polri yang justru seolah tengah mempraktikkan buku lama yang sempat meledak pada eranya, “Winning Through Intimidation” yang ditulis Robert J. Ringer pada 1973. Sikap yang rawan emmbangun perilaku anarki di masyarakat. Bukan anarki dalam arti kekerasan seperti salah kaprah selama ini, tapi anarki dalam pengertian sejatinya, “anarchos” (dari bahasa Yunani), yakni sikap untuk tak acuh, tak peduli dan akhirnya merasa tak butuh, adanya pemerintah (dan aturan serta aparatnya).

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Apa yang (dan masih) terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, segera mengingatkan saya pada selarik puisi yang dibuat penyair Amerika Serikat kelahiran Wales, Inggris, Dylan Thomas, yang konon ia buat saat baru berusia 19 tahun. “Hands have no tears to flow…,” tulis Thomas pada puisinya,”The Hand That Signed The Paper” itu.  Tangan—kekuasaan–tak punya airmata yang akan mengalir sedih karena kelakuannya.

Apalagi tahu puisi tersebut, sepertinya memang tak banyak pemilik kekuasaan yang menyadari hal itu. Presiden AS, James “Jimmy” Earl Carter adalah salah satu dari yang sedikit itu. Tampaknya pengetahuan itu yang membuat Carter bisa bicara, seolah seorang filsuf. “Terpisahnya kekuasaan dari rakyat,”kata Carter, “kadang tak diketahui oleh para pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka, yang terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya merupakan peringatan bagi kita …”

Darmawan Sepriyossa

Kita tahu, di sini, lewat ludah, kebanyakan pemimpin kita hanya bisa menjanjikan keadilan pada podium kampanye mereka. Rutin, lima tahun sekali.

Apa yang berlangsung di Rempang juga menegaskan kita bahwa aparat keamanan—Polisi—seolah menolak untuk keluar dari citra ‘koppig’ (keras kepala) pada sebagian warga masyarakat. Setelah dipersoalkan banyak kalangan saat menggunakan gas air mata di insiden Kanjuruhan yang meminta ratusan korban, Agustus lalu mereka masih juga menggunakannya di Dago Elos, Bandung. Kemarin, di Rempang, mereka ulangi. Media menulis ada 11 korban gas air mata yang langsung dilarikan ke rumah sakit. Para korban itu seorang guru dan 10 siswa-siswi SMP 33 Galang. Para ABG yang justru tengah bersekolah!

Penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan itu tentu saja rawan memicu perasaan dan sikap anarkisme publik. Bukan anarki dalam arti kekerasan seperti yang menjadi salah kaprah selama ini. Tapi anarki dalam pengertian sejatinya, “anarchos” (dari bahasa Yunani), yakni sikap untuk tak acuh, tak peduli dan akhirnya merasa tak butuh, adanya pemerintah (dan aturan serta aparatnya). Jangan buta meski bolehlah sedikit bodoh; berkembangnya organisasi Anarko-Sindikalis tidak boleh dianggap tak terkait dengan perasaan “bosan” kalangan muda terhadap aparat.

Alih-alih kian mendekati idealisasi Polri yang Presisi, yakni figur polisi yang prediktif, responsibilitas, penuh transparansi dan berkeadilan, sebagai polisi modern, banyak aksi aparat Polri yang justru seolah tengah mempraktikkan buku lama yang sempat meledak pada eranya, “Winning Through Intimidation” yang ditulis Robert J. Ringer pada 1973. Jangan dulu ketawa. Buku ‘gila’ ini pernah bercokol delapan bulan dalam daftar buku terlaris The New York Times. Tanda bahwa penulisnya mendapat publisitas luas ditunjukkan betapa ia pernah diwawancarai majalah keren saat itu, Time. Belum lagi penulisnyanya pun sempat diejek kolumnis lucu terkemuka, Art Buchwald, dalam satu tulisan.

Isi bukunya sederhana. Untuk mencapai sukses, kata Ringer, aturan yang datang dari buku-buku yang mengajarkan dunia yang harmonis dan setimbang harus dicampakkan. Kenyataan adalah apa yang nyata, bukan yang diimpikan. Dan itu lebih sering bukan taman yang penuh keindahan bunga beraneka rupa dan harum mawar serta  melati, namun hutan rimba yang tak hanya dipenuhi tumbuhan beracun dan pemakan makhluk hidup, tapi juga penuh ular berbisa. Di tempat seperti itu—itulah realitas dunia—apa gunanya bersopan santun mempraktikan etika? Intinya, buku Ringer itu boleh jadi laiknya “Il Principe”-nya Machiavelli di dua pertiga akhir abad 20.

Mungkin bagi sebagian orang, perilaku penuh kekerasan aparat Polri di lapangan itu juga bisa dipandang sebagai ironi besar. Dengan posisi sebagai institusi ketiga yang mendapatkan curahan anggaran paling banyak setelah Kementerian Pertahanan (Rp 131,93 triliun) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp 125,22 triliun), mungkin saja anggaran Polri di 2023 yang besarnya Rp 107,76 triliun akan dipertanyakan berapa banyak yang dibelikan gas air mata buat persediaan menembaki rakyat seperti di Kanjuruhan, Dago Elos dan Rempang?

Semoga saja tak ada yang terbiasa gampangan berpikir ke situ. Semoga juga Polri berpikir bahwa bagian terbesar rakyat adalah yang butuh dan menyayangi mereka. Rakyat yang seyogyanya tidak terus dibuat kecewa. [  ]  

Back to top button