SolilokuiVeritas

Reformasi dan Demokrasi: Menemui Senja atau Menunggu Fajar?

Dengan kejadian di Morowali bahwa diduga telah terjadi aktivitas penambangan nikel secara ilegal yang merugikan rakyat, membuat ekspansi komando teritorial TNI ini menjadi relevan dengan persoalan perekonomian dan politik bangsa Indonesia yang selama 27 tahun Reformasi dipenuhi berita korupsi, eksploitasi sumber daya dan pencurian kekayaan alam di hutan, gunung dan perairan kita secara berlebihan. Dampaknya sudah mulai dirasakan oleh rakyat, terlihat dari bencana alam banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi sepekan terakhir di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat

Oleh     : Hanief Adrian*

JERNIH– Pada 20 November 2025, TNI mengadakan latihan terpadu berupa penerjunan payung dari Kostrad dan Korpasgat di Bandara Khusus milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang dapat melayani penerbangan langsung dari dan ke luar negeri.

Yang menarik perhatian publik adalah pernyataan sangat keras Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin terkait fakta temuan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Morowali bahwa bandara tersebut tidak memiliki pos Imigrasi dan Bea Cukai, sehingga ia berkata tidak boleh ada negara dalam negara.

Sidak yang dilakukan Menhan pada Selasa (25/11/2025) menguatkan temuan bahwa tidak ada satu pun perangkat negara yang bertugas di bandara tersebut. Kegeraman Menhan ditambah lagi dengan kejadian dua kapal perang TNI Angkatan Laut yaitu kapal perusak kawal KRI Bung Hatta-370 dan kapal patroli KRI Pari-849 menangkap tiga kapal diduga pengangkut bijih nikel secara ilegal di perairan Sulawesi Tenggara dari Konawe menuju Obo di Halmahera, Maluku Utara.

Manuver TNI mengamankan bandara khusus IMIP yang beroperasi dalam pertambangan dan hilirisasi nikel yang diduga ilegal ini ternyata membuat instansi lain meradang. Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) Suntana membantah bandara khusus IMIP beroperasi tanpa otoritas. Purnawirawan Komjen Polisi yang terakhir menjabat Kepala Badan Intelijen dan Keamanan POLRI itu mengatakan bandara Morowali hanya melayani penerbangan domestik.

Faktanya, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi pada 8 Agustus 2025 menandatangani surat keputusan nomor 38 tahun 2025 yang menyatakan tiga bandara khusus dapat melayani penerbangan langsung dari dan ke luar negeri yaitu Bandara Sultan Syarif Haroen Setia Negara (SSHSN) di Pelalawan (Riau), Bandara khusus milik PT IMIP di Morowali, dan Bandara Khusus Weda Bay untuk melayani PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Memang, SK Menhub no. 38 ini sudah dicabut dengan SK Menhub no. 55 tanggal 13 Oktober 2025 yang menyatakan hanya Bandara SSHSN yang merupakan pintu utama perusahaan PT Royal Golden Eagle (RGE) milik Sukanto Tanoto sebagai bandara khusus, dan mencabut status bandara Morowali dan Weda Bay dari izin melayani penerbangan langsung internasional. Dengan kata lain, pernyataan Wamenhub Suntana benar tetapi menutupi fakta bahwa Bandara Morowali pernah menjadi bandara khusus internasional.

Ekspansi Peranan Tentara

Awal November 2025 lalu saat berkunjung ke kota Padang dalam perjalanan menuju sebuah perguruan tinggi untuk menghadiri Future Leaders Camp 2025 se-Sumatera, kami melewati markas komando teritorial (Koter) yang baru ditingkatkan statusnya dari Komando Resort Militer (Korem) menjadi Komando Daerah Militer (Kodam). Korem 032/Wirabraja, demikian nama koter yang bergeser ke kota Solok, bekas markasnya dijadikan markas Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol.

Secara militer, Kodam XX ini menyentil pikiran saya dalam dua hal. Pertama, tanggung jawab koter tersebut adalah Provinsi Sumatera Barat dan Jambi yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Kodam I/Bukit Barisan (Sumbar) dan Kodam II/Sriwijaya (Jambi). Kedua, dari 1958 hingga 1985, sebuah Kodam pernah didirikan untuk Sumatera Barat dan Riau dengan nama Kodam III/17 Agustus sebagai kelanjutan Komando Operasi 17 Agustus untuk menumpas PRRI, artinya nama baru bagi Kodam XX yang bermarkas di bekas markas Kodam III/17 Agustus ini semacam rekonsiliasi dari Pemerintah RI untuk orang Sumatera Barat yang dianggap pernah memberontak. Nama Tuanku Imam Bonjol diangkat kembali dari sekedar simbol intelektualisme agama dengan menjadi nama Universitas Islam Negeri di Padang, menjadi simbol kepahlawanan pemersatu kaum Paderi dan kaum Adat menjadi kaum Muslimin melawan Kolonial Belanda.

Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol didirikan bersama dengan Kodam XIX/Tuanku Tambusai di Pekanbaru, Kodam XXI/Radin Inten di Bandar Lampung, Kodam XXII/Tambun Bungai di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Kodam XXIII/Palaka Wira di Palu (Sulawesi Tengah) dan Kodam XXIV/Mandala Trikora di Merauke (Papua Selatan). Enam Kodam baru ini diresmikan pada 10 Agustus 2025, menambah jumlah Kodam dari 15 menjadi 21. Tentu saja penambahan Kodam tersebut mendapatkan kritik keras dari aktivis pro demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menuduh hal tersebut merupakan upaya TNI kembali menghidupkan kembali dwifungsi dengan menghidupkan kembali peran sosial politik Tentara di samping peran sebagai kekuatan utama pertahanan.

Namun, dengan kejadian di Morowali bahwa diduga telah terjadi aktivitas penambangan nikel secara ilegal yang merugikan rakyat, membuat ekspansi komando teritorial TNI ini menjadi relevan dengan persoalan perekonomian dan politik bangsa Indonesia yang selama 27 tahun Reformasi dipenuhi berita korupsi, eksploitasi sumber daya dan pencurian kekayaan alam di hutan, gunung dan perairan kita secara berlebihan. Dampaknya sudah mulai dirasakan oleh rakyat, terlihat dari bencana alam banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi sepekan terakhir di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, provinsi-provinsi yang menjadi tempat maraknya pembalakan hutan untuk keperluan perkebunan, pertambangan dan properti.

Sementara itu dalam menjalankan peran barunya yang ekspansif, TNI bergerak cepat memeriksa kelengkapan otoritas bandara Morowali, menangkap kapal yang mengangkut bijih nikel secara ilegal, sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh Kepolisian Negara RI (POLRI) dan Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), dua aparat penegakan hukum sipil di darat dan di laut.

Ekspansi peranan TNI memang tidak terjadi beberapa bulan belakangan. Pada masa Pemerintahan Jokowi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menjalankan program pencetakan sawah yang dijalankan aparat teritorial TNI, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengembangkan kawasan pangan (food estate) di Kalimantan Tengah melalui PT Agrinas yang isinya pensiunan tentara namun didukung aparat TNI. Ekspansi itu lebih meluas pada masa Pemerintahan Prabowo, di mana koter-koter TNI berperan aktif dalam mengembangkan dapur-dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di bawah koordinasi lembaga Badan Gizi Nasional (BGN), yang sepertiga pejabat eselonnya adalah pensiunan tentara.

Presiden Prabowo melalui Menhan Sjafrie tidak hanya meresmikan validasi atau penambahan Kodam dari 15 menjadi 22, mereka juga meresmikan pendirian 20 brigade infanteri teritorial pembangunan (BTP) dan 100 batalyon infanteri teritorial pembangunan (YTP). Satu YTP tidak hanya memiliki tiga kompi senapan dan satu kompi bantuan seperti Yonif (batalyon infanteri) pada umumnya, tetapi ditambah kompi pertanian, kompi peternakan, kompi konstruksi dan kompi kesehatan. Artinya, 100 yonif baru ini tidak hanya akan berfokus pada pertahanan militer, tetapi juga berekspansi pada ketahanan non-militer di sektor lainnya.

Ancaman Bagi Reformasi?

Apakah ekspansi peranan tentara dalam sektor ketahanan non-militer akan mengancam proses transisi dan konsolidasi demokrasi yang sudah berjalan sejak bergulirnya Reformasi 1998? Jawabannya tentu belum dapat dipastikan, bisa ya dan bisa tidak.

Jika membandingkan 27 tahun Reformasi yang diwarnai dominasi politisi sipil dan 32 tahun Orde Baru yang didominasi militer, tentu kita akan membanding-bandingkan hal yang jomplang. Orde Baru ditandai dengan stabilitas politik dan harga barang kebutuhan pokok, dan tidak akan pernah ada cerita terdapat bandara khusus seperti Morowali yang dapat melayani penerbangan internasional langsung sehingga mengancam kedaulatan dan keamanan negara kita. Tentu saja, tidak ada kebebasan berekspresi yang hakiki serta penghargaan terhadap HAM pada masa Orde Baru.

Belum lagi peranan militer sangat dominan pada masa Orde Baru, prajurit TNI aktif dapat menjadi anggota DPR, menteri, pejabat eselon kementerian, duta besar, kepala badan, gubernur, bupati, wali kota, camat hingga kepala desa. Ekspansi koter TNI tahun ini tentu mengembalikan memori buruk Orde Baru bahwa betapa Koter TNI pada masa itu berperan penting dalam mendukung program pemerintah dengan pendekatan semi-koersif, menjaga stabilitas, hingga memenangkan Golongan Karya tiap pemilihan umum secara langsung atau tidak langsung.

Tetapi yang harus diakui, tidak ada oligarki yang begitu rakus dalam membalak hutan demi perkebunan sawit dan tambang pada masa Orde Baru. Hanya ada satu penguasa tunggal patrimonialistik, Soeharto dan kroni-kroninya yang ia kendalikan penuh dengan loyalitas personalistik dari mereka sebagai klien kepada sang Presiden sebagai patron. Walaupun karakteristik kekuasaan Orba adalah patrimonialistik dan personalistik, Soeharto tak pernah sekalipun menunjukkan dirinya berupaya mengubah atau bahkan melanggar konstitusi ekonomi dalam UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Jadi, jika kita bandingkan Orba dengan kekuasaan tunggal patrimonial, dan Reformasi dengan kekuasaan majemuk oligarkis seperti ini lengkap dengan aparat sipil penegak hukumnya yang rusak luar biasa di dalam kepolisian, kejaksaan dan kehakiman (aparat-aparat yang tidak bisa hidup kaya-raya pada masa Orba), tentu kita dapat dengan cermat membaca bahwa ekspansi peranan tentara adalah upaya menggilas oligarki sipil dan para kroninya di aparat penegak hukum.

Namun pertanyaan lebih lanjut, apakah kita dapat membaca pretensi tentara untuk memutar balik jarum jam demokratisasi menjadi kembali pada otoritarianisme? Saya kira tidak, Presiden Prabowo dan Menhan Sjafrie adalah dua orang yang berperan penting dalam Reformasi 1998 dari pihak Rezim penguasa, di mana mereka bersepakat dengan para politisi, aktivis pro demokrasi dan tokoh masyarakat sipil untuk membuka pintu gerbang DPR/MPR bagi para mahasiswa untuk berdemonstrasi menuntut pengunduran diri Soeharto, dengan syarat tidak ada niat bergerak ke Istana dan Medan Merdeka. Saya pikir, rezim hari ini belajar banyak selama 27 tahun Reformasi, bahwa keran kebebasan yang sudah dibuka, tidak akan pernah bisa ditutup kembali.

Penutup

Tahun 2025, tahun di mana kita merayakan 80 tahun kemerdekaan, sudah tiba di penghujung bulan. Tahun ini diwarnai dengan aksi protes massal terhadap program-program sosialistis Prabowo seperti MBG dan Koperasi Desa, ekspansi peranan TNI, serta perlawanan terhadap brutalitas aparat kepolisian dan korupsi dalam penegakan hukum lainnya.

Presiden telah memutuskan, ia akan memimpin langsung reformasi penegakan hukum. Ia pimpin langsung pemberantasan korupsi, penertiban kebun sawit dan tambang ilegal. Ia membentuk Komite Percepatan Reformasi POLRI yang dipimpin para profesor dan jenderal, lima dari perguruan tinggi dan lima dari kepolisian. Prabowo menunjukkan dirinya berkomitmen pada demokratisasi dan manifestasi Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat).

Reformasi yang sudah sedemikian mendung ini, sedang menunggu mentari baru yang terbit setelah fajar. Tetapi, nun jauh di sana, mereka yang tidak puas dan tidak sabar dengan ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi dan korupsi politik, sedang menunggu dan memberi kesempatan sekian kalinya pada masyarakat sipil untuk memperbaiki dan meluruskan jalannya reformasi. Dan jika gagal, mereka akan menggerakkan mesin-mesin tempurnya atas nama demokrasi, menggilas para pengkhianat dan para pecundang reformasi.

Reformasi dan Demokrasi, sedang menunggu dua peristiwa, berjumpa senjakala atau terbitnya sang fajar! [ ]

*Ketua Desk Politik GREAT Institute

Back to top button