SolilokuiVeritas

Renungan Deden Ridwan: Ketika Kuasa Menjejak Bumi, Jiwa Menatap Langit

Kebersahajaan itu pilihan hati. Kukira bukan berarti Cak Sar tak mampu hidup mewah. Ia bisa saja dengan mudah pindah ke perumahan elite. Membeli rumah luas dengan halaman lapang. Tapi yang kutangkap: ia memilih tetap tinggal di sini dengan sadar. Menyatu dengan warga. Berjalan kaki ke pasar. Hadir dalam tasyakuran kampung. Ikut pengajian warga. Bahkan duduk bersila bersama tetangga saat memperingati 80 tahun kemerdekaan di jalan sesak Manggarai. Ini bukan pencitraan. Terlalu melelahkan jika hanya pura-pura. Ini adalah laku hidup alamiah.

JERNIH–Saudaraku. Jumat, 12 September 2025. Malam itu, aku melangkah keluar rumah pukul tujuh. Jalanan Jakarta masih riuh dengan lampu dan lalu lintas. Sedangkan dalam hati ada satu tujuan penting: bertamu ke rumah seorang sahabat lama yang kini menjadi petinggi partai politik. Namanya: Muhammad Sarmuji. Akrab dipanggil Cak Sar.

Ketahuilah. Mobilku bergerak ke arah Manggarai. Menyusuri jalan-jalan sempit dan padat. “Ini Jalan Sawo 4, Pak,” ujar sang driver ketika mobil mulai merayap di antara rumah-rumah warga.

Aku menoleh ke kiri dan kanan, ragu. Benarkah? Di benakku, tak mungkin seorang sekjen partai besar dan ketua fraksi DPR RI tinggal di lorong sesempit ini. Rasanya mustahil. Pun aneh.

Aku berhenti. Memastikan. Bertanya kepada seorang warga yang tengah duduk santai. “Pak, maaf ini Jalan Sawo 4?” tanyaku. Ia tersenyum ramah, “Sudah kelewat jauh. Mau ke mana, Pak?” Kujawab, “Mau ke rumah Pak Sarmuji, anggota DPR.” Warga itu mengangguk mantap, “Oh, muter balik, lurus, belok kiri di pertigaan. Rumahnya di ujung.”

Aku tertegun. Warga ini begitu hafal dengan rumah Pak Sarmuji. Itu berarti ia benar-benar dikenal, dekat dengan masyarakat. Tak ada jarak: akrab, guyub, berbaur.

Aku pun berbalik arah. Ya, benar. Di ujung jalan sempit itulah rumah Cak Sar berada. Aku harus berjalan sangat pelan. Jalanan penuh dengan mobil tamu, parkir berderet. Beberapa anak muda sibuk mengarahkan kendaraan. Memastikan mobilku tidak menyenggol.

Aku turun. Bertemu seorang sahabat yang sudah duluan menunggu di pinggir jalan. Kami sama-sama terperangah. Inikah rumah seorang pejabat yang sudah tiga periode duduk di Senayan, kini ketua fraksi, bahkan sekjen partai besar? Rumah itu tampak biasa, bahkan terasa sempit. Di garasi hanya terparkir dua mobil keluarga: sebuah Toyota Innova Hybrid dan Honda HR-V. Tak ada deretan mobil mewah. Tak ada pagar tinggi mencolok.

Aku diminta menunggu. Ruang tunggunya begitu sempit, berdempetan dengan garasi. Terasa sesak. Bayangkan, aku harus berdiri. Menepi. Ketika asisten rumah tangga melintas, membawa gelas air untuk tamu. Dari tempatku berdiri, aku bisa mengintip ruang depan yang dipenuhi tamu: semua tampak serba biasa tanpa kemewahan. Cak Sar duduk di tengah mereka: berbincang akrab, tanpa jarak, tanpa protokol.

Aku tercenung. Betapa kontrasnya pemandangan ini dibanding berita-berita tentang pejabat yang senang pamer rumah megah, pesta mewah, arloji miliaran. Begitu kontras dengan politisi yang gemar flexing di saat rakyat berdesakan menanggung beban hidup. Di tengah citra glamor dan sorotan publik yang kerap memancing kemarahan rakyat, rumah ini tampil sebagai oase: bersahaja, teduh.

Namun aku tahu. Kebersahajaan itu pilihan hati. Kukira bukan berarti Cak Sar tak mampu hidup mewah. Ia bisa saja dengan mudah pindah ke perumahan elite. Membeli rumah luas dengan halaman lapang. Tapi yang kutangkap: ia memilih tetap tinggal di sini dengan sadar. Menyatu dengan warga. Berjalan kaki ke pasar. Hadir dalam tasyakuran kampung. Ikut pengajian warga. Bahkan duduk bersila bersama tetangga saat memperingati 80 tahun kemerdekaan di jalan sesak Manggarai. Ini bukan pencitraan. Terlalu melelahkan jika hanya pura-pura. Ini adalah laku hidup alamiah.

Aku pun teringat akar-akar hidup Cak Sar: seorang santri yang sejak muda akrab dengan sajadah dan kitab, bukan sekadar mimbar politik. Di rumahnya, tradisi ibadah tetap terjaga: shalat lima waktu, puasa sunah, zikir mengalir tenang. Ada guru ruhani yang ia jadikan tempat bertanya, pelabuhan menambatkan batin. Dari situ kutahu, kesederhanaan ini bukan tempelan pencitraan, melainkan watak yang disiram doa dan disiplin ruhani.

Sepakat. Betapa jarang kita menemukan politisi yang, setelah meraih kuasa dan jabatan—dari aktivis HMI, staf ahli fraksi, anggota DPR, ketua fraksi, hingga sekjen Partai Golkar—masih setia pada akar tradisi semacam ini. Banyak yang tercerabut, silau oleh panggung, hidup mewah, kehilangan arah. Menikmati singgasana kekuasaan secara berlebihan. Tetapi Cak Sar tetap menjejak bumi: rendah hati, ramah, dan mau melayani yunior. Pun setiap tamu diterima dengan penuh antusias dan santun. Seolah ia hendak berkata: kuasa hanya sementara, tapi akar ruhani adalah selamanya.

Di titik inilah renungan sufistik menyeruak. Dunia, harta, jabatan—semua itu pada dasarnya netral. Pertanyaannya: bukan apakah kita punya atau tidak punya, melainkan apakah kita menjadi tuan atasnya, atau justru budak darinya. Zuhud bukan berarti lari dari dunia, apalagi menolak anugerah. Zuhud adalah menjaga jarak secukupnya, agar dunia tetap dalam genggaman, bukan dalam ikatan rantai. Kuasa hanya berguna bila ia memuliakan manusia. Harta hanya berarti bila ia menjadi jalan berbagi. Dan kuncinya adalah qonaah: menerima dengan lapang, bersyukur dengan cukup, tanpa berhenti berikhtiar. Di situlah jiwa menemukan kemerdekaannya—lebih luas dari istana, lebih lapang dari lorong sesak Manggarai.

Ingatlah. Rumah politisi di Jalan Sawo 4 itu adalah cermin: betapa lapang jiwa bisa berdiam di ruang sederhana. Kesederhanaan seorang pejabat bukan kelemahan, namun kekuatan dahsyat. Banyak orang terpenjara oleh “istana megah” versinya sendiri—entah harta, popularitas, atau gengsi kecil sehari-hari—padahal sejatinya yang menentukan bukan seberapa luas rumahmu, melainkan seberapa lapang ruang batinmu.

Camkanlah. Lorong sempit di Manggarai itu mungkin tampak sesak di mata dunia, tetapi justru di sanalah aku menyaksikan jiwa yang merdeka. Sementara banyak pejabat tinggal di istana tinggi, namun diam-diam terhimpit oleh sempitnya hati.

Maka tanyakanlah pada dirimu, wahai pemilik kuasa: apakah kau sedang membangun rumah, ataukah membuat penjara bagi jiwamu sendiri?

Pun tanyakanlah pada dirimu masing-masing, di ruang hidup sederhana atau megah: apakah kau masih menjaga jiwa tetap lapang, ataukah diam-diam membiarkan dunia mempersempit hatimu?

Saudaraku, renungkanlah. Rumah abadi kita bukan berdiri megah di atas tanah. Namun terpatri lapang di hati sesama manusia. Di situlah, kemewahan sejati bermula.

Di lorong sempit kehidupan, jiwa lapang adalah cahaya yang tak pernah padam—lebih abadi daripada tembok megah atau singgasana kuasa.[ ]

Back to top button