
Syaikh Kholil menatapnya teduh: “Ilmu tanpa tasawuf ibarat kapal besar dengan layar dan mesin, tapi tanpa nakhoda bijak–bisa karam menabrak karang. Tasawuf tanpa ilmu ibarat kapal dengan nakhoda bijak, tapi tanpa mesin dan peta–hanyut tanpa arah. Pegang keduanya: ilmu sebagai arah, tasawuf sebagai nakhoda. Agar kapal hidupmu selamat sampai tujuan.”
JERNIH– Saudaraku,
Di suatu sore, aku duduk termenung di tepi laut. Memandang ombak. Datang silih berganti. Di tengah kesunyian itu, teringatlah aku pada sosok yang namanya selalu hadir dalam doa dan tawasul keluargaku: Syaikh Kholil Bangkalan.
Aku teringat cerita umiku. Saat mengandungku, ia bersama abahku pergi menziarahi makam beliau. Dalam perjalanan, ketika mobil mereka akan menyeberang, tiba-tiba jembatan timbang atau landai kapal terputus. Mobil yang mereka tumpangi nyaris terperosok ke laut. Namun, mereka selamat. Sejak itu, Syaikh Kholil bukan sekadar nama, tapi menjadi bagian dari perjalanan hidup kami. Menyatu dalam hati.
Ketahuilah. Syaikh Kholil lahir pada 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Madura. Ia berasal dari keluarga ulama. Dididik langsung oleh ayahnya, K.H. Abdul Latif. Setelah dewasa, beliau menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren, termasuk Pondok Pesantren Langitan di Tuban. Sekitar tahun 1850-an, beliau mendirikan Pondok Pesantren di Desa Cengkebuan, dekat desa kelahirannya.
Salah satu karya monumental beliau adalah “Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fath-il Latif”, sebuah kitab “fiqih-sufistik” dasar. Keistimewaannya bukan karena tebal atau kompleks. Melainkan kitab fiqih ini disusun dalam bahasa sederhana: mudah dicerna santri pemula, sekaligus menautkan hukum syariat dengan dimensi ruhani.
Dalam kitab ini, wudhu tak sekadar mencuci tubuh, tetapi juga membersihkan jiwa. Shalat bukan sekadar gerakan, tetapi perjumpaan hati dengan Allah. “Al-Matnus Syarif” menjadi jembatan: membentuk generasi santri agar tegak dalam syariat sekaligus lembut dalam tasawuf.
Ingatlah. Suatu hari, seorang santri muda bertanya kepada beliau: “Yai, mengapa engkau mengajarkan fiqih sederhana, bukan kitab-kitab besar yang lebih tinggi derajatnya?”
Syaikh Kholil tersenyum, lalu menjawab perlahan: “Nak, jangan kau kira laut itu dimulai dari ombak besar. Laut selalu dimulai dari tetesan hujan. Begitu pula ilmu. Jika kau tak belajar dari yang sederhana, kau tak akan mampu mengarungi lautan dalam.”
Santri itu terdiam, lalu bertanya lagi: “Yai, apa gunanya banyak ilmu kalau hati tidak merasa dekat dengan Allah?”
Syaikh Kholil menatapnya teduh: “Ilmu tanpa tasawuf ibarat kapal besar dengan layar dan mesin, tapi tanpa nakhoda bijak–bisa karam menabrak karang. Tasawuf tanpa ilmu ibarat kapal dengan nakhoda bijak, tapi tanpa mesin dan peta–hanyut tanpa arah. Pegang keduanya: ilmu sebagai arah, tasawuf sebagai nakhoda. Agar kapal hidupmu selamat sampai tujuan.”
Kata-kata itu menusuk dalam. Membekas di benak jiwa. Menjadi bekal bagi murid-muridnya hingga kini.
Camkanlah. Namun, di balik penghormatan yang begitu besar, pemikiran Syaikh Kholil juga pernah dianggap kontroversial. Mengapa? Karena ia menolak cara pandang kaku dan eksklusif. Di masa ketika sebagian kalangan masih menutup diri pada tasawuf, beliau justru menegaskan harmoni antara syariat dan hakikat; antara ibadah lahiriah dan pembersihan batin.
Tak hanya itu. Ia bahkan menggunakan kesenian rakyat Madura, termasuk wayang dan tembang, sebagai sarana dakwah. Cara ini kala itu dianggap janggal, bahkan dicurigai sebagian ulama tekstualis. Namun dari situlah Islam di Nusantara menemukan wajahnya: ramah, bersahaja. Menyatu dengan budaya.
Beliau juga kerap memberi isyarat gaib kepada murid-muridnya. Kisah yang paling terkenal adalah ketika beliau memberikan tasbih kepada K.H. Hasyim Asy’ari sebagai tanda restu untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Bagi sebagian, ini adalah karomah; bagi lainnya, sulit diterima. Namun begitulah Syaikh Kholil: melampaui batas rasionalitas biasa. Memperlihatkan bahwa agama adalah jalan ruhani yang hidup, bukan sekadar teks kering.
Catatlah. Lebih jauh, pesantren beliau menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Syaikh Kholil tidak serta-merta mengangkat senjata, tetapi menanamkan semangat jihad fi sabilillah kepada santri dan masyarakat. Santri-santrinya banyak yang turun ke medan perang. Menggerakkan rakyat Madura agar tidak tunduk pada kolonialisme. Beliau paham. Melawan Belanda tak cukup dengan pedang, tapi harus dengan benteng iman, ilmu, dan akhlak.
Hingga kini, jejak perjuangan itu masih menyala. Pondok Pesantren Syaikhona Kholil di Bangkalan tetap hidup, dipimpin oleh dzurriyah beliau. Nama-nama seperti K.H. Muhammad Cholil Bisri, K.H. Fuad Amin Imron (alm.), dan para kiai dari keluarga besar Syaikhona Kholil terus menjaga marwah pesantren. Dari pesantren itulah lahir ribuan santri. Menyebarkan cahaya Islam ramah dan tegas di seluruh penjuru negeri.
Makam beliau di Martajasah, Bangkalan, tak pernah sepi. Setiap hari, peziarah datang dengan doa dan tawasul. Seolah-olah mereka sedang bercakap dengan beliau di alam yang berbeda. Kehadiran beliau tetap terasa. Meski jasadnya telah tiada.
Saudaraku, renungkanlah. Bagaikan laut yang tak pernah berhenti beriak, ajaran Syaikh Kholil terus mengalir. Menghidupi generasi demi generasi. Seperti ombak yang selalu datang silih berganti, pengaruh beliau tak pernah padam: memberi arah dan kesejukan. Laksana karang yang setia berdiri di tengah hempasan badai, jejak beliau tetap kokoh: menjadi penopang, menjadi benteng, menjadi saksi bisu. Dari sebuah pulau kecil di Madura, lahir seorang ulama besar yang menjaga ruh Islam. Merawat jiwa bangsa. Pun membasuh hati umat agar tak hanyut dalam arus zaman. [ ]






