
“Perempuan di pesantren sering dianggap bayangan. Ada, tapi tak diakui utuh. Padahal dari rahim pesantren lahir keberanian, muncul suluh kehidupan. Aku ingin menuliskannya, agar dunia tahu: perempuan bukan pinggir, tapi pusat. Bukan beban, tapi penopang.”
JERNIH–Saudaraku. Dalam sebuah perjalanan, ada momen-momen yang tak pernah selesai mengendap. Laksana ombak yang tak henti mencium karang. Ia datang. Ia pergi. Ia kembali. Meninggalkan bunyi panjang di telinga hati. Begitulah rasanya ketika aku menelaah ulang novel “Semesta Perempuan” karya sahabatku: Nesya Murtadho.
Membaca lembar demi lembar, aku seakan menyibak jendela lama. Debu beterbangan. Sinar menembus ufuk. Masa lalu menyeruak. Aku serasa kembali duduk bersama Nesya di masa kuliah, di tengah riuh aktivisme-intelektualisme UIN Syarif Hidayatullah. Kudengar bukan pekik demonstrasi atau debat pemikiran Mazhab Ciputat, melainkan bisikan sunyi: kisah tentang perempuan, pesantren, dan gelombang zaman yang mencari wujudnya. Dari obrolan awal di pojok warung kopi penuh kritis, hingga peluncuran seru di Masjid Istiqlal.
Pernah, suatu sore, aku bertanya: “Kenapa kau menamai kisah ini “Semesta Perempuan”? Ia terdiam. Pandangannya jauh, seperti hendak menembus horizon. Lalu ia berbisik: “Kang Deden, perempuan di pesantren sering dianggap bayangan. Ada, tapi tak diakui utuh. Padahal dari rahim pesantren lahir keberanian, muncul suluh kehidupan. Aku ingin menuliskannya, agar dunia tahu: perempuan bukan pinggir, tapi pusat. Bukan beban, tapi penopang.”
Aku tercekat. Kata-katanya membara. Mewujud api kecil. Pun diam-diam menjelma obor di dadaku. “Benar juga kata-katamu, Nesya,” pikirku dalam hati.
Ketahuilah. Dari api itu lahir sosok Aisha. Seorang santri perempuan. Ia berjalan jauh: dari tanah basah pesantren, kitab kuning harum tinta, menuju aula akademik Barat yang dingin, penuh jargon. Ia pulang bukan hanya dengan gelar, tapi jiwa lebih utuh. Ruh kesantrian. Batin keindonesiaan. Sukma keperempuanan. Hati kemodernan. Menyatu. Bergerak ke satu titik-tuju.
Dalam dirinya, tampak wajah Kartini baru. Bukan melawan kolonialisme Belanda, tapi menghadapi imperialisme lain: bias gender, keterbatasan akses, stigma sosial.
Aisha berangkat dari bilik pesantren. Ia pulang sebagai suluh. Menebarkan pesan rahman-rahim Sang Mahacinta demi kosmos setara. Berkeadilan. Berkeadaban.
Itulah sebabnya kata semesta dalam judul bukan sekadar retorika. Ia sungguh galaksi: berlapis orbit gagasan, tabrakan peristiwa, terang dan gelap yang terus berkejaran. Setiap langkah Aisha mengguncang lingkar lebih luas: keluarga, pesantren, masyarakat, bangsa.
Ingatlah. Ketika seorang perempuan bangkit, generasi ikut terangkat. Ketika seorang perempuan menolak tunduk pada stigma, sejarah dipaksa menulis ulang dirinya sendiri.
Maka “Semesta Perempuan” bukan sekadar karya sastra-seni berbentuk novel atau film. Ia percakapan kebudayaan cerdas di ruang publik. Jembatan antara pesantren yang disangka kolot dengan wajah perempuan modern-progresif. Pengingat bahwa sumber energi perubahan justru acap datang dari kaum terpinggirkan.
Aku yakin publik akan merasakan getarannya. Bayangkan, film ini—dimana aku menjadi produsernya—tidak hanya ditonton dengan mata. Ia akan dirasakan dengan jiwa. Orang-orang akan meninggalkan bioskop dengan dada bergetar, mata berlinang, pikiran resah, hati penuh tanya. Mengaduk-aduk emosi penonton.
Benar. Renungan ini bukan sekadar pengantar. Ia kesaksian kecil. Kita sedang menyambut arus baru. Gelombang perempuan Indonesia yang berilmu. Berakar. Berani. Dan berkarakter.
“Semesta Perempuan” adalah cermin. Ia memantulkan denyut perubahan dari rahim pesantren. Merambat ke ruang-ruang kehidupan. Menjelma arus besar. Mula-mula riak. Kemudian ombak. Lalu badai yang mengguncang arah lautan. Bahkan menggambar ulang peta peradaban.
Sadarlah. Perempuan bukan hanya kilau bagi dirinya sendiri. Mereka adalah fajar kosmik. Menyingsingkan hari baru di cakrawala bangsa.
Dari rahim pesantren, mereka berangkat bak mentari. Tak lagi bersembunyi di balik tirai malam. Mereka menyalakan langit sejarah.
Bukan sekadar pelita di sudut rumah. Mereka adalah gugusan jagat raya yang menuntun arah peradaban. Bagaikan bulan yang menenangkan ombak. Seperti mentari yang menyuburkan bumi. Perempuan adalah poros semesta kehidupan.
Ingatlah. Kitab Suci pun menghadirkan perempuan sebagai tanda: Maryam, diabadikan dalam satu surah penuh—simbol kesucian dan keberanian. Hajar, dengan langkah sa’inya, diabadikan menjadi ritual sepanjang zaman. Surah An-Nur menegaskan: Allahu nurus-samawati wal-ardh—Allah adalah cahaya langit dan bumi.
Maka jika perempuan adalah suluh, tidakkah mereka pancaran Nur Ilahi itu sendiri? Minus mereka, sejarah hanyalah malam tanpa bintang. Bersamanya, masa depan adalah langit penuh ayat. Semesta terus berzikir. Peradaban bergerak menuju terang.
Saudaraku, percayalah. Dari rahim pesantren sederhana, lahir perempuan yang akan melukis ulang peta peradaban. Sekali obor itu menyala, ia takkan pernah padam. Ia menjelma suluh yang meruntuhkan dinding ketidakadilan. Mentari yang menyalakan cakrawala. Pendar halus yang menuntun jiwa-jiwa resah mencari jalan pulang. Dari keberanian mereka, sejarah menemukan arah. Dari langkah mereka, masa depan bangsa dilahirkan kembali. [ ]






