Solilokui

Rumah Bahagia

Kebahagiaan rumah tangga jadi fondasi kebahagiaan rumah kebangsaan. Demi menyehatkan “rumah kebangsaan”, kita harus keluar dari politik ketakutan dan kerakusan menuju politik harapan. Bahwa ketulusan cinta pelayanan bisa menyuburkan bumi dari ketandusannya. Mencintai demi menyuburkan berarti tak masa bodoh; penuh tanggungjawab terhadap Tanah Air sebagai rumah bersama.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, makhluk hidup mengidap sejenis penyakit yang tak bisa disembuhkan kecuali bisa mudik ke “rumah” asal. Atau menemukan rumah baru, tempat harapan bisa menetas dan berkembang. Itulah nostalgia (nostos = rindu rumah;  algos = sakit), berarti homesickness.

Setelah mengembara ribuan mil,  kura-kura dan burung pulang ke tempat kelahiran untuk bertelur atau menjalin perkawinan. Dengan kapasitas otak lebih besar, pengertian pulang bagi manusia tak mesti kembali ke titik sama di muka bumi, tetapi bisa saja ke titik fitrah ideal dalam persepsi mental.

Yudi Latif

Meminjam ungkapan Shoshana Zuboff, “Rumah adalah tempat di mana kita bisa mengetahui dan diketahui, mencintai dan dicintai.  Rumah adalah kemampuan penguasaan, kehangatan percakapan, kerapatan pergaulan, kedamaian pesanggrahan, ruang berkembang, berlindung dan berpengharapan.”

Sebaik-baik rumah dalam imaji Al-Quran adalah rumah sakinah; rumah damai-bahagia yang menyuburkan welas asih sesama anggota keluarga, melebarkan pintu kehangatan pada tetangga, dan meninggikan spiritualitas penghuninya dengan menyatukan diri ke dalam dekapan kasih Ilahi.

Sebaik-baik rumah dalam imaji Bible adalah rumah yang dibangun dengan kebijaksanaan, ditegakkan dengan pengertian, yang setiap kamarnya diisi pengetahuan dengan segala kekayaan keriangan dan kemuliaan. Rumah kebajikan orang Samaria yang pintunya senantiasa terbuka penuh cinta untuk yang lain.

Saat langit mendung dirundung awan gelap permusuhan, rasa saling percaya pudar dirongrong pengkhianatan, tenunan sosial robek digerus prasangka, kesenjangan meluas dipacu keserakahan, tak ada kerinduan paling menghunjam selain  menemukan kembali “rumah bahagia bersama” (home sweet home).

Kebahagiaan rumah tangga jadi fondasi kebahagiaan rumah kebangsaan. Demi menyehatkan “rumah kebangsaan”, kita harus keluar dari politik ketakutan dan kerakusan menuju politik harapan. Bahwa ketulusan cinta pelayanan bisa menyuburkan bumi dari ketandusannya. Mencintai demi menyuburkan berarti tak masa bodoh; penuh tanggungjawab terhadap Tanah Air sebagai rumah bersama. [ ]

Check Also
Close
Back to top button