
Jabatan pimpinan negara, dengan beban seberat sejarah dan masa depan, tentu tidak layak diberikan sembarangan. Tapi, hari ini kita menghadapi kenyataan yang tak mudah diterima akal sehat. Seorang wakil presiden terpilih bernama Gibran Rakabuming Raka, yang tak punya pengalaman panjang dalam diplomasi, tidak teruji dalam krisis, dan belum memperlihatkan kedalaman berpikir kenegaraan yang matang, duduk di pelataran kekuasaan tertinggi. Ia hadir bukan karena prestasi, tapi karena garis darah. Bukan karena pertimbangan kebajikan, melainkan kalkulasi kuasa.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Ada satu pertanyaan yang tak kunjung habis digumamkan sejarah: mengapa kekuasaan sedemikian besar, bahkan bisa mencabut nyawa atas nama negara, diletakkan di tangan satu manusia saja?
Presiden, kita sebut begitu, adalah seseorang yang diberi mandat mengelola ribuan triliun uang rakyat, menentukan arah kebijakan pendidikan, kesehatan, bahkan mengendalikan pasukan bersenjata. Dalam satu tanda tangannya, ia bisa mengubah nasib puluhan juta rakyat. Dalam satu pidatonya, ia bisa membakar semangat atau menggiring bangsa ke jurang pertikaian. Maka jabatan ini, dengan beban seberat sejarah dan masa depan, tentu tidak layak diberikan sembarangan.
Tapi, hari ini kita menghadapi kenyataan yang tak mudah diterima akal sehat. Seorang wakil presiden terpilih bernama Gibran Rakabuming Raka, yang tak punya pengalaman panjang dalam diplomasi, tidak teruji dalam krisis, dan belum memperlihatkan kedalaman berpikir kenegaraan yang matang, duduk di pelataran kekuasaan tertinggi. Ia hadir bukan karena prestasi, tapi karena garis darah. Bukan karena pertimbangan kebajikan, melainkan kalkulasi kuasa.
Kekuasaan adalah Beban Moral
Di sinilah kita bertanya kembali: apa sebenarnya kualitas yang harus dimiliki seorang presiden atau wakil presiden? Kita pernah punya Bung Hatta yang menolak kekuasaan absolut. Kita pernah punya Gus Dur yang lebih memilih kejujuran dalam melawan ketidakadilan, meski tahu ia sedang menggali kuburnya sendiri secara politik.
Kualitas seorang pemimpin bukan sekadar kemampuan teknis. Ia mesti memiliki integritas moral, yaitu kemampuan untuk menolak kemudahan yang koruptif, untuk berkata tidak pada pemihakan sempit, dan untuk menyadari bahwa kekuasaan bukan hadiah, melainkan ujian.
Kedua, ia harus punya kejernihan berpikir — kemampuan untuk membaca keadaan dengan jernih dan menyusun keputusan yang tak hanya menyelamatkan hari ini, tapi juga hari esok.
Ketiga, ia wajib memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Tanpa ini, kekuasaan akan menjadi candu yang mematikan. Presiden bukanlah manajer perusahaan, melainkan pelayan republik.
Gibran adalah anomali yang tidak datang dari luar sistem, tapi tumbuh dari pembusukan di dalam sistem itu sendiri. Ia adalah simbol puncak dari distorsi demokrasi kita hari ini. Seorang anak presiden yang melompati konstitusi dibantu oleh putusan kilat Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh pamannya sendiri.
Ini bukan sekadar nepotisme. Ini adalah konfirmasi bahwa hukum bisa disulap demi garis keturunan.
Parahnya lagi, rekam jejak Gibran dalam etika publik bahkan lebih buruk dari ketidakmatangannya dalam kenegaraan. Bukti-bukti yang menyebut keterlibatannya dalam ujaran kebencian dan konten vulgar melalui akun anonim tidak pernah dijawab tuntas. Tidak ada pertanggungjawaban moral. Tidak ada klarifikasi substantif. Yang ada hanya diam, dan kekuasaan yang terus melaju.
Bahaya Nyata Bila Ia Menjadi Presiden
Kini kita harus bicara terang-terangan:
Gibran tidak pantas menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Dan jika suatu saat karena keadaan tertentu ia menggantikan posisi Presiden — karena sakit, wafat, atau krisis konstitusional — itu akan menjadi malapetaka sempurna bagi negeri ini.
Karena kita sedang bicara tentang seorang figur yang:
– Lahir dari rekayasa hukum yang cacat secara etis dan konstitusional.
– Tidak memiliki rekam jejak pemerintahan yang layak untuk jabatan nasional.
– Telah menunjukkan karakter politik yang sembrono, bahkan destruktif, melalui ujaran kebencian dan penghinaan publik.
– Menjadi simbol kematian meritokrasi, yang seharusnya menjadi ruh demokrasi.
Saatnya DPR/MPR Bertindak
Siapa yang paling bertanggung-jawab bila Wapres Gibran duduk di posisi tertingginya. Kita semua tentu bertanggung-jawab, tetapi yang paling bertanggung-jawab mestilah para elit politik. Mereka memiliki peluang dan kewenangan untuk mengoreksi namun memilih untuk tidak memggunakannya.
DPR/MPR, sebagai pemegang mandat rakyat, tidak boleh diam. Mereka memiliki dasar dan kewenangan untuk:
1. Membatalkan kedudukan Gibran sebagai wakil presiden melalui mekanisme politik dan hukum yang sah.
2. Mengoreksi pelanggaran etika dan prinsip konstitusional yang melahirkan anomali ini.
3. Menyelamatkan demokrasi dari pembusukan total, sebelum negara ini berubah menjadi panggung dinasti.
Ini bukan sekadar koreksi terhadap seorang individu. Ini adalah koreksi terhadap sistem yang sedang tenggelam.
Penutup: Memilih yang Layak, Bukan Sekadar yang Mungkin
Kita tidak sedang mencari malaikat. Tapi kita wajib menetapkan ambang batas: integritas, akal sehat, rekam jejak, dan etika. Tanpa ini, demokrasi tinggal menjadi prosedur kosong.
Jika Gibran tetap dibiarkan duduk di kursi kekuasaan, maka kita telah menyepakati bahwa kekuasaan lebih penting daripada kelayakan, bahwa darah lebih sakral dari pemikiran, dan bahwa masa depan bangsa boleh dipertaruhkan untuk kenyamanan dinasti.
Dan bila sejarah nanti menggugat: siapa yang menyerahkan republik ini ke tangan yang belum cukup dewasa memikulnya, maka jawabannya bukan hanya Gibran—tapi juga mereka yang membiarkannya terjadi. [ ]
Bekasi, 25 Juni 2025