Solilokui

Sadari, Inovasi Pada Dasarnya Menggoyang Kemapanan

Ada Nicolas Tesla, manusia super genius kelahiran Serbia 1856, yang menyimpulkan bahwa sesungguhnya alam menyediakan sumber energi gratis tak terbatas. Melalui percobaan yang ia sebut sebagai Tesla Effect, ia membuktikannya

JAKARTA– Jika Anda berpikir bahwa niat baik saja cukup untuk memuluskan jalan memperbaiki kehidupan masyarakat, Anda salah besar. Orang sinis akan menganggap Anda pilon, sementara orang-orang baik mungkin menilai Anda seorang yang polos. Naïf.

Bukankah dalam puisinya, ‘Sajak Pertemuan Mahasiswa’, alm WS Rendra dengan cerdas mengeritik betapa nyinyirnya masyarakat, sebenarnya. 

“Kita bertanya : Kenapa maksud baik tidak selalu berguna./Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga/Orang berkata “ Kami ada maksud baik “/Dan kita bertanya : “ Maksud Anda baik untuk siapa ?”

Baiklah jika contoh-contoh seputar hal itu masih diperlukan sebagai penguat pembuktian. Kita tentu sepakat bahwa yang dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran, Islam namanya, adalah serangkai sistem inovasi? Islam, dalam sejarah membuktikan bahwa dirinya mampu mengubah banyak hal di Tanah Arab khususnya, dunia umumnya.

Sejak zaman dulu, berinovasi adalah juga berhadapan dengan para penikmat kejumudan

Tidak hanya mengubah tata budaya orang-orang yang secara umum dikesankan kasar dan biadab pada mulanya itu. Islam kemudian membawa Timur Tengah menjadi sebuah peradaban baru yang mencorong, menerangi dunia pada masanya. Paling tidak, puncak-puncak peradaban itu bisa kita saksikan di puncak-puncak budaya yang pernah diraih Andalusia, Baghdad, Damaskus, Alexandria dan sebagainya. Semua kita tahu memiliki akar kuat dan tumbuh subur dari sistem yang dibawa Sang Nabi.

Tetapi dengan hanya melirik tarikh pun kita semua segera tahu bagaimana sistem itu pada awalnya direspons masyarakat Arab. Tak hanya hinaan, ejekan dan tudingan bahwa Nabi Muhammad seorang penderita gila. Bahkan serangan fisik berupa lemparan batu, dan terutama, blokade ekonomi serta ekskomunikasi dijalankan oleh masyarakat Arab.

Oh ya, tentu saja sebenarnya tidak seluruh masyarakat, melainkan sekelompok khusus orang yang paling menderita rugi bila tatanan yang dibawa dan diajarkan Nabi sukses berkembang. Mereka adalah kaum mapan, alias kalangan status quo.

Pernah mendengar istilah blue energi yang sempat menggegerkan jagad pemberitaan nasional di era Presiden SBY satu dekade lalu? Bila kita tak bersikap apriori, rasanya agak mustahil persoalan itu sepenuhnya tipu-tipu. Bukankah seorang presiden yang menyandang predikat doktor seperti SBY pun disebut-sebut pernah memberikan perhatian serius pada hasil penemuan pria sederhana bernama Joko Suprapto itu?

Kita tahu, kemudian soal itu menguap begitu saja. Joko sang penemu pun seolah raib tanpa cerita. Joko bahkan pernah dikabarkan menghilang beberapa hari dan merepotkan Polda Jawa Timur.

Benarkah energi gratis sejenis blue energy sepenuhnya khayal semata? Tidak tampaknya. Ada Nicolas Tesla, manusia super genius kelahiran Serbia 1856, yang menyimpulkan bahwa sesungguhnya alam menyediakan sumber energi gratis tak terbatas. Melalui percobaan yang ia sebut sebagai Tesla Effect, ia membuktikan energi yang dihasilkan bumi bisa dipindahkan tanpa menggunakan kabel. Karenanya, dalam teori Tesla tidaklah mustahil, jika pesawat, mobil, listrik semua kebutuhan energi manusia bisa disediakan gratis oleh alam.

Tesla tidak beromong kosong, sebuah penemuan kontroversialnya, Tesla Oscillator,  diduga telah diadopsi oleh HAARP untuk membuat mesin yang bisa menyebabkan gempa bumi hebat. Inspirasinya berasal dari mesin Tesla yang hanya dengan berat 1 kg berhasil menghancurleburkan laboratorium. Itu membuat cemas pihak-pihak tertentu. Belakangan, laboratorium penelitian free energy Tesla dirobohkan. Dana riset dari JP Morgan yang dikenal sebagai investor besar energi komersial pun dihentikan.

Ada pula Dr. Adam Trombly, yang menciptakan suatu mesin bernama Homopolar Generator. Dengan mesin ini ia bisa mendapatkan sumber energi tak terbatas dengan gratis. Entah mengapa, tiba-tiba patennya diambil alih secara paksa dengan perintah Secrecy Order.

Cendikiawan, tak selalu mereka yang berumah di angin

Yang paling tragis mungkin terjadi pada Dr. Eugene Mallove, peneliti energy MIT, yang ditemukan tewas mengenaskan. Kematiannya diduga terkait dengan penelitiannya untuk menghasilkan energi gratis buat umat manusia. Si jenius ini menemukan teknologi cold fusion (fusi dingin) yang memungkinkan manusia bisa mendapatkan energi tak terbatas secara gratis.

Sekian tahun lalu, dunia pun dikejutkan Ricardo Azevedo, pria asal Sao Paulo, Brasil. Ia berinovasi dengan mengganti bahan bakar minyak dengan air. Lewat inovasi “T Power H2O” Ricardo bisa memacu sepeda motornya sejauh 500 km hanya dengan satu liter air!

Mengapa penemuan-penemuan berguna seperti itu kemudian menghilang begitu saja? Bolehlah kita merenungkan sebuah dialog dalam film super konspirasi, X Files, dari serial terbarunya saat seri itu berusaha kembai menggeliat. Dalam sebuah episode, Agen Fox Mulder yang telah menua terkejut saat diminta datang ke laboratorium penelitian angkasa luar AS. Ia menemukan benda terbang yang berjalan dengan kekuatan gratis tadi.

Seorang peneliti yang sadar akan ketakjuban Mulder akan energi yang digunakan pesawat itu, langsung menimpali apa yang berkecamuk di kepala Mulder. “Benar, energi itu. Kita terus meneliti, dan memang bermanfaat. Tetapi banyak pihak yang akan kehilangan triliunan dolar. Energi itu berhenti di sini,” kata sang peneliti, kawan Agen Mulder di masa lalu.

Barangkali hal yang sama juga terjadi pada hasil penemuan rompi antikanker ciptaan Warsito P Taruno, pemenang BJ Habibie Award BPPT. Setelah sekian lama dipersoalkan, akhirnya klinik pengobatan kankernya yang memakai fasilitas rompi itu, ditutup.  

Padahal, sebulan sebelum penutupan, Menristekdikti (saat itu) Mohamad Nasir mengatakan, “Riset Pak Warsito jangan dimatikan, tetapi harus didampingi. Ini karya anak bangsa.”

Warsito sendiri bukan seorang awam. Ia adalah doktor lulusan Shizouka University  yang mengembangkan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electrical Capacitance Cancer Theraphy (ECCT), alat terapi antikanker  yang dibangunnya sejak awal 2000.

Berinovasi, sebenarnya menanam amal jariah buat kemanusiaan

Wujud temuan yang dikatakan bermanfaat bagi publik itu tak lain rompi dan helm antikanker. Penderita kanker bisa mengenakan rompi dan helm. Kanker pun konon bisa dibasmi.

Namun, sambutan dari kalangan medis kita pada temuan yang konon sudah dimanfaatkan Jepang dan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) itu jauh dari manis. Banyak dokter mempertanyakan keampuhan teknologi Warsito. Para dokter mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah benar alat Warsito efektif? Mana buktinya? Kok tidak ada publikasinya di jurnal ilmiah? Keefektifan itu klaim atau sungguhan?

Yang tidak menguntungkan Warsito, barangkali karena kecewa dengan pengobatan medis yang lazim, banyak pasien meninggalkan pengobatan medis dan semata memakai alat Warsito. Jadi, manakala ada pasien yang kondisinya memburuk setelah hanya menggunakan teknologi Warsito, sang pemenang Habibie Award itu gampang menjadi sasaran tembak bersama.

Puncak kontroversi alat itu adalah datangnya surat dari Kementerian Kesehatan, meminta Pemerintah Kota Tangerang menertibkan klinik Warsito. Surat yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan itu berisi perintah kepada Warsito untuk menghentikan semua kegiatan risetnya.

Sebenarnya, alat itu bukan tanpa data keefektifan. Misalnya, Firman Alamsyah dari Universitas Arlangga, telah melakukan penelitian keefektifan ECCT tiga kali. Tahap awal, dilakukan riset secara in vitro (dalam jaringan) untuk menguji kemampuan ECCT menghambat pertumbuhan sel kanker payudara. “Dari semua riset tersebut, efektivitas penghambatan pertumbuhan kultur sel kanker payudara MCF-7 berkisar antara 18-39 persen,” kata Firman.

Firman juga melakukan riset secara in vivo (dalam tubuh) dengan obyek tikus putih. “Hasil riset pilot in vivo menunjukkan efektivitas penghambatan pertumbuhan massa tumor sebesar 67-97 persen,” kata dia, sebagaimana dimuat Kompas.com saat itu.

Jadi, bila ada yang berpikir semua hambatan itu tak jauh dari soal ketidaknyamanan para pemegang status quo, ya wajar dan mungkin paling masuk akal. [dsy, dari catatan 2015]

Back to top button