SAJA, Langkah Awal untuk Merekat Erat Konektivitas
Susi, sebagaimana kata Chappy Hakim, adalah si keras kepala yang penuh perhatian dan cinta negerinya. Ia pasti tak rela semua potensi itu justru menjadi bancakan maskapai asing, sementara Indonesia yang jauh dari siap, hanya mampu gigit jari. Ia, dengan daya yang ada padanya, mempersiapkan diri dengan membangun pondasi: kecintaan akan dunia penerbangan.
Oleh : Atal S Depari*
JERNIH—Dilihat dari kacamata apa pun, perhelatan Susi Air Jamboree Aviation (SAJA) 2022 yang digelar tiga hari, 17-19 Juni lalu di Taman Dirgantara Susi’s International Beach Strip, Pangandaran, Jawa Barat, itu terselenggara sukses.
Kalau ukurannya penonton, setiap hari ratusan orang menyemut menyaksikan seratus lebih penerbang unjuk ketangkasan menerbangkan dan beratraksi dengan pesawat; membuat teriak dan pekik tertahan seolah tak henti memenuhi udara Pangandaran di ketiga hari itu.
Tidak hanya ramai oleh praktisi kedirgantaraan dan penonton yang berjejal pepak, acara pun dihadiri para warga terkemuka negeri ini, bahkan warga luar negeri. Ada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, hadir pula mantan KSAU Chappy Hakim. Lalu ada Duta Besar Jordania Abdullah Abou Rommaneo, Duta Besar Maroko Oudia Benabdellah, Duta Besar Tunisia Riad Dridi, Duta Besar UAE Abdullah Salen Aldhaheri, Samudera Sukardi, Faisal Basri, serta mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Saya datang sebagai undangan dari PWI Pusat, bersama rekan Ilham Bintang.
Di antara para pejabat militer–baik mantan maupun yang masih aktif, yang asyik mengikuti hampir seluruh mata acara SAJA itu tak hanya Chappy Hakim. Ada juga Pangdam Siliwangi Mayjen Kunto Arief Wibisono, mantan Dubes RI untuk Cina Mayjen TNI (Purn) Sudrajat, Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Wakapolri Nanan Soekarna, Laksamana Madya (Pur) Widodo, Marsekal Madya Eris Herryanto, dan Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi.
Bila tujuannya mengenalkan dunia dirgantara kepada khalayak, bahkan sampai mengajak mereka terbang gratis, itu pun dijamin kesampaian. Setiap hari, 20-an penonton, terutama warga setempat, diajak menikmati pengalaman baru yang akan mereka kenang seumur hidup, terbang membelah angkasa.
Apalagi bila tidak membebaninya dengan tujuan muluk-muluk, sekadar sarana kumpul melepas kangen para pegiat dan pecinta dunia kedirgataraan Indonesia, acara itu jelas telah mengumpulkan banyak bonus.
Sang penggagas sekaligus tokoh lapangan yang memungkinkan acara itu ‘maujud’, Susi Pudjiastuti, bahkan menyebut target acara yang direncanakan akan digelar tahunan itu sederhana saja. Relevan dan khas dengan penampilan Susi sehari-hari.
“Saya ingin SAJA menjadi wadah para pecinta penerbangan Indonesia untuk berkumpul dan merayakan kemajuan penerbangan Indonesia,” kata Susi. Selebihnya, para pecinta dan pegiat kedirgantaraan bisa memamerkan potensi dan kreasi mereka, mulai dari keterampilan terbang dengan pesawat sport, memamerkan pesawat yang mereka reka dan buat sendiri, sekaligus menerbangkannya sendiri juga.
Seperti yang dilakukan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandoi, yang terbang ke Pangandaran dengan pesawat hasil rakitannya pribadi. “Biaya pembuatannya kurang dari Rp 500 juta; ongkos bahan bakarnya hanya sekitar 20 liter bahan bakar yang saya beli di satu pom bensin,” kata Marsma Henri, menyebut satu merk depot bahan bakar multinasional yang telah lama beroperasi di Indonesia. Getol terbang selama SAJA, Marsma Henri termasuk peserta yang paling banyak menerima tempik sorak penonton.
Susi memang tidak menampik, ada tujuan besar yang diyakininya mulia di balik itu semua. Hanya saja, Susi ingin agar tujuan besar itu bisa diraih dengan wajar, bukan dengan cara-cara bombastis, apalagi laiknya kampanye.
Hadir dan mendengar penuturan Susi, menurut saya mantan menteri perikanan dan kelautan itu ingin agar kita semua, warga negara besar berwilayah kepulauan ini, berpikir lebih serius lagi soal koneksitas. Faktanya, memang hingga di abad ke-21 ini pun masih banyak wilayah negara kita yang terisolasi. Luas negara kita yang tak banyak beda dengan Amerika Serikat ini, terdiri dari 17-an ribu pulau. Bukan satu landskap rata tanpa jeda perairan seperti laiknya AS.
Sementara laut yang menghubungkan satu pulau dengan lainnya itu tak selamanya ramah untuk jadi wahana transportasi. Di musim Barat yang ekstrem, misalnya, jangankan berpikir mengantar logistic dari satu ke lain pulau, menempuh jarak lima kilometer laut di saat ombak pada titik kulminasi kemurkaannya itu, kadang jadi langkah mustahil. Penerbanganlah satu-satunya yang bisa menjadi solusi.
Sementara, sudah menjadi common sense kita semua bahwa dunia penerbangan Indonesia tengah gering parah. Bukan hanya karena industri pesawat terbang Indonesia yang sempat menjadi kebanggaan itu kini telah kehilangan aura. Bukan pula hanya karena maskapai penerbangan milik negara, Garuda, telah menjelma perusahaan paria yang terbelit utang raksasa dan nyaris dinyatakan pailit.
Problem kedirgantaraan kita berjejal, laiknya sarden dalam kaleng. Mulai dari keterbatasan armada pesawat yang jadi kendala utama pemulihan sektor penerbangan kita, kendala perbatasan (border) seiring masih adanya negara yang ketat dalam penerapan SOP COVID-19, harga minyak bumi yang sedang tinggi, perang akibat invasi Rusia, hingga bandara yang dibangun sekadar untuk dibiarkan terbengkalai penuh perdu dan belukar.
Susi sendiri tampaknya tak menafikan bahwa pembangunan infrastruktur kedirgantaraan kita cukup menggembirakan. Misalnya, dengan program pembangunan bandara yang digeber di tahun-tahun terakhir, situs web statistik pertahanan negara, Global Firepower mencatat Indonesia sebagai negara dengan jumlah bandara terbanyak di Asia, 673. Dalam soal itu, kita bahkan melampaui ‘saudara tua’, Republik Rakyat Cina, yang memiliki jumlah bandara 507, disusul India dan Iran dengan masing-masing 346 dan 319 bandara. Bandara di Indonesia bahkan lebih banyak dibanding di Jerman yang tercatat ‘hanya’ punya 539 bandara.
Namun jumlah tersebut belum ada ‘apa-apanya’ dibandingkan jumlah bandara di AS yang tercatat memiliki 13.513 bandara, disusul Brasil dengan tenggang yang begitu besar di angka 4.093 bandara.
Tetapi tentu saja urusan tidak lantas selesai hanya dengan membangun bandara. Perlu memikirkan, mendesain dan menerapkan manajemen pengelolaan bandara yang sehat dan efektif. Di sini, mangkrak tak berfungsinya Bandara Kertajati, Jawa Barat, bisa menjadi contoh telanjang tentang pembangunan yang tidak disokong perencanaan matang.
Satu lagi yang pasti menerbitkan kepedulian Susi dkk, kecintaan publik Tanah Air akan dunia dirgantara pun masih sangat kurang. Susi mencontohkan, pada sebuah pertemuan para pecinta kedirgantaraan yang diadakan di Bandara Oshkosh, Wisconsin, AS, dalam tiga hari berkumpul 10 ribu pesawat peserta pertemuan. “Mereka bergiliran terbang meramaikan acara. Di kita, seribu pesawat saja masih mimpi,” kata Susi dalam sambutan di malam penutupan.
Susi yakin, buruknya konektivitas antardaerah yang masih membuat banyak wilayah Indonesia tertinggal itu bisa diretas dengan menumbuhkan sebesar dan seluas mungkin minat masyarakat kepada dunia kedirgantaraan. Konektivitaslah, kata Susi, yang akan menjawab banyak persoalan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Susi yakin, konektivitas antarwilayah akan membawa banyak dampak, seperti peningkatan askesibilitas wilayah, peningkatan pelayanan umum, pemerataan pelayanan umum, peningkatan investasi, peningkatan kesempatan kerja, pengembangan infrastruktur, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan sector pariwisata, bahkan hingga penurunan konflik antarwilayah.
Sebagai salah seorang pecinta dan pegiat dunia dirgantara, Susi pasti tahu ada asa besar yang layak diharapkan terjadi di depan. International Air Transport Association (IATA) memprediksi, pada kondisi ledakan penumpang pesawat terbang yang terjadi pada 2036, Indonesia menjadi negara keempat yang mengalami pertumbuhan besar itu, setelah AS, Cina, India, lalu Turki di belakang kita.
“IATA memperkirakan 7,8 miliar penumpang akan melakukan traveling pada tahun 2036 mendatang. Sekitar empat miliarnya menggunakan pesawat terbang,”kata CEO IATA, Alexandre de Juniac.
Susi, sebagaimana kata Chappy Hakim, adalah si keras kepala yang penuh perhatian dan cinta negerinya. Ia pasti tak rela semua potensi itu justru menjadi bancakan maskapai asing, sementara Indonesia yang jauh dari siap, hanya mampu gigit jari. Ia, dengan daya yang ada padanya, mempersiapkan diri dengan membangun pondasi: kecintaan akan dunia penerbangan.
Lamunan akan kebesaran hati para penggagas dan penyokong SAJA itu buyar manakala atmosfer Pantai Pangandaran dipenuhi tempik sorak penonton. Saya tengadah ke angkasa. Di atas, sebuah pesawat seolah tengah melukisi langit dengan asap lewat manuver Lomcevak, yang diawali dengan terbang vertikal dengan kecepatan penuh 290 km per jam, sebelum dalam satu tarikan nafas menukik ke bawah, seolah hendak membantingkan diri menghunjam bumi. Penonton berteriak setelah tadi menahan nafas tegang. Sang pilot masih meneruskan mengaduk-aduk perasaan penonton dengan menarikan pesawatnya berputar-putar seolah roller coaster. Pemandangan menjadi demikian indah dengan diekori asap putih mengepul, menyertai geliat pesawat.
Dari pengeras suara terdengar berita bahwa pesawat itu dikemudikan pilot Eris Herryanto. Saya terhenyak saat kemudian tahu bahwa pilot Eris adalah seorang kakek berusia 67 tahun. Benar kata MacArthur, old soldier never die. Dalam hati, saya berterima kasih sangat kepada Bu Susi. [ ]