
Penahanan Sami Hamdi bukan hanya persoalan hukum imigrasi, tetapi juga ujian bagi prinsip-prinsip kebebasan berbicara yang menjadi fondasi demokrasi modern. Dan demokrasi Amerika agaknya mulai rusak bentuknya.
JERNIH – Penahanan jurnalis dan komentator politik Inggris Sami Hamdi oleh otoritas imigrasi Amerika Serikat (ICE) pada akhir Oktober 2025 memantik perdebatan global tentang batas kebebasan berbicara dan bagaimana kritik terhadap Israel sering kali mendapat respons keras di panggung internasional. Hamdi, yang dikenal sebagai pengamat geopolitik dan kritikus vokal terhadap kebijakan Israel, ditahan di Bandara Internasional San Francisco saat sedang menjalani tur pidato di beberapa kota AS.
Menurut pernyataan resmi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan Departemen Luar Negeri AS (DOS), penahanan itu dilakukan karena Hamdi dituduh “mendukung terorisme” dan “menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional.” Visa yang digunakannya pun dicabut secara sepihak oleh otoritas AS.

Namun, hingga kini, tidak ada bukti terbuka yang dirilis ke publik untuk mendukung tuduhan tersebut — bahkan lembaga-lembaga media besar seperti BBC, Los Angeles Times, dan Associated Press menyebut pihak berwenang belum memberikan keterangan rinci.
Siapa Sami Hamdi?
Sami Hamdi adalah jurnalis, komentator politik, dan pengamat Timur Tengah berkebangsaan Inggris. Ia menjabat sebagai Editor-in-Chief sekaligus Managing Director di lembaga analisis geopolitik The International Interest, yang berbasis di London. Melalui lembaga ini, Hamdi dikenal memberikan analisis tajam mengenai dinamika politik global, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).
Sebagai konsultan risiko geopolitik, Hamdi kerap tampil di berbagai jaringan media internasional — termasuk Al Jazeera, BBC, dan Middle East Eye — untuk memberikan pandangan independen tentang konflik dan kebijakan luar negeri. Ia dikenal karena keberaniannya menyoroti isu-isu yang sering diabaikan oleh media arus utama, terutama mengenai hak asasi manusia dan dampak kemanusiaan dari perang.
Selain kiprahnya di media, Hamdi juga aktif dalam diskusi lintas budaya, berupaya menjembatani pandangan dunia Barat dan Timur Tengah. Dalam banyak tulisannya, ia menekankan pentingnya dialog, keadilan, dan tanggung jawab moral komunitas internasional terhadap krisis kemanusiaan — khususnya di Palestina.
Rekan-rekannya menyebut Hamdi sebagai figur yang “tegas tetapi rasional”, dengan dedikasi kuat pada prinsip kebebasan berbicara dan integritas jurnalisme. Ia dikenal tidak sekadar mengkritik, tetapi juga menawarkan analisis berbasis data dan konteks geopolitik yang luas.

Kronologi Penahanan di Amerika Serikat
Peristiwa bermula pada Sabtu, 26 Oktober 2025, ketika Hamdi menjadi pembicara tamu dalam gala tahunan Council on American-Islamic Relations (CAIR) Sacramento. Acara tersebut dihadiri oleh ratusan peserta dan berfokus pada kebebasan sipil serta solidaritas terhadap masyarakat Palestina.
Hamdi dijadwalkan melanjutkan pidatonya di acara CAIR Florida pada Minggu malam. Namun, beberapa jam sebelum keberangkatannya, ia ditahan oleh petugas ICE di Bandara Internasional San Francisco.
Menurut pernyataan CAIR, penangkapan ini tampaknya terjadi “karena kritiknya terhadap genosida Israel di Gaza.” Organisasi itu menyebut tindakan tersebut sebagai “penculikan politik” dan pelanggaran serius terhadap kebebasan berbicara.
“Bangsa kita harus berhenti menculik para pengkritik pemerintah Israel atas perintah para fanatik Israel First. Ini adalah kebijakan Israel First, bukan America First, dan ini harus diakhiri,” tulis CAIR dalam pernyataannya yang tegas.
Sementara itu, juru bicara DHS, Tricia McLaughlin, mengonfirmasi di platform X bahwa Hamdi kini “berada dalam tahanan ICE sambil menunggu deportasinya.” Namun, McLaughlin tidak menjelaskan dasar hukum spesifik dari tuduhan “dukungan terhadap terorisme” yang disematkan kepadanya.

Laila El-Haddad, aktivis dan penulis Palestina yang mengenal Hamdi, menyebut bahwa “satu-satunya ‘kejahatan’ Hamdi adalah berbicara.” Ia menambahkan bahwa Hamdi “selalu memiliki status imigrasi sah melalui visa resmi dan beberapa kali masuk ke AS tanpa pelanggaran apa pun.”
Respons Publik dan Pemerintah Inggris
Kasus ini langsung mendapat perhatian Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris (FCDO). Dalam pernyataan resminya kepada BBC, FCDO menyatakan telah menghubungi keluarga Hamdi serta otoritas lokal AS. Namun, pemerintah Inggris berhati-hati dalam komentarnya, menegaskan bahwa kebijakan imigrasi AS merupakan “urusan dalam negeri Amerika Serikat.”
Meskipun demikian, FCDO menambahkan bahwa “komitmen Inggris terhadap kebebasan berbicara bersifat mutlak dan tidak berubah,” seraya menekankan pentingnya nilai demokrasi dan keamanan warga.
Dukungan bagi Hamdi datang dari berbagai kalangan jurnalis, aktivis hak asasi, dan akademisi. Banyak yang melihat penahanannya sebagai bagian dari pola lebih luas: meningkatnya tekanan terhadap pengkritik kebijakan Israel di Barat, termasuk di universitas dan forum publik.
Kasus Hamdi bukanlah insiden tunggal. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan AS juga mencabut visa dan menahan sejumlah aktivis pro-Palestina. Salah satunya adalah Mahmoud Khalil, lulusan Universitas Columbia, yang ditangkap pada Maret 2025 dan masih menghadapi ancaman deportasi.
Selain itu, sebelum penahanan Hamdi, aktivis politik sayap kanan dan sekutu Donald Trump, Laura Loomer, menulis serangkaian unggahan di X yang menuduh Hamdi memiliki hubungan dengan organisasi teroris. Tuduhan tersebut kemudian viral di kalangan kelompok pro-Israel dan diyakini turut memicu tekanan terhadap aparat federal. CAIR menanggapi dengan menyebut Loomer “menyebarkan teori konspirasi anti-Muslim yang berbahaya.”
Situasi ini memperlihatkan bagaimana kritik terhadap Israel dapat dengan mudah digeser menjadi tuduhan keamanan nasional, sebuah tren yang banyak dikritik oleh organisasi kebebasan sipil. Cara yang dikecam dunia.
Sosok Integritas
Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya, Sami Hamdi dikenal sebagai sosok yang berintegritas, tajam dalam berpikir, dan konsisten membela prinsip kebebasan berbicara.
Beberapa hal yang menonjol darinya antara lain komitmen terhadap keadilan dan dialog lintas budaya. Hamdi berupaya membuka ruang diskusi antara dunia Barat dan dunia Muslim dengan pendekatan yang inklusif dan analitis.

Ia memiliki keahlian geopolitik yang diakui. Melalui The International Interest, ia menjadi rujukan bagi banyak media internasional dalam memahami dinamika politik Timur Tengah.
Keberanian intelektual layak diacungi jempol. Hamdi tidak takut mengkritik kebijakan luar negeri, baik dari Israel, AS, maupun negara-negara Arab, jika dianggap melanggar prinsip kemanusiaan.
Dengan reputasi demikian, banyak pihak memandang penahanannya sebagai tamparan bagi nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara seperti Amerika Serikat. Negeri ini belakangan semakin menampakkan keburukan sistem, sekaligus cacat pada demokrasi yang dibawanya.
Kasus Sami Hamdi menyoroti dilema klasik antara keamanan nasional dan kebebasan berbicara. Pertanyaannya: sampai sejauh mana sebuah negara demokratis dapat menahan atau membungkam seseorang hanya karena pandangan politiknya?
Di era ketika wacana publik mudah dimanipulasi oleh tekanan politik dan opini daring, tindakan seperti ini berpotensi menciptakan efek menakutkan (chilling effect) bagi jurnalis dan aktivis di seluruh dunia. Jika seorang komentator profesional dengan reputasi internasional seperti Hamdi saja bisa ditahan tanpa bukti yang jelas, maka bagaimana nasib mereka yang tidak memiliki platform sebesar itu?(*)
BACA JUGA: Pentagon Bungkam Jurnalis, Kebebasan Pers di AS Terancam






